Tuesday, April 1, 2008

AAC, AADC, DSDA



CELAH

www.inilah.com

24/03/2008 15:42 WIB

AAC, AADC, DSDA

M. ICHSAN LOULEMBAH

SABTU, 22 Maret 2008, atau malam Minggu, tersiar kabar, jumlah penonton film Ayat-Ayat Cinta (AAC) menembus angka 3 juta. Sebuah perolehan fantastis, karena film lain yang juga terhitung berhasil, 'hanya' memperoleh 1,3 juta. Itu pun setelah hampir tiga bulan diputar.

Malam itu saya ikut rombongan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mengisi waktu liburnya dengan menonton. Beberapa menteri, kolega partai, kerabat dekat, pengusaha, sampai beberapa anak, menantu, dan cucu, ditraktir oleh JK.

Benar-benar ditraktir. Bukannya menonton pada pertunjukan khusus – fasilitas yang lazim bagi pejabat setingkat Wapres - namun pada jam regular. Berbaur dengan penonton lain, sama-sama membeli tanda masuk.

AAC menunjukkan beberapa hal. Pertama, sang sutradara, Hanung Bramantyo, seperti ingin membuktikan bahwa penonton film Indonesia itu ada. Bahwa penonton kita bukan penggemar buta pada film-film dari luar.

Seringkali memang banyak sineas atau praktisi perfilman lebih gemar mengeluh. Pasti tidak semua, namun terbanyak dari mereka memiliki deretan keluhan lebih panjang daripada daftar karya.

Bila film-film lain kurang diminati penonton, jika hanya beberapa hari atau pekan saja layar telah diturunkan pemilik bioskop; secara umum, tentu filmnya kurang menarik. Tidak dibuat dengan serius.

Kedua, kalau kita perhatikan AAC mirip dengan kemunculan film Ada Apa Dengan Cinta (AADC). Keduanya bercerita tentang cinta yang tak ambisius. Cinta tak gemerlap. Cinta biasa.

Bedanya, AAC mengerek tema cinta yang ditebari diskusi keagamaan. Sementara dalam AADC, tema cinta dijejali nuansa kepujanggaan. Ketiga, AAC juga sama dengan film sukses: Denias Senandung di Atas Awan, Petualangan Sherina, Arisan, Mendadak Dangdut, Nagabonar Jadi 2, sampai Berbagi Suami. Sama-sama datang dengan niat memperkaya tema.

Tentu bukan soal baru, betapa produktivitas para produser dan kreator film lebih banyak menambah deretan angka produksi ketimbang keragaman tema. Selalu takut gagal dengan eksperimen.

Ibarat mitraliur, jumlah film baru bertema horor-seram-mistik dan cinta remaja berkualitas rendah hampir setiap pekan ada selamatannya. Memang, penonton film AADC dan Pocong membludak, tempo hari.

Seringkali bahkan judulnya pun terasa dipaksakan. Coba kita tengok: Suster Ngesot, Terowongan Casablanca, Rumah Pondok Indah, plus deretan film lain yang mencantumkan kata Tengah Malam, Kuntilanak, Ambulans, Kuburan, Jumat Kliwon, dan seterusnya.

Anehnya, para sineas kita kemungkinan tidak peduli pada pengetahuan pemasaran. Bahwa, pasar bisa penuh jika ditembakkan produk/tema yang sama berulang-ulang. Bahkan di Academy Award pun film terbaik datang dari tema berbeda setiap tahun.

Mungkin juga tidak belajar dari masa lalu di mana film Indonesia jatuh karena kejenuhan tema. Bukan karena pasar yang jenuh, seperti kesimpulan umum selama ini. Apalagi dikaitkan dengan daya beli. Karena produk budaya, kesenian, dan hiburan, serta kegiatan kreatif lainnya, tentu sulit diukur semata dari sisi material.

Sependek ingatan dan pengetahuan saya, secara teknis generasi baru perfilman kita amat maju. Mereka jago menggunakan teknologi mutakhir. Music score, editing, setting, special effect, bukan lagi masalah berarti ditangan mereka.

Barangkali, secara keseluruhan industri ini belum belajar dari pasang-surutnya perfilman kita masa silam.

Jika mau belajar, bagaimana mungkin penonton dibombardir judul seperti ini: In the Name Of Love, From Bandung With Love, I Love You Om, Love is Cinta, Cinta Rock N Roll, Eiffel I’m in Love, Brownies, Me vs High Heels, Ungu Violet, Seventeen, Lovely Luna, Virgin, Heart, dan sebagainya.

Sementara itu, judul yang bersahaja seperti Ada Apa Dengan Cinta, Denias Senandung di Balik Awan, Berbagi Suami, tokh lebih sukses. Baik di festival, juga secara komersial.

No comments: