Saturday, May 3, 2008

Gubernur Nagabonar


www.inilah.com

CELAH
22/04/2008 20:57 WIB

Gubernur Nagabonar

M. Ichsan Loulembah

RABU (16/4) menjelang Maghrib, beberapa teman, sebagian dari Medan, menelepon. Selain mengabarkan, yang lain seperti meledek. "Syampurno menang dalam quick count. Apalagi ulasan dan alasanmu? Beda dari 'Hade' yang segar, dan ganteng, Syampurno kan tidak?"

Memang, dua LSI (Lingkaran Survei Indonesia dan Lembaga Survei Indonesia), serta JIP (Jaringan Isu Publik) petang itu melansir hasil penghitungan cepat mereka. Pasangan Syampurno (Syamsul Arifin-Gatot Pujokusumo) unggul dengan kisaran suara 29%. Di bawahnya ada Tritamtomo-Benny Pasaribu (Triben), Ali Umri-Maratua Simajuntak (Umma) serta Wahab Dalimunthe-Syafii (Waras) dan RE Siahaan-Suherdi (Pass).

Kembali ke pertanyaan bernada gugatan beberapa penelepon; bagaimana kita membaca hasil tersebut dari kacamata komunikasi politik?

Pertama; banyaknya pasangan yang bertarung, dengan komposisi mirip (Melayu/Jawa, Islam/Kristen, Jawa/Batak, Kristen/Islam) membuat petarungan berlangsung ketat. Zona tradisional masing-masing kandidat amat tipis, jika tak dikatakan berhimpit.

Meminjam strategi sepakbola; tak cukup zonal marking. Harus man to man marking campur total football. Plus cattenaccio menggrendel agar wilayah tradisional terjaga.

Kedua; istilah 'mesin politik' hanyalah mitos belaka. Juga absurd; kecuali untuk satu-dua partai yang amat disiplin, solid, tidak memiliki friksi dan faksionalisasi yang keras.

PDIP, misalnya. Energi politik mereka terkuras saat menentukan pasangan kandidat. Secara formal, memang tak terlihat gangguan berarti. Namun, di balik panggung, konflik tersebut pasti membelah lapisan kader mereka. Partai Golkar lebih terang lagi problemnya. Tiga calon gubernur (Ali Umri, Wahab Dalimunthe, Syamsul Arifin) notabene tokoh Golkar daerah tersebut.

Dalam penampilan berbeda, "pembelahan nonformal" terjadi dalam pilkada Jawa Barat. Mudah ditebak; selain menimbulkan kebingungan, pemilih juga mencari jalan 'aman', tak mau pusing.

Ketiga; seperti juga terjadi di Jawa Barat, membaca secara tepat suasana di masyarakat, menyuntikkan strategi komunikasi yang jitu, dan orisinal.

Di Jawa Barat yang menang mengunakan Hade — dalam bahasa Sunda kira-kira berarti baik/bagus — sebagai semboyan, singkatan nama kandidat, dan branding strategy.

Dibanding Triben, Umma, Waras, Pass, misalnya; Syampurno lebih bunyi, akrab, mudah diingat, enteng, punya konotasi baik, serta mengikat dua nama yang berbeda secara etnis (Syamsul Arifin/Melayu-Gatot Pujokusumo/Jawa).

Namun di atas sekadar branding strategy, orisinalitas karakter yang muncul dalam ingatan publik menjadi soal utama. Coba lihat pernyataan Syamsul Arifin di berbagai kesempatan.

"Aku ini kan jelek, makanya cucuk (tusuk, coblos) saja."

"Rakyat jangan lapar, harus punya masa depan, program pertanian bukan sekadar menambah lahan."

"Pemimpin bodoh kalah dari yang pintar, tapi yang pintar kalah menghadapi yang licik. Kalau aku ini pemimpin bertuah, tak kuat dilawan si licik."

Pilihan kalimatnya lugas sekaligus lurus. Tahu, sekaligus tidak takut dikatakan kurang tampan. Kejelekan — jika istilah ini tega dipakai — dan kekurangan bukannya disembunyikan, malah dipakai dengan selera humor yang bernas. Terukur dan tak pula mengeksploitasinya. Termasuk masa lalunya sebagai penjual kue.

Ada cerita saat kampanye. Panggung megah sudah tersedia, namun Syamsul Arifin tidak menaikinya. Dia menerobos kerumunan, berdialog langsung, tanpa basa-basi, dengan bahasa sehari-hari. Posisi tubuhnya — hal tidak sepele dalam semua jenis komunikasi —ditempatkan sejajar, bukan atas-bawah, dengan publiknya.

Penghormatan pada orang tua juga luar biasa. Hampir semua etape penting kampanyenya dilakukan dekat makam Tengku Rizal Nurdin, Gubernur Sumut yang wafat dalam tugas. Namun bahasa tubuhnya tidak terlihat pengkultusan.

Belakangan saya dengar cerita, dia pernah koma. Mungkin itu yang membuatnya tangguh, tak ingin menyia-nyiakan kesempatan hidup. Sekaligus tanpa beban mengarunginya.

Termasuk saat mengagungkan dirinya sebagai anak emak, "aku ini mau jadi Gubenur karena disuruh emak." Seperti Nagabonar, Syamsul Arifin memiliki orisinalitas dalam kepemimpinan serta street smartness.

Penulis adalah anggota DPD

No comments: