Monday, July 21, 2008

Pelajaran Kontes Idola


CELAH 21/07/2008 09:51

Pelajaran Kontes Idola

M Ichsan Loulembah

ARIS, Gisel, Patudu. Tiga nama yang beberapa bulan silam bukan apa-apa. Selain keluarga dan teman-temannya, tiga nama itu hanyalah remaja biasa di daerahnya masing-masing. Bakat mereka mencuat setelah kontes Indonesian Idol –yang secara berkala dilakukan tiap tahun– mereka ikuti.

Mereka melewati perjuangan panjang; berdesak-desakan dalam panas, antre mengambil formulir pendaftaran, mengikuti audisi lokal off-screen, hingga bisa tampil di layar televisi secara nasional.

Demikian halnya dengan Randi. Jejaka ini meninggalkan kampung halamannya yang sunyi di pinggiran Kota Palu, merambat pada posisinya sebagai satu-satunya laki-laki di antara lima besar kontes dangdut berjuluk KDI tahun ini.

Ada lagi Kiky. Anak laki-laki pasangan sederhana asal Manado ini mengalahkan Angel dalam kontes Idola Cilik. Si mungil dengan kualitas suara bertenaga dan kontrol laiknya penyanyi profesional ini memasuki industri popularitas yang dibangun oleh peradaban televisi.

Walaupun muncul sejumlah kritik atas komersialisasinya, kolom ini ingin memetik hal-hal berharga dari aneka kontes pencarian bakat yang akan dilambungkan menjadi idola itu.

Pertama; basis pencarian lebih meluas dibandingkan kegiatan serupa sebelumnya. Audisi menyelusup ke hampir semua kota, kontes-kontes ini memiliki kemauan besar menjaring sebanyak dan seluas mungkin potensi remaja Tanah Air. Walaupun ada pertimbangan komersial bagi stasiun televisi penyelenggara, upaya itu pantas dipuji.

Tidak bisa dianggap sepele, pretensi mereka bisa dipandang sebagai pengejawantahan desentralisasi dan pemanfaatan secara maksimal keluasan wilayah negeri ini.

Peluang bakat terpendam di daerah terpencil, sama dan sebangun dengan para remaja yang rumahnya hanya berjarak sepelemparan batu dari stasiun-stasiun televisi besar.

Kedua; dukungan atas para kandidat tidak di tangan segelintir ahli. Juri – para profesional di bidang itu – hanya bertindak selaku pengamat ahli atau komentator. Nasib para kontestan sangat ditentukan oleh pilihan rakyat, eh, pemirsa. Ujungnya, legitimasi atas hasilnya lebih memadai.

Ini pun jauh lebih baik jika kita membandingkannya dengan kontes-kontes di masa lalu; keputusan sepenuh-penuhnya di tangan para ahli, yang menimbulkan protes pendukung kontestan yang kalah, sesekali.

Jika ada sedikit kritik, hanya pada soal teknis. Seyogianya setiap nomor telepon selular (CDMA ataupun GSM) hanya bisa mengirimkan pesan pendek (SMS) dukungan sekali saja. Bukan berkali-kali seperti sekarang.

Ketiga; sportivitas atau dalam kalimat panjang: siap menang, siap kalah. Mari kita ingat adegan demi adegannya. Saat penentuan pemenang pada pergelaran puncak, atau siapa yang gugur, wajah kesemua kontestan tetap sumringah.

Sedih, tentu, tak dapat dihilangkan. Tapi, kesedihan itu terbagi pula pada kandidat yang justru menang. Bahkan, ekspresi kemenangan justru dibalut sedikit penyesalan, duka, sambil tetap menyajikan rekatan persahabatan yang kuat.

Yang kalah, selain tetap sedih, menonjolkan kepala tegak. Yang menang, jauh dari sikap mentang-mentang. Tangan persaudaran mereka justru erat terbentang.

Seandainya kita bisa meluaskan kenyataan-kenyataan kecil ini dalam skala dan bidang yang lebih luas semisal dalam rekrutmen politik, profesional di sektor swasta, termasuk promosi pegawai negeri sipil, polisi, dan tentara.

Meluaskan basis rekrutmen, memperbesar kemungkinan munculnya figur-figur terbaik. Selain itu, dukungan publik karena logika keprestasian (merrit system) akan kokoh.

Dan, terpenting, keragaman sumber daya sosial, budaya, etnisitas, segmen masyarakat, stratifikasi sosial, bukan jadi hambatan. Sebalikknya, justru dilihat sebagai potensi, kekayaan, dan peluang bagi bangsa untuk kemajuan.

* Penulis adalah Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI

No comments: