Friday, September 19, 2008

Nasionalisme Desentralistik


inilah.com

CELAH 11/08/2008 09:36

Nasionalisme Desentralistik

M Ichsan Loulembah

SEBULAN lalu, saya terlibat dalam sebuah diskusi di Megawati Institute. Di tengah para penggerak institusi riset pimpinan Arif Budimanta itu, hadir pula Taufik Kiemas, Lukman Hakim Saefuddin, dan Yudi Latif.

TK (panggilan akrab Taufik Kiemas), melontarkan pernyataan; perlunya sebuah Rumah Besar Kaum Nasionalis. Dalam rumah besar itu, terhimpun berbagai golongan, kelompok, aliran pemikiran politik, namun memiliki kesamaan ide besar: nasionalisme.

Menurut hemat saya, ide itu secara historis amat logis, dan secara politik menyatakan kerendahan hati, serta keinginan berbagi – sejarah, peran, cita-cita. Hal yang lumrah dalam politik.

Karena, sejarah nasionalisme kita sesungguhnya dimulai pada zaman kerajaan-kerajaan, tempo doeloe. Walaupun masih bersifat lokal, itulah modal awal nasionalisme kita. Sebuah proses terserak, namun memiliki keterkaitan inti; sebuah sikap tak rela terjajah, dan tak sudi direbut segala haknya.

Di zaman berikutnya, para elit (cendekiawan, saudagar, aktivis pergerakan, tokoh masyarakat, pemimpin agama) membawanya pada tingkatan di atas daerah, di atas sukubangsa. Bermodal pemikiran yang lebih mutakhir, inspirasi dari macam-macam bangsa; energi terserak itu disimpul dan direkatkan menjadi sebuah nasionalisme pada tingkat kebangsaan.

Nasionalisme pada saat kemerdekaan hingga limapuluhan tahun kepemimpinan Soekarno dan Soeharto, digunakan sebagai elemen utama penggerak pembangunan politik (Bung Karno) dan ekonomi (Pak Harto). Niat kedua pemimpin itu sederhana; berupaya mengefektifkan serta mengefisienkan manajemen pembangunan.

Tantangan kebangsaan yang belum matang serta keterpecahan ideologis yang tajam, membuat pilihan sejarah Bung Karno meringkas pola penyatuan politik secara keras pada hampir sekujur sejarah Orde Lama.

Pak Harto – dengan tantangan berbeda – juga tergoda untuk meringkus politik sebagai kelemahan semata. Seperti kita tahu; Orde Baru mengedepankan ide-ide ekonomi yang harus tumbuh, menaruh politik di tempat yang amat belakang. Jika tidak disebut nista.

Manajemen penyatuan politik Orde Lama dan efisiensi pembangunan ekonomi Orde Baru punya watak sama: sentralistik.

Mudah dipahami. Indonesia terbangun dalam corak amat beragam, wilayah yang luas, terpisah oleh pulau dan laut-laut dalam. Sulit untuk dikelola jika tidak melakukan sentralisasi di masa-masa pembentukan (formative period).

Selain punya efek positif (efisien dan efektif dalam manajemen politik dan ekonomi), pilihan Bung Karno dan Pak Harto menegasikan potensi energi lokal yang menjadi penyuplai utama nasionalisme di level bangsa pada masa belum merdeka. Pendapat yang muncul dari lokal tidak diletakkan sebagai kritik. Bahkan disimpulkan sebagai perlawanan dan gangguan semata.

Dinamika dalam interaksi ideologis partai-partai politik di masa-masa awal merdeka, dan relasi lokal-nasional yang tegang pada fase berikutnya, mulai menyurut.

Nasionalisme kini harus diletakkan dalam semangat desentralistik. Artinya, semangat nasionalisme justru harus didirikan dari kenyataan keragaman dan kekhasan lokal.

Kenyataan itu, sesuai derap sejarah, tidak lagi dinilai sebagai hal negatif. Semestinya diletakkan dalam bingkai positif sebagai sebuah kenyataan sejarah kita yang pluralistik dan berawal dari lokal.

Dari segi pembangunan politik dan ekonomi, nasionalisme yang berwajah desentralistik tidak membunuh keragaman, justru memanfaatkannnya sebagai energi pembangunan. Dengan demikian, segala rencana dan tindakan ekonomi-politik secara nasional mendapatkan topangan lokal yang kokoh.

Medan yang begitu luas, beragam, dan tingkat kesulitan yang tidak sederhana, justru membutuhkan energi terserak untuk dipusatkan menjadi sebuah kekuatan.

Menurut hemat saya, dengan skenario itulah nasionalisme kita bisa kuat, menghadapi tantangan dunia, secara bersama.

Penulis adalah Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI [L1]

No comments: