Tuesday, March 18, 2008

Birokratisasi Demokrasi


www.inilah.com

CELAH

29/02/2008 17:45 WIB

M. ICHSAN LOULEMBAH

SALAH satu kritik pada proses perumusan kebijakan publik di era Orde Baru; sifatnya yang sentralistik. Sentralisasi itu bisa pula dimaknai sebagai proses perumusan kebijakan publik (pembangunan) yang minim –bahkan nihil — partisipasi masyarakat.

Di zaman itu para ilmuwan sosial, politik, dan ekonomi, melontarkan kritik betapa produk-produk pembangunan sebagian tidak tepat sasaran. Separuh karena proporsi sektoral yang salah, sebagian lagi disebabkan oleh lokasi dan penempatan kegiatan pembangunan tidak sesuai kebutuhan setempat. Sesekali terlampau mekanistik.

Sebab, prosesnya dilakukan dalam ruangan sempit, sebatas rapat-rapat para perencana di level birokrasi dengan jarak amat jauh dari masyarakat. Sehingga kurang imajinatif atas kebutuhan nyata di masyarakat.

Atas pengalaman itu, proyek reformasi melansir upaya memperluas partisipasi masyarakat dalam semua proses pembangunan —termasuk perencanaan dan perumusannya — agar lebih tepat sasaran.

Mulai dari tingkatan di daerah, apa yang disebut sebagai perencanaan pembangunan didiskusikan, diperdebatkan, dengan pelibatan unsur masyarakat; tokoh informal, lembaga-lembaga masyarakat, dunia kampus, sampai kaum muda.

Tentu saja sebuah itikad baik dan implementasi dari semangat desentralisasi sebagai isu pokok reformasi.

Persoalannya, proses yang diniatkan menampung pendapat dan keinginan masyarakat tidak semuanya berlangsung sesuai keinginan baik dari proses tersebut.

Bermunculan berbagai lembaga swadaya masyarakat yang datang dengan semangat proyek; sebagian malah dibentuk oleh para elit birokrasi. Ini muncul sebagai upaya menangkap peluang karena hukum supply-demand yang tidak seimbang.

Dua akibat yang terjadi. Pertama; keinginan luhur untuk membangun mekanisme yang lebih partisipatif dalam perencanaan pembangunan lebih bersifat proforma.

Karena elemen keswadayaan masyarakat yang partisipatoris dan egaliter mengalami deviasi oleh praktek birokrasi dan elit.

Kedua; problem sehari-hari yang begitu mendesak pasti lebih menjadi prioritas bagi masyarakat di lapisan terbawah. Waktu produktif lebih banyak tersita untuk kegiatan menyelesaikan problem ekonomi sehari-hari.

Malah sebagian diantaranya harus mencari nafkah hari ini untuk dikonsumsi keesokan harinya. Pada tingkatan kebutuhan pokok (basic needs). Sulit jika harus disedot pula untuk proses perencanaan pembangunan.

Disinilah perlunya berbagai kelompok strategis melibatkan diri. Sebab, pemilihan umum sebagai sarana memilih represantasi politik berlangsung secara periodik. Rentang waktu dari pemilu ke pemilu terlalu panjang untuk mengawal aspirasi dan partisipasi masyarakat dalam politik.

Untuk itu dibutuhkan sebuah ruang dalam politik sehari-hari (day to day politics) di mana problem pembangunan membutuhkan jalan selain proses formal politik.

Problemnya, rentang proses yang rumit, membuat proses pengambilan keputusan menjadi panjang. Bahkan, secara teknis dimana-mana sulit untuk merumuskan kesimpulan operasional dari begitu banyak kelompok.

Ada pilihan lain. Munculnya kepemimpinan yang penuh imajinasi di berbagai tempat —provinsi, kabupaten ataupun kota — yang sukses dalam pembangunan.

Banyak contoh yang bisa dibeberkan di sini, betapa kepemimpinan yang imajinatif terbukti efektif merumuskan dan mempraktekkan problem masyarakat di daerah mereka masing-masing.

Beberapa di antaranya bahkan terpilih dengan perolehan suara mengagumkan dalam pilkada; membuktikan bahwa keputusan pembangunan mereka tidak jauh jaraknya dengan aspirasi masyarakatnya.

Fakta ini penting untuk menjadi pilihan lain terhadap proses perumusan kebijakan pembangunan yang diniatkan demokratis, tidak terjebak menjadi sekadar birokratisasi demokrasi. Demokratis, namun birokratis. [L1]

No comments: