Tuesday, March 18, 2008

Wapres dan Seminar


www.inilah.com

CELAH

08/03/2008 19:39 WIB

M. ICHSAN LOULEMBAH

"ORANG Indonesia sudah bisa ke bulan. Bangsa lain memakai roket dan pesawat angkasa luar. Bangsa Indonesia cukup menumpuk berkas dan dokumen hasil seminar, pasti sampai ke bulan."

Lelucon bernada apatis campur sinis itu sering terdengar pada paruh 80-an. Saat membanjirnya berbagai jenis diskusi; seminar, diskusi panel, sarasehan, focus group discussion, lokakarya, diskusi terbuka, diskusi terbatas, diskusi panel ahli, dan berbagai penyebutan lainnya.

Rupanya, situasi tersebut belum berubah. Saya tersadar, dan teringat kembali masa-masa itu saat membaca sinyalemen Wakil Presiden M Jusuf Kalla dalam sebuah berita pendek di harian Kompas edisi 6 Maret 2008.

Menurut Wapres, penyelenggaraan seminar sudah terlampau banyak. Baik diselenggarakan jajaran pemerintah, juga lembaga lainnya. Dalam hematnya, lebih penting jika hasil seminar sungguh-sungguh dilaksanakan untuk memperbaiki keadaan.

Memang, kenyataan di masa 80-an tersebut seperti berulang. Saat itu, berbagai seminar tersebut banyak dimotori gerakan masyarakat (baca: LSM/NGO, aktivis politik, akademisi, gerakan mahasiswa).

Tujuan kegiatan pada masa itu antara lain merumuskan kritik atas skenario pembangunan baik dalam bidang ekonomi, sosial, politik, hukum, bahkan ideologi formal. Baik secara ideologis dipandang tidak bertumpu pada problem nyata rakyat, juga pada proses perumusannya terlampau pragmatis.

Bukan cuma itu, rangkaian diskusi mereka juga menyusun semacam skenario tandingan atau skenario masyarakat sebagai antitesis atas skenario negara/pemerintah. Pelajaran tentang pentingnya partisipasi masyarakat mulai diperkenalkan.

Kini, situasinya berbeda. Pemerintah justru menjadi pihak yang menggelorakan berbagai jenis diskusi dan seminar. Hal ini karena beberapa kemungkinan alasan.

Pertama; sulit kini untuk memaksakan sebuah pendapat menjadi sebuah keberanan. Apalagi harus dilaksanakan. Masyarakat memiliki sumber informasi lebih dari cukup.

Kedua; otoritas pemerintah – para pelaku di jajaran pemerintahan — merosot dibandingkan dulu. Walaupun mungkin kualitas aparatur justru meningkat.

Ketiga; miskinnya kreativitas di jajaran birokrasi dalam menyusun agenda. Yang dilakukan adalah melipatgandakan jumlah kegiatan. Bukan memperbanyak jenis kegiatan.

Untuk menjawab beberapa persoalan tersebut, pihak luar pemerintahan (baca: akademisi, peneliti, pengamat, pembicara publik, aktivis gerakan masyarakat, kolomnis tenar) dilibatkan pada kegiatan seminar dan diskusi untuk dipinjam kredibilitasnya.

Tujuannya, saat kegiatan dilaksanakan, berbagai rencana kegiatan telah melewati uji sahih secara akademis. Inilah penyebab betapa getolnya jajaran pemerintahan menggelar berbagai dikusi dan seminar berkaitan dengan wilayah kerjanya.

Bahkan, jika organisasi non-pemerintah menggelar sebuah seminar, biasanya juga merupakan kegiatan 'kerjasama' atau 'disponsori' oleh instansi pemerintah. Hal ini pun jamak terjadi.

Namun, sebetulnya bukan itu saja. Sering kita temui berbagai tayangan diskusi (baca: talkshow) di televisi – dan bukan hanya di TVRI, juga di televisi swasta — merupakan bagian dari proyek pemerintah. Serta ada mata anggarannya dalam nomenklatur.

Menurut hemat saya, imbauan Wapres Kalla ada benarnya. Harus ada evaluasi yang ketat dan rinci bagaimana antar instansi pemerintah dalam menjalankan program pengkajiannya.

Dibutuhkan kreativitas dalam merumuskan jenis kegiatan, juga efisiensi dalam penganggaran. Sebab, hukumnya jelas; jika tidak kreatif, jenis pekerjaan itu-itu saja, tinggal diulang terus.

Diskusi dan seminar jadi sekadar formalitas belaka. Satu tema diulang terus, dan muncul di setiap tahun anggaran. Proceeding seminar sebelumnya entah ke mana. Boro-boro dilaksanakan? [P1]

No comments: