Monday, February 18, 2008

Bung Karno, TV, Pak Harto


Sumber: Rubrik CELAH www.inilah.com

Kamis, 07 Februari 2008

M. ICHSAN LOULEMBAH

SECARA umum, pemirsa mengikuti detik-demi-detik sakit hingga wafatnya Pak Harto dari tayangan televisi. Namun ada pula –utamanya kalangan kritikus— yang mempersoalkannya.

Durasi dan proporsi yang dianggap terlampau meluap, sudut penyajian (angle) yang dianggap berat sebelah serta membangun empati. Bahkan sebagian dari kritikus menyuntikkan analisisnya dengan data kepemilikan beberapa televisi swasta.

Kontroversi tersebut, apa boleh buat, diperbandingkan dengan mangkatnya Bung Karno awal 1970-an. Padahal sederhana saja. Wafatnya Sang Orator saat kemajuan industri televisi dan teknologi informasi belum sedramatis di abad milenium sekarang. Di negeri kita, televisi kita cuma satu, masih hitam-putih, harga dan bobot kamera sama beratnya, belum ada teknologi SNG (satellite news gathering) yang ringkas, apalagi portabel.

Tidak ada kompetisi riuh yang melibatkan pertaruhan gengsi tim redaksi, ambisi para awak pemasaran mencari iklan, senyum para pemilik membayangkan billing iklan mendaki, serta meroketnya harga saham di pasar sekunder.

Sang Orator wafat sebelum Indonesia –dan dunia—menjadi demikian sempit dan datar (meminjam istilah Tom Friedman) akibat revolusi dalam bidang teknologi informasi.

Jalur telekomunikasi beraneka memudahkan semua peristiwa yang membangun sentimen kemanusiaan mengalir deras ke sudut-sudut pribadi rakyat lewat saluran televisi. Dalam kecepatan dan tingkat reproduksi yang luar biasa, berbagai denyut tersaji dengan jeda amat tipis, antara peristiwa menjadi tontonan.

Belum lagi kita menambahkan daftar multimedia yang semakin banyak, sekaligus makin terintegrasi antar satu jenis media dengan lainnya. Makin lama makin murah pula.

Menurut hemat saya, sulit kita sekadar menyalahkan televisi. Apalagi sekadar membubuhi kekesalan dengan kepemilikan segala. Bahwa, ada satu-dua stasiun televisi yang terasa berlebihan membuat agenda; itu urusan para pimpinan redaksinya dalam pertaruhan kredibilitas mereka dihadapan publik vis a vis perhatian yang mereka ingin raih di mata pemilik.

Namun, sekali lagi, televisi tidak bisa kita bebani dengan idealisme, apatah lagi ideologi macam-macam, yang berat-berat.

Sejarah pertelevisian adalah kelanjutan dari gabungan perkembangan theatre of mind (radio) dan teater yang sesungguhnya (sandiwara, opera). Televisi mutakhir menggabungkan, mencampur, sekaligus mereproduksi tayangan; tetap dengan karakter inti teatrikalnya. Yang tersaji selalu mengacu pada drama, plus berbagai unsur dramatikalnya. Cengeng, maupun serius.

Drama itu bisa berwujud perang. Kegigihan dan keberanian para jurnalis nyaris seimbang dengan para prajurit di medan laga. Cable News Network (CNN) meroket karena liputan perangnya yang saat itu juga (realtime). Al-Jazeera, dengan sudut pemberitaan (angle) relatif berbeda, sekaligus melengkapi CNN, juga masyhur karena tayangan eksklusifnya di medan perang, belakangan ini.

Drama itu juga bisa berwujud obituari. Akibat televisi, kematian tragis Lady Diana Spencer menguras air mata seantero jagad melampaui batas-batas politik, ideologi, agama, etnisitas, warna kulit, kaya-miskin. Juga berita berpulangnya Benazir Bhutto, Yaser Arafat, Pope John Paul II, Kurt Cobain, sampai Nike Ardilla, Indra Safera, Taufik Savalas dan Basuki.

Masalahnya, sebuah drama akan diingat tidak lama, karena akan segera dilindas sebuah drama baru. Gambar penumpang perahu karet di jalan tol Jakarta, penduduk China berjuang melawan timbunan salju, teriakan histeris pendukung pilkada yang marah. Begitu seterusnya. Lewat rumah produksi Harpo, Oprah Winfrey secara teratur mengirimkan drama duka cita hingga cerita suka cita menembus dinding dunia.

Seperti jargon Fox News Channel: we report, you decide. Kesimpulan dan pendapat ada pada khalayak semata. Bagi televisi; kontroversi, emosi, adalah rukun utama. [I4]

No comments: