Friday, February 1, 2008

General's Election


Kamis, 17 Januari 2008

Barack Obama, Hillary Clinton, Mitt Romney, John Edwards, Rudolph Giuliani, mencuri halaman utama (front page) dan waktu utama (prime time) berbagai media dunia. Tak terkecuali media di Tanah Air.

Pencarian pemimpin di Negeri Paman Sam, apa boleh buat, menjadi agenda dunia. Memilih calon presiden Amerika Serikat, seperti menanti pemimpin baru planet bumi.

Pemilihan umum, walau niat dan substansinya adalah pembicaraan —bahkan persaingan— menyangkut inspirasi, ide-ide, aspirasi, dan berbagai rencana politik; yang memikat tetaplah perbincangan tentang orang. Mengenai tokoh. Menyangkut aktor.

Sejak tahun silam —bahkan pada triwulan awal— perbincangan tentang siapa (sekali lagi, siapa) yang akan menjadi pemimpin negeri kita, mulai dipompakan. Bukan apa, atau bagaimana cara memimpin, cara menyelesaikan masalah, cara mengelola berbagai kelebihan bangsa, yang menjadi titik perhatian. Ruang publik selalu terseret pada gairah membandingkan antartokoh.

Bukan itu saja. Secara formal, walaupun parlemen sibuk dengan revisi beberapa undang-undang berkaitan dengan politik, berbagai klausul tentang kriteria calon presiden selalu merebut perhatian.

Hampir seminggu, berbagai media massa menyajikan silang-sengketa tentang derajat tertinggi pendidikan formal calon presiden. Pekan berikutnya mereka berbeda pendapat menyangkut batasan terendah persentase sebuah partai politik, atau kumpulan parpol bisa mengajukan calon presiden.

Beragam argumen berketiak-ular yang digunakan dalam revisi paket undang-undang politik tersebut; intinya tak lebih dari pertarungan laten tentang siapa diuntungkan, siapa yang dijegal, oleh pasal-pasal yang dipasang.

Pendek kata, perbincangan tentang siapa aktor menjadi simpul yang meringkas berbagai problem —baik yang sistemik ataupun masalah sehari-hari. Seakan-akan, problem distribusi pangan, kekurangakuratan perkiraan musim hujan, tempe-tahu minim suplai kedelai, kartel yang makin keji, penyaluran elpiji yang cuma indah di tivi; semuanya bisa dipukul oleh satu orang presiden. Entah presiden lama, atau penggantinya.

Dari beberapa nama yang dipertimbangkan publik —juga karena disigi lembaga survei— muncul nama-nama pensiunan jenderal. Nama-nama purnawirawan itu membesar jika kita sertakan pula kecenderungan pemilihan kepala daerah (gemar kita singkat: pilkada).

Sutiyoso, Wiranto, Agum Gumelar, Ryamizard Ryacudu, disamping Susilo Bambang Yudhoyono, merupakan nama-nama yang kerap dipertimbangkan masuk 'divisi utama' pada berbagai jenis perbincangan dan publikasi.

Daftar itu belum termasuk para jenderal yang menjadi pengurus inti dari tim sukses mereka, baik yang telah terbuka ataupun diam-diam beroperasi. Plus mereka yang menduduki posisi strategis hampir semua partai. Bahkan partai politik berbasis agama.

Kita harus mengingat pendapat Profesor Juwono Sudarsono, beberapa tahun silam, berpokok pada keraguan sipil bisa menyalip militer dalam menyediakan calon pemimpin tangguh. Karena jenjang kepemimpinan dalam militer memiliki pola terjaga. Selain secara hirarkis, militer memang tidak 'serumit' organisasi sipil.

Boleh jadi, waktu itu, Juwono tidak sedang mengagumi militer atau meremehkan sipil. Bisa pula, masyarakat mulai capek dengan keriuhan demokrasi yang lebih menonjol di jalanan, dan kepalan tangan. Barangkali, masyarakat mulai menomorsatukan jaminan keamanan agar mudah cari makan.

Yang jelas deretan kaum berbintang —baik dari militer maupun kepolisian— perlahan mulai menjadi pilihan utama dalam berbagai jenjang rekrutmen kepemimpinan.

Di tengah teriakan reformasi yang mulai basi, akankah general election harus dibaca general’s election, di negeri ini? [L1]

sumber: www.inilah.com

No comments: