Monday, February 18, 2008

Stop Pemekaran?


Sumber: Rubrik CELAH www.inilah.com

Kamis, 31 Januari 2008

M. Ichsan Loulembah

BERBAGAI tudingan diarahkan pada upaya pemekaran yang dipandang lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya. Kasus beberapa daerah hasil pemekaran yang gagal berkembang selalu dijadikan contoh soal.

Semua argumen tersebut berujung pada gagasan untuk menghentikan (moratorium) proses pemekaran wilayah.

Jika kita ingat, pemekaran bukan hanya terjadi di masa reformasi. Beberapa daerah baru juga dihasilkan oleh pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru. Memang, inisiatif pemekaran semakin meluap setelah pemerintahan Orde Baru tumbang.

Panitia dan komite pembentukan pemekaran bermunculan di seantero negeri. Berbagai alasan -historis, kultural, primordial, ekonomi, sampai yang secara laten (sebenarnya) berawal dari rivalitas antar elite dalam perebutan jabatan politik- menjadi tumpuan argumen para pengusung aspirasi pemekaran.

Secara normatif, pemekaran diniatkan untuk mendekatkan pelayanan birokrasi serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Medan berat serta jauhnya jarak antara pusat-pusat pelayanan publik di berbagai daerah -terutama di luar Jawa- memang sebuah fakta.

Masalahnya, apakah kita harus melihat isu ini secara hitam-putih? Apakah kegagalan beberapa daerah pemekaran membuat kita menutup mata atas keberhasilan sejumlah daerah hasil pemekaran?

Meminjam analogi ruang kelas di sekolah, tidak boleh menyamaratakan penanganan atas sejumlah murid tanpa secara selektif menangani mana kelompok murid yang baik dan pandai, mana yang nakal dan kurang.

Gorontalo, misalnya, sebuah contoh yang amat membelalakkan mata. Peningkatan pada pertumbuhan ekonomi, efektivitas dan efisiensi pelayanan birokrasi, yang berujung pada kesejahteraan rakyat di sana telah menjadi pengetahuan publik.

Kabupaten Parigi-Moutong di Sulawesi Tengah, untuk menyebut contoh yang saya ketahui, juga menunjukkan data-data dalam berbagai bidang yang mencengangkan. Bahkan, bisa mendekati daerah induknya dalam beberapa bidang.

Intinya, jangan sampai mengulang cara kita dalam mengatasi berbagai masalah: bergerak dari satu ekstrem ke sisi ekstrem sebaliknya. Sebab, range masalah terlampau luas serta dinamis, sulit diringkas menjadi keputusan hitam-putih.

Memang, selama ini pemekaran pasca reformasi terkesan terlampau mudah. Di awal reformasi, publik tidak pernah disajikan informasi memadai mengapa sebuah daerah dimekarkan.

Kini, pintu pemekaran pun tidak tunggal. Dewan Perimbangan Otonomi Daerah, sebagai instrumen pemerintah, menjadi salah satu pintu sebuah usulan pemekaran selain Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Walaupun keputusan sebuah daerah di tangan DPR, bisa dibayangkan ada tiga gerbang untuk melahirkan daerah baru. Padahal, bisa menatanya menjadi proses bertingkat.

DPOD berfungsi sebagai instrumen yang mengkaji dan meneliti setiap proposal pemekaran dari aspek-aspek kelengkapan administratif, kajian akademis, serta kesiapan sumber daya.

DPD bertindak dalam lingkup aspirasi daerah, termasuk keseimbangan antara peluang peningkatan pelayanan dan kesejahteraan. DPR mengkonstruksikannya dalam wilayah politik dan strategi pembangunan bersifat nasional.

Jika itu dilakukan, kita tidak akan berhenti pada sikap penyamarataan yang cenderung bernada putus asa. Pemekaran tidak boleh dihentikan sama sekali, tapi dihindari pula pola pemekaran yang terkesan obral.

Di atas semua itu, pemerintah pusat sesungguhnya punya kewajiban melakukan supervisi atas peningkatan pelayanan aparat daerah. Dan, evaluasi menyeluruh bagi penciptaan sebuah cetak biru penataan wilayah untuk diproyeksikan ke masa depan. [L1]

No comments: