Monday, June 30, 2008

Individualitas Sepakbola


CELAH 23/06/2008 16:03

Individualitas Sepakbola

M. Ichsan Loulembah

SERING terdengar pertanyaan, "masak dari 200-an juta penduduk, kita tidak bisa menciptakan satu kesebelasan yang tangguh?"

Menurut hemat saya, ada yang salah saat kita memandang sepakbola. Seakan, sepakbola berintikan orang-orang yang dengan mudah diturunkan tingkat kolektivitasnya dari level bangsa, komunitas, daerah, suku, keluarga, menjadi sebelas orang pemain.

Logikanya, negara-negara dengan jumlah penduduknya padat, lebih mudah membentuk kesebelasan tangguh. Sebaliknya, negara-negara dengan jumlah penduduknya sedikit akan jarang merajai laga antarbangsa.

Hampir tidak ada pola baku melihat hubungan antara jumlah penduduk, besar wilayah, dan kemajuan sepakbola suatu bangsa. Negara-negara Skandinavia memiliki tim yang tak dapat diremehkan. Padahal penduduk mereka tak terlalu besar. Pun demikian negeri-negeri di Amerika Selatan.

Di lain pihak, negara-negara berpenduduk besar – Cina, India, Indonesia, dan Amerika Serikat – belum termasuk tim yang menjadi favorit di laga-laga berkelas dunia.

Pada sisi lain, sepakbola juga tidak berhubungan dengan tingkat kemajuan ekonomi. Bahkan, lebih sering terjadi hal kontras dalam sejarah persepakbolaan dunia.

Negara-negara dengan sistem modern – ekonomi, sosial, demokrasi – yang matang hampir dipastikan memiliki kesebelasan tangguh. Juga dapat dilihat dari negeri-negeri dengan sejarah peradaban panjang. Iran, Irak, Jepang, Yunani, Italia, Prancis, Inggris, Mexico, misalnya.

Namun, negara-negara miskin – sebagian bahkan minim demokrasi – juga bisa melahirkan kesebelasan kuat. Negara-negara di benua Afrika dan Amerika Latin, contohnya.

Melihat kasus-kasus tersebut, inti dari sepakbola adalah individualitas. Bukan kolektivitas. Gabungan individu-individu yang tangguhlah yang bisa membangun sebuah tim yang tangguh.

Walau dimainkan oleh satu kelompok orang – pemain inti 11 orang tambah sekian pemain cadangan – sepakbola sejatinya permainan yang mengandalkan ketrampilan, kemampuan, dan ketangguhan individual.

Dengan motif berbeda, setiap anak manusia, di tengah kesulitan dan kelebihan komunitasnya masing-masing; memiliki motif berbeda untuk maju dalam hal sepakbola.

Seorang anak miskin di Amerika Latin atau Afrika, tidak memiliki jalan yang banyak untuk keluar dari impitan ekonomi dan deraan hidup, keculai sepakbola.

Bagi anak-anak Eropa (Barat), Korea, dan Jepang, sepakbola dapat mewujudkan cita-citanya menjadi termasyhur, mengarungi pergaulan internasional. Termasuk menjadi faktor inti dalam industri sepakbola dan menyumbang secara signifikan pada perputaran uang skala besar di jantung kapitalisme mondial.

Secara umum, seorang individu semisal Didier Drogba, Samuel Eto’o, Khalid Boulahrouz, Thiery Henry, Robinho, Christiano Ronaldo, Ruud van Nistelrooy, Michael Ballack, Park Ji Sung, dan lainnya, bukan sekadar atlet. Mereka melompat dari pemain di kampung menjadi aktor peradaban global.

Mereka bisa memasuki panggung dunia, menjadi duta bangsa, mempromosikan negara. Selain menjadi kaya yang langsung berimpilikasi pada kemakmuran dirinya, dan keluarga, bahkan masyarakat di sekitarnya.

Jika olahraga perseorangan – golf, tenis, catur, tinju, balap (motor, mobil, sepeda), misalnya – hanya memerlukan ketrampilan, kemampuan teknis, serta ketangguhan semangat juang atlet tersebut, sendirian. Pada sepakbola, segenap kemampuan perseorangan masing-masing individu, diramu dengan kesediaan kerjasama, dan dipayungi oleh strategi serta pola yang dibangun secara kolektif oleh pelatih atau manajer tim.

Tradisi setiap bangsa yang mampu membangun secara konseptual sebuah kesebelasan berbeda satu sama lain. Ketersediaan sumberdaya kebudayaan dan tradisi masing-masing bangsa, ditangan individu – pelatih atau konseptor strategi persepakbolaan – dalam berbagai kasus, bisa menjadi energi maksimal.

Kembali ke pokok soal kita; bagaimana menemukan calon-calon aktor peradaban tersebut di negeri kita? Bagaimana menggelorakan individualitas mereka? Bagaimana menemukan konsep sepakbola yang akurat?

Penulis adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah RI

No comments: