Thursday, June 5, 2008

Nyali Bang Ali


www.inilah.com

CELAH 27/05/2008 19:22

Nyali Bang Ali

M Ichsan Loulembah

SELAIN para bintara, tamtama, dan perwira itu – kebanyakan dari Korps Marinir Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut berbalut pakaian dinas upacara lengkap (PDUL) – nampak puluhan tokoh dan ribuan anggota masyarakat.

Itulah pemandangan saat mobil saya perlahan melewati tempat pemakaman umum itu.

Mereka memberi penghormatan terakhir pada almarhum Letnan Jenderal Purnawirawan (Marinir) Ali Sadikin. Bang Ali, sebutannya setelah menjadi Gubernur DKI Jakarta pada 1966-1977, wafat di Singapura pada 20 Mei 2008.

Bang Ali memang Tokoh; dengan T besar. Takdirnya pun mengantarkan ia wafat di hari Kebangkitan Nasional.

Konsistensi pemikiran dan sikap kerakyatannya terjaga hingga ke tempat pemakaman, di Tanah Kusir. Jasadnya dimakamkan di liang yang sama dengan Nani Sadikin, istri pertamanya. Dekat dengan rakyat yang pernah dipimpinnya. Konsisten dengan seruannya saat menjadi gubernur; lahan Jakarta sempit.

Seruan kebajikan sering keluar dari deretan tokoh. Baik di masa lalu, maupun kini. Namun, minim yang mau melaksanakan ungkapan retorik mereka sendiri. Ibarat seruan hanya bagi khalayak ramai, tabu diberlakukan bagi mereka yang menggenggam privilese sosial. Bang Ali berbeda.

Pada hari-hari pertama masa pemerintahannya – dilantik usia 39 tahun – putra Sumedang ini bergabung peluh dengan masyarakat dalam bus kota untuk menanyai dan merasakan problem transportasi umum.

Purnawirawan marinir – dulu KKO – ini memang gubernur yang keras, dan disiplin. Namun, walau diangkat oleh Bung Karno – yang sering menyebutnya koppig (keras kepala) – dia menjalani kepemimpinan justru paling lama di zaman Pak Harto.

Ini menjelaskan dengan mudah bahwa, menjadi pemimpin yang bisa bertahan dalam segala cuaca politik tidak harus menjilat. Juga tidak perlu menyesuaikan dengan ritme atasan atau ABS. Sikap yang makin jarang kita saksikan.

Bang Ali juga pemimpin paripurna. Memang ia membangun sarana transportasi; pernah mengadakan 500 bus kota, membangun jalan yang dulu penuh lubang menganga. Ia juga merapikan kampung-kampung Jakarta dengan proyek Muhammad Husni Thamrin yang diganjar penghargaan internasional Aga Khan Award.

Bukan cuma dalam bidang fisik. Di era kepemimpinannya juga dibangun Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki. Di dalamnya ada ruang bagi berkesenian, lahir sekolah kesenian (LPKJ, lalu berubah menjadi IKJ), juga planetarium.

Untuk kaum muda, ia memerintahkan pembangunan Gelanggang Remaja bagi aktivitas kesenian dan olahraga di lima daerah Jakarta yang hingga kini masih berdiri.

Visinya lengkap. Perhatiannya tidak semata pada sektor pemerintahan. Jauh sebelum gerakan masyarakat menjadi trend, ia menyokong proyek aneh waktu itu; mendirikan lembaga yang mengurusi keadilan masyarakat yakni Lembaga Bantuan Hukum (LBH).

Masih dalam konteks mengimbangi kekuasaan pemerintah, ia memerintahkan Ciputra – pengusaha kelahiran Parigi, Sulawesi Tengah – yang memimpin PT Pembangunan Jaya membantu sejumlah jurnalis muda menerbitkan majalah Tempo.

LBH dan Tempo, bukan belakangan hari, namun di awal kegiatannya justru banyak mengritik proses pembangunan Jakarta, terarah pada implikasi dan kelemahan-kelemahannya di lapangan.

Menurut hemat saya, hampir tidak mungkin kita mendapati pemimpin mau menciptakan institusi ibarat ”senjata” yang juga menembak dirinya sendiri.

Dan paling mengejutkan, keberaniannya berdebat dengan kalangan ulama yang memprotes perjudian. Padahal masa itu judi dilegalkan. Namun jarang ada yang berani menyentuhnya. Selain takut berhadapan dengan tokoh agama, para pejabat juga takut tidak populer.

Tentu saja Bang Ali tetap menghormati para ulama. Namun ia tulus, membangun infrastruktur bagi masyarakat. Sekaligus realistis karena anggaran pemerintah memang tak ada. Sentuhannya pada pembangunan Jakarta tetap terasa.

Belajar dari almarhum; selain gagasan strategis, ia juga punya keyakinan dan nyali. Untuk bangkit, negeri ini membutuhkan pemimpin dengan nyali Bang Ali.

Penulis adalah Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI [L1]

2 comments:

Anonymous said...

Saya tidak mengomentari tulisannya, tapi blognya. Boleh juga. Di tengah kesibukan Anda sebagai wakil rakyat, Anda masih sempat bikin blog, dan aktif meng-update-nya. Dan, yang terpenting, para pluralis seperti Anda memang harus sering bersuara, untuk menandingi suara-suara keras dari para anti-pluralis (para fundamentalis dan radikalis).

Ichsan Loulembah said...

Thanks bro...