Monday, October 22, 2007

Fathia Syarif: Antara Minyak dan Buku Sejarah

Jurnal Nasional - Kamis, 11 Okt 2007

Anggota Dewan Perwakilan Daerah Ichsan Loulembah menulis di blog-nya tentang perubahan yang terjadi pada diri sahabatnya Hamid Basyaib. Ichsan mengamati, aktivis Jaringan Islam Liberal itu begitu berubah ketika mengenal seorang perempuan bernama Fathia Syarif.

Tak seperti sebelumnya, Ichsan mencatat, setelah berkenalan dengan Fathia, sulit menemukan Hamid berbincang-bincang sambil tak henti-hentinya memencet tuts telepon selulernya, membalas pesan pendek, yang belakangan diketahuinya, karena sedang berdebat dengan Fathia.

Sambil "memaksa" penulis artikel "Negara Madinah dan Sekularisme" ini agar segera mengambil langkah-langkah cepat, Ichsan menginterogasinya perihal: siapa perempuan yang membuatnya amat berubah itu? Dengan antusias Hamid lalu menceritakan sosok perempuan ini.

Hamid mendeskripsikan gadis pujaannya itu: mandiri - dalam banyak hal, matang, memiliki tanggung jawab pekerjaan yang tidak remeh, modern dalam penampilan maupun cara berpikir, lugas, tidak mudah menyetujui pendapat seseorang tanpa mengejarnya lagi, tidak menabukan kehidupan malam untuk menghibur diri, tahu banyak tempat makan enak, punya banyak buku, dan "ramai".

Sedangkan kepada sahabatnya yang lain, Nong Darol Mahmada, Hamid menilai Fathia sebagai berikut," Dia itu JIL (Jaringan Islam Liberal) banget loh. Pokoknya keren deh." Begitulah pengakuan Hamid yang ditulis Nong dalam blog-nya.

Hamid dan Fathia pun menikah April lalu, setelah perkenalan mereka yang seumur jagung. Teman-teman Hamid banyak yang kaget, karena banyak yang menduga, perkawinan bukan hal penting bagi pria 40-an tahun ini. Tak kurang dari budayawan Nirwan Dewanto pun terkejut dengan langkah peneliti Freedom Institut ini.

Dalam kolom kawin yang diterbitkan pas hari pernikahan keduanya, Nirwan menulis bahwa dirinya kaget mendapat pesan pendek dari Hamid, karena isinya permintaan mengawal untuk melamar Fathia di rumah orangnya, di Kemang, Jakarta Selatan.

Fathia yang dibicarakan ini tak lain adalah Manajer Komunikasi Korporat PT Shell Indonesia. Pantas saja ketika ditanya Jurnal Nasional awal pekan lalu di Jakarta , apakah suaminya berasal dari lingkungannya, Fathia menggeleng dan tertawa keras. "Apa sih maksud," katanya balik bertanya sembari tersenyum.

Fathia memang enak diajak mengobrol. Dia bercerita tentang kesukaannya untuk travelling. Perjalanan bagaimana yang paling disukainya? "Tentu sama suami dong," ucapnya, lagi-lagi sembari tersenyum.

Untuk tujuan relaksasi, Fathia suka pergi ke Bali. Kalau temanya petualangan, lain lagi. "Saya pernah ke (puncak Gunung) Ijen," ujarnya. Ah, puncak itu kan bisa ditempuh dengan naik mobil. "Yee, aku jalan kaki," ucapnya bangga.

Kebanggaan yang sama diungkapkan ketika ditanya, bagaimana rasanya bekerja di perusahaan perminyakan terbesar kedua di dunia saat ini. "Bagaimana ya...saya tak pernah bekerja di perusahaan kecil sih," katanya, lagi-lagi sembari tertawa.

Fathia memang tidak ngecap. Selepas lulus dari Jurusan Sastra Prancis, Universitas Indonesia pada 1999, dia langsung bekerja di perusahaan multinasional, Johnson & Johnson sebagai asisten manajer pengembangan pelanggan. Cukup setahun di perusahaan ini, Fathia langsung menclok di Hilton, sebagai Manager Public Relations and Communications.

Lagi-lagi di perusahaan perhotelan berjaringan internasional itu, Fathia juga hanya bertahan setahun. Perusahaan besar asuransi asal Jerman, Allianz, menjadi tempat hinggap berikut baginya, dengan posisi yang sama. Setahun kemudian, Fathia terbang lagi. Kali ini mendarat di American Express. Posisinya tetap sama. Cukup lama Fathia di perusahaan asal Amerika Serikat ini.

Tiga tahun kemudian, pada 2005, datanglah kesempatan bergabung dengan PT Shell Indonesia. Sampai sekarang, Fathia menjadi juru bicara bagi perusahaan minyak dan gas asal Belanda dan Inggris ini. Seringnya berpindah-pindah pekerjaan, bagi Fathia adalah untuk mencari tantangan atau pengalaman baru, walaupun pekerjaannya tetap sebagai humas. "Sebagai humas, kami turut membangun perusahaan, baik dari segi bisnis maupun citra," ucapnya memberi alasan.
Fathia mengaku senang bekerja di perusahaan yang mungkin menjadi idaman banyak orang.

Shell dinilainya menjunjung tinggi kejujuran dan integritas, dan sangat memperhatikan karyawannya. Semua nilai itu berguna bagi penerapan di kehidupan sehari-hari saya. "Saya jadi lebih berusaha menghargai orang sekitar," ucapnya.

Tentang masuknya perusahaan asing di sektor hilir dunia perminyakan, Fathia menilai banyak segi positifnya bagi konsumen di Indonesia. Kini masyarakat jadi punya pembanding pom bensin selain yang dikelola Pertamina, setelah Shell dan Petronas juga diperkenankan membuka SPBU. "Apapun bidang bisnisnya, kalau ada kompetisi, maka perusahaan akan berlomba-lomba memanjakan konsumen."

Apakah pekerjaannya itu membuat dia super sibuk? Tidak juga. Intensitas pekerjaannya naik turun. "Ya kalau lagi pas ada acara sibuk banget, kalau tidak ya imbanglah," ujar Fathia. Karena itu dia masih bisa menyalurkan hobinya berolah raga. Berenang, squash, rafting adalah beberapa jenis olah raga yang disukainya.

Membaca adalah hobinya yang lain. Dia suka buku cerita dan sejarah. Mungkin karena saking banyaknya buku yang dibaca, sehingga Fathia bingung menyebut pengarang favoritnya. "Banyak sekali yang saya suka," tuturnya. Dia sadar hobinya ini tak ada kaitan dengan pekerjaan yang digelutinya. Tapi hobinya itu membuat dia paham konteks ketika menjalankan pekerjaannya, terutama jika berhubungan dengan masyarakat.

Intensitas pekerjaan yang tak melulu tinggi pun membuat Fathia masih bisa membagi waktu untuk mengurus suami, yang disebutnya sebagai seseorang dengan karakter yang lebih besar dari karakter yang pernah ditulis pengarang-pengarang klasik kelas dunia. "Aku kan masih hitungan bulan, Mas nikahnya,' ucapnya sembari tersenyum.

Thonthowi Dj

Ahmad Thonthowi Djauhari

No comments: