Friday, October 5, 2007

Keragaman, Kesatuan, dan Kemakmuran


Suara Karya - Jumat, 04 Agustus 2006

Keragaman, Kesatuan, dan Kemakmuran

Oleh M Ichsan Loulembah

Pluralitas suku, agama, ras, dan budaya merupakan kenyataan hidup yang tidak bisa ditampik. Keragaman adalah hukum alam yang tidak bisa diubah. Karena itu, alih-alih menampiknya, kita justru harus bisa hidup dalam pluralitas --apa pun bentuknya-- secara damai dan beradab. Untuk bisa hidup damai dan beradab dalam keragaman, dibutuhkan toleransi dan penghormatan terhadap yang lain (the others).

Kesadaran akan keragaman, kesadaran akan pluralisme ini sejatinya telah menjadi kesadaran bersama para pendiri bangsa Indonesia di masa lalu. Kesadaran ini juga menjadi sumber inspirasi para pendiri dan pengalaman hidup bangsa Amerika Serikat.

Seperti kita, Amerika Serikat juga sebuah melting pot raksasa. Tak mengherankan jika hal-hal pokok menyangkut eksistensi serta dasar-dasar negara antara RI dan negeri adidaya tersebut tidak banyak berbeda. Ini menjelaskan betapa para pendiri negeri kita memiliki pemikiran yang luas, punya banyak sumber inspirasi, terbuka dan toleran.

Namun, sejarah perjalanan bangsa ini tak sepenuhnya se-jalan dengan gagasan dan cita-cita para pendiri bangsa. Ada kalanya penguasa berobsesi untuk menyatukan negeri dengan mengharamkan keragaman pendapat dan memenjarakan orang yang berbeda paham.

Bahkan, dalam banyak penggalan sejarah terlihat upaya mewujudkan persatuan dalam wujud negatif, yakni penyeragaman, menggunakan pola koersif pula, sembari menenggelamkan keragaman. Di sisi lain, sejarah kita di masa lalu juga mengajarkan, orientasi yang kuat pada semangat keseragaman atau ketunggalan (tunggal ika) justru potensial mengaborsi munculnya persatuan yang kukuh-kuat antarsesama anak bangsa.

Sebaliknya, pengakuan adanya pluralitas (bhinneka) budaya bangsa dan membiarkan kebhinekaan hidup justru lebih menjamin persatuan. Memang, dalam keragaman kita menemukan banyak potensi konflik. Pada titik ini pula, bangsa kita diuji untuk bisa hidup dalam keragaman secara damai (peace co- existence). Dan, inilah ujian hidup bagi sebuah bangsa yang sedang melayari bahtera dunia.

Dalam khazanah sejarah bangsa-bangsa, banyak yang menjadi besar setelah
mengalami ujian yang berat, panjang dan melelahkan. Bangsa ini memang harus melewati gelombang tersebut tanpa harus memutar kembali jarum sejarah dengan mengeksklusi potensi keragaman bangsa ini.

Berbagai kekerasan, ketegangan, bahkan konflik horizontal yang mengiringi perjalanan sejarah bangsa ini, baik konflik yang memakai simbol keagamaan, perbedaan pilihan politik, atau berbau kedaerahan dan etnisitas, menunjukkan betapa krusialnya persoalan ini.

Padahal, kemampuan hidup secara damai di tengah kemajemukan, merupakan salah satu pertanda atau karakter penting masyarakat yang modern. Dalam konteks itu, penyebaran ideologi multikulturalisme menemukan relevansi dan arti pentingnya.

Multikulturalisme adalah konsep yang ingin mengantarkan masyarakat dalam kerukunan dan perdamaian, tanpa ada konflik dan kekerasan, meski banyak perbedaan. Serta terjauhkan dari kemungkinan adanya ancaman baik berupa teror, kekerasan, intimidasi, dan semacamnya.

Petaka datang jika sikap-sikap dasar tersebut tercerabut. Untuk itu, multikulturalisme harus menjadi basis kewargaan dan panduan bagi kehidupan bersama demi terwujudnya kebajikan hidup bersama.

Peringatan Arthur M Schlesinger Jr (1992) penting untuk disimak. Menurut dia, banyak negara di dunia pecah karena gagal memberikan alasan-alasan yang kuat kepada orang-orang dari berbagai latar belakang etnis untuk melihat diri mereka sebagai bagian dari negara yang sama.

Pengalaman historis kita juga menegaskan, ketidaksanggupan mengelola pluralitas -- apa pun bentuknya -- hanya akan melahirkan disintegrasi sosial dan konflik horizontal. Dengan semangat yang sama, masyarakat juga harus memiliki sikap terbuka. Suatu sikap hormat terhadap pendapat dan pengalaman baru, yang amat mungkin berbeda dengan pengalaman bahkan keyakinannya.

Keterbukaan ini merupakan karakteristik masyarakat modern, beradab, dan berkeadaban. Ke sanalah kini gerak maju bangsa harus diarahkan. Persoalan kita hari ini, di mana titik simpul yang mampu merekatkan persatuan di tengah keragaman tersebut? Tidak ada jalan lain kecuali kemakmuran.

Pemulihan dan penyebaran pertumbuhan ekonomi sebagai tugas konstitusional pemerintah harus menjadi kenyataan. Sebab, banyak pengalaman di mana negeri yang mengalami goncangan sosial-politik sebagai bagian dari transisi demokrasi, akan semakin parah jika tidak mampu mengatasi problem ekonomi.

Banyak pula negeri yang sekian lama menjadi pelanggan konflik dan kekerasan secara perlahan mengalami stabilitas sosial-politik, saat ekonominya membaik. Mumpung pemerintah akan melakukan konsolidasi Badan usaha milik negara (BUMN), sebaiknya langkah kecil segera dilakukan, yakni melakukan semacam desentralisasi BUMN.

Dengan menyebarkan kantor-kantor pusat BUMN secara merata ke berbagai daerah, tentu saja sesuai karakter setiap daerah. Maka pepatah: sebarkanlah gula, maka semut akan menyertainya, secara perlahan akan menimbulkan efek berantai dan pertumbuhan ekonomi daerah yang cukup berarti. Pola ini juga sekaligus dapat menyelesaikan soal persebaran penduduk bagi keseimbangan demografis dan geografis.

Cara lain bisa dimulai dengan menyeragamkan sistem waktu kita yang selama ini terbagi menjadi tiga (barat, tengah dan timur) yang di banyak negara telah lama disatukan dengan alasan ekonomi dan produktivitas. Tentu saja itu hanya beberapa cara. Kita bisa menjejalkan banyak cara lain.

Yang terpenting bukan mendiskusikannya secara berlama-lama. Bukan pula mencatatnya menjadi dokumen tebal berisi daftar hal-hal ideal, namun bingung mulai dari mana untuk mewujudkannya. Yang terpenting adalah merencanakan beberapa hal yang masuk akal, lalu mengerjakannya secara cepat dan terukur.

Sebab, ibarat neraca, jika bandul ekonomi merosot maka suhu politik yang akan memanas. Sebaliknya, jika bandul ekonomi perlahan menanjak, suhu politik akan mengalami keseimbangan pula. Hanya kemakmuran yang mampu menjaga persatuan sekaligus merawat keragaman.

*** Penulis adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah RI (DPD-RI), asal Sulawesi Tengah

No comments: