Thursday, October 4, 2007

FHM: Fathia & Hamid Menikah


Banyak sebutan untuk Hamid Basyaib. Ada yang menyebutnya ensikplopedia berjalan. Teman yang lain mengatakan, “si Hamid itu nulis apa aja koq gurih ya...”. Sohib lainnya memuji dengan nada bertanya, “semua soal bisa dikomentarinya, Hamid itu bacaannya apa aja ya?”.

Saya sendiri menganggap Hamid sebagai saudara – lebih dari sekadar sahabat, apalagi cuma teman. Mungkin karena sama-sama punya pengalaman merantau di usia belia. Bisa juga karena sama-sama gila film dan musik: kami bisa bercerita tentang kegilaan ini sampai dinihari, termasuk lewat telepon atau sms.

Istri saya, Dessy, yang juga dikenal Hamid berkomentar, “ternyata laki-laki tuh doyan ngerumpi juga ya...”. Pada saat lain Dessy dengan nada heran bertanya, “apa aja sih yang kalian obrolkan?”.

Jika ketemu, sebelum membahas berbagai soal bangsa (ehm..ehm), kami pasti berlomba menceritakan film atau musik yang baru kami dengar. Dan, yang agak “menjengkelkan” saya: Hamid selalu tahu musisi, sineas, aktor-aktris, bahkan sampai ilustrator musik sebuah film – lengkap dengan sejarah, pun genre musiknya.

Kadang saya “dendam”, kapan bisa membuat dia tidak berkomentar tentang film atau musik yang saya koleksi. Sebuah dendam yang belum pernah terbalaskan.

Dalam beberapa topik obrolan, kami berada pada posisi sejajar: sama-sama pernah/sedang mengalami soal yang dibahas. Namun, tidak berlaku pada topik perkawinan beserta berbagai dinamika, kombinasi serta suka-dukanya. Sebab, Hamid belum mengalami peristiwa penyambung peradaban tersebut (istilah ini juga saya pinjam dari dia).

Menurut Hamid, perkawinan – selain berbagai soal yang menyertainya – haruslah berujung pada pertemuan plus persetujuan dua manusia melanjutkan peradaban dengan jalan memiliki keturunan. Sebuah kesimpulan yang juga saya amini.

Entah kenapa, dia selalu tergila-gila dengan topik anak. Hamid selalu semangat bertemu ketiga putra-putri saya. Dan, dia tetap menyediakan kecermatan pengamatannya: deskripsinya tentang karakter ketiga anak saya dirumuskannya dengan cepat, dan tepat. Dia juga selalu bersemangat bercerita tentang keponakannya yang cerdas tapi bandel – atau bandel tapi cerdas:-)

Menurut saya, dalam konteks itulah dia akhirnya mau melaksanakan perkawinan dengan Fathia: secara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Tapi jangan salah, ternyata bukan karena ingin memiliki keturunan itu benar yang menjadi pokok soalnya: siapa yang harus menjadi ibunya ternyata amat menentukan. Itu yang menjelaskan mengapa Hamid “agak terlambat” memasuki institusi perkawinan ini.

Seperti saat mengomentari banyak soal, dia juga amat cerewet, kritis, bahkan gampang kecewa jika ekspektasinya terhadap seorang perempuan roboh di “babak penyisihan”.

Teramat sering dia datang ke kantor saya, dengan wajah berseri-seri sambil menceritakan seorang perempuan yang sedang dekat atau sedang didekatinya. Pada hari-hari berikutnya, selalu saja, saat saya menanyakan dengan bersemangat tentang kisah perempuan itu, dia malah melempem. Entah kenapa, semangatnya selalu cepat pudar.

Saya kadangkala jengkel, menghadiahinya khutbah kecil, “Mid, perkawinan itu tidak perlu dipersiapkan, tak ada yang ideal. Yang penting kawin saja dulu, nanti prosesnya akan kau nikmati”.

Memang, perkawinan selalu saja tidak punya rumus bahkan pola yang bisa dijadikan patokan umum. Ada pasangan yang berpacaran diatas lima tahun, cuma seumur jagung mampu mempertahan perkawinannya. Ada yang pesta perkawinannya amat megah dan menjadi buah bibir, begitu pula kisah tamatnya. Banyak yang menikah meminjam kesakralan tanah suci, begitu bubar justru saling membenci.

Karena itu, saya sering mendesaknya dengan pengalaman saya sendiri bahwa, “kawin mah kawin aja lah, Mid. Nggak usah banyak syarat dan upacara”. Karena dimata saya, perkawinan itu bukan sebuah kontrak mati.

Karena jika itu diibaratkan sebuah kontrak mati atau hanya maut yang memisahkan, yang terjadi justru sebaliknya: jangankan mati, berselisih soal siapa yang harus mengambil raport anak saja bisa jadi pertikaian.

Perkawinan hanyalah sebuah traktat biasa antara dua manusia. Bedanya, isi traktat minimal saja, nanti kita maksimalkan sambil jalan, beserta segenap perubahan dan negosiasi atasnya. Istilah yang sering saya gunakan dalam perbincangan dengannya: kawinlah secara rileks.

Fathia Factor

Tanpa dia katakan, kini saya baru tahu bahwa saudara saya ini ternyata mengincar perempuan dengan standar yang tinggi. Tidak seperti saat dia menyampaikan pertimbangan untuk menentukan pemenang Ahmad Bakrie Award, Hamid tidak pernah menyatakan apa saja standar “penilaian” tersebut.

Namun, dalam tiga bulan terakhir ini, saya menemukan beberapa kriteria tersebut: keren, modern, suka wine, clubbing oke, diskusi tak mudah nyerah, punya koleksi buku berkelas, mandiri (seperti juga dia), dan cerdas! Kesimpulan itu saya berani tarik karena telah dikenalkan dan berbincang beberapa saat – waktu yang cukup untuk mengamati dan menyimpulkan – dengan Fathia Isfandiari Syarif.

Saat berkenalan dengan Fathia-lah, Hamid jadi begitu berubah. Jarang sekali dia sulit “diakses”. Hampir tidak pernah jika kami bertemu dia tidak berkonsentrasi pada topik sambil menatap lawan bicaranya. Sulit menemukan Hamid berbincang sambil tak henti-hentinya memencet tuts, membalas sms – belakangan saya tahu, mereka berdua sedang berdebat tentang sebuah topik.

Sambil “memaksa” dia agar segera mengambil langkah-langkah cepat, saya menginterogasinya perihal: siapa perempuan yang membuatnya amat berubah itu? Dengan antusias dia menceritakan sosok perempuan yang amat digilainya beberapa bulan ini.

Begini dia mendeskripsikan gadis itu: mandiri – dalam banyak hal, matang, memiliki tanggungjawab pekerjaan yang tidak remeh, modern dalam penampilan maupun cara berpikir, lugas, tidak mudah menyetujui pendapat seseorang tanpa mengejarnya lagi, tidak menabukan kehidupan malam untuk menghibur diri, tahu banyak tempat makan enak, punya banyak buku, dan ”rame”.

Wah, menurut saya, tidak rugi Hamid terlambat menikah – dibanding kami para sahabat dekatnya – karena bertemu perempuan yang nyaris lengkap itu. Sama dan sebangun, tidak rugi pula Fathia berani menerima lamaran Hamid, seseorang yang dikenalnya seumur jagung.

Namun kembali ke pokok soal disekitar institusi ini: tidak ada pola, rumus, preseden, yang bisa diberlakukan bagi perkawinan kelak. Pola, rumus, preseden, akan kalian bentuk sendiri dalam perjalanan membangun rumahtangga.

Buat Fathia dan Hamid, tidak ada kata yang lebih tepat untuk menyambut peristiwa akbar ini selain: welcome to the club! :-)

No comments: