Friday, November 9, 2007

Jeda/Rehat


Sumpah, saya akhir-akhir ini agak minder dan kewalahan soal peta musik mutakhir dibanding anak sulung saya yang ABG. Dan herannya, setelah melahap hampir semua musik generasinya --kami berdua, sesekali ditemani dua adiknya, sering ngumpet belanja CD/kaset, takut dimarahi Ibunya karena boros-- dia mulai mengoleksi (tepatnya memindahkan koleksi saya ke kamarnya) dan mendengarkan Queen, Beatles, Rolling Stones, dll.

Memang, generasi sekarang lebih banyak pilihan. Lihat saja kemunculan berbagai musisi (kelompok maupun perorangan) yang bagai air bah itu. Popularitas sebuah lagu/musisi sering cepat berganti dalam musim yang sempit. Berbeda di masa lalu, sebuah lagu bisa merajai puncak tangga lagu di berbagai radio dan majalah bahkan sampai berbulan-bulan. Belum lagi outlet yang rupa-rupa.

Ada berbagai macam jalur distribusi rekaman indie label. Ada file kompresi yang bisa dibeli, walaupun banyak diantaranya bisa dikategorikan bajakan. Ada pula nada sambung pribadi atawa ringtone. Ada pula situs internet yang bisa dibuka dimana saja. Plus, pertumbuhan radio yang amat banyak nyaris merata diseantero negeri, slot siaran musik di layar televisi --terestrial, pay tv, cable tv-- dan sebagainya.

Ini semua anugerah tak langsung dari demokratisasi serta kemajuan teknologi; yang melahirkan keterbukaan, yang memunculkan banyak pemain, yang tidak lagi terbelenggu regulasi berlebihan. Karena struktur pasar yang mulai longgar; karena para monopolis sudahterjungkal. Dan seterusnya..

Kembali ke laptop, eh soal musik. Suatu sore, saya --sambil menunggu sebuah pertemuan-- mampir di sebuah kedai musik membeli album Paul Anka yang merekam kembali sejumlah lagu lawas. Mengapa saya membeli album tersebut? Lagu My Way dalam album tersebut dinyanyikan Paul Anka --doeloe terkenal dengan lagu yang menemani masa puber generasi 80-an dengan I Don't LikeTo Sleep Alone-- duet dengan Jon Bon Jovi.

CD satunya lagi yang saya beli adalah dua cakram (1 CD, 1 DVD) live concert Michael Buble; penyanyi yang menemani masa puber anak saya:-)

Koq jadi ngelantur ya? Tak apalah, toh subjek posting ini khan judulnya Jeda/Rehat. Hehehe...

Sejujurnya, saya sedang mencari album terbaru Suzanne Vega "Beauty & Crime" serta Duran Duran (dua-duanya idola 80-an). Apalagi album Duran Duran "Red Carpet Massacre" itu mengajak Justin Timberlake dan Timothy Timbaland serta beberapa pesohor generasi mutakhir. Ternyata album tersebut baru akan dilepas 13 November 2007 di AS dan 19 November di Inggris, tanah kelahiran mereka.

Sementara itu album Suzanne Vega yang dulu menawan lewat "Luka" dan "Solitude Standing" di toko itu habis terjual!

Mengoleksi Suzanne Vega, buat saya, kira-kira sama dengan anak saya menyimpan Norah Jones. Karakter suara mereka sepadan; ada desahan, namun tak murahan. Malah sedikit mistis:-) Mungkin Kim Wilde, Kim Carnes atau Nena Hagen dari Jerman (dari generasi 80-an) serta yang lebih baru semisal Natalie Imbruglia, SinneadO'Connor; agak mirip namun kurang "halus".

Mengapa saya mengejar album terbaru Duran Duran; saya ingin mengetahui bagaimana corak musik mereka tanpa gitaris Andy Taylor yang dulu memberikan sentuhan ritmis (rockist) pada lagu semisal "Save A Prayer", "Ordinary World", Union of The Snake", dll. Ingin pula saya ketahui nasib penjualan album ini serta kemampuan menjaga ke-Duran Duran-an mereka saat mengajak penyanyi-penyanyi baru yang memiliki corak berbeda. Karena mereka telah memilih ikut "jalan Santana".

Sebagaimana kita ketahui Devadip Carlos Santana dalam usia senja mampu menelorkan beberapa album yang bisa menjangkau segala usia dan segmen. Salah satunya karena mengajak penyanyi generasi mutakhir, tanpa kehilangan ke-Santana-annya. Malah, para kolaborator itulah yang di-Santana-kan: -) Nah, tantangan buat Duran Duran disitu.

Sebab, Rolling Stones yang tidak mengikuti "jalan Santana", album-album mutakhir mereka semua melorot. Ternyata para opa-opaitu sudah selesai ya:-) Ada istilah jalanan di Makassar: tua mi Ramang! Yang kira-kira berarti: Ramang itu memang jago, tapi di jamannya. Atau, segala sesuatu ada eranya masing-masing.

Kalau yang bercorak rock, kayaknya album terakhir Dream Theater "Octavarium" masih merupakan pilihan terbaik buat saya. Sambil sesekali mendengarkan para dewa gitar semisal Yngwie Malmsteen, John McLaughlin, Steve Vai atau Joe Satriani.

Sekarang soal Fariz RM. Si Bule (panggilan akrabnya) ini memang musikalitasnya diatas rata-rata. Mampu bermain berbagai alat musik --awalnya sebagai drummer, lalu pernah pegang bass, lantas sering pula menggunakan keyboards dan mini-moog-- dengan sama baiknya. Namun, dia sering berganti corak. Bisa dikatakan dalam pengertian yang positif; pandai membaca trend dunia. Saat new wave belum terlalu bunyi di tanah air, dia sudah memainkan irama ska --diantaranya pengaruh The Police dan Scritti Politti cukup terasa-- lewat berbagai grup bentukannya.

Di saat yang lain, ia memainkan musik "keriting" ala YES bersama Iwan Majid dan Darwin Rachman di grup Wow! Awal-awal, sebagai drummer di Badai Band, dia menggebuk drum bercorak art rock seperti John Mayhew, John Silver, Chris Stewart, Phil Collins, Bill Bruford (para mantan drummer Genesis). Lagu-lagunya yang bercorak disco juga dibuatnya saat disco merajai musik dunia. Hanya rap yang tak dimainkannya: -)

Lho, koq jadi kepanjangan: -) Stop dulu deh..

Salam,

Ichan/M. Ichsan Loulembah