Monday, February 18, 2008

Akal dan Modal



Sumber: Rubrik CELAH www.inilah.com

Kamis, 14 Februari 2008

M ICHSAN LOULEMBAH

BAGI manusia modern, internet ibarat kebutuhan pokok. Dengan World Wide Web (www), internet juga jalan raya yang panjang sekaligus luas, nyaris tak bertepi.

Sebaliknya, internet juga menyingkat dan menyempitkan, sekaligus mendatarkan dan meluaskan dunia. Perbedaan waktu menjadi nisbi.

Selain WWW, ada lagi susunan huruf 'aneh' yakni HTML dan HTTP. Padahal Hypertext Markup Language dan Hyper Text Transfer Protocol itu membuat umat manusia melakukan lompatan sekaligus memecahkan bermacam hambatan yang terkirakan, bahkan tiga dasawarsa lalu.

Saking seringnya kita bersentuhan dengan 'keluarga besar' istilah internet tersebut, sering terlupakan; tepatnya, tidak merasa penting untuk mengetahui siapa penciptanya. Dialah Tim Berners Lee, yang pernah ditahbiskan majalah TIME sebagai satu dari 100 orang berpengaruh abad ini.

Setelah Berners Lee menulis program browser dan server pertama di dunia bermunculanlah kosakata baru dalam peradaban dunia: Internet Explorer, Netscape, Linux, Intel Pentium, Opera, Mozilla, Firefox, dan seterusnya. Kelahiran berbagai temuan baru datang dengan kecepatan yang tak terukur lagi.

Sabeer Bhatia menemukan -tepatnya menciptakan- cara berkomunikasi lewat surat elektronik (e-mail) gratis berlabel Hotmail. Dalam tempo singkat kreasi pemuda India itu mengguncang dunia.

David Filo dan Jerry Yang meluncurkan Yahoo! yang menampung naluri berkumpul manusia. Hadirlah ribuan -mungkin jutaan- suku-suku baru; komunitas maya berdasarkan etnis, asal sekolah, tempat lahir, kumpulan peminat sesuatu, alumni perguruan tinggi, sampai RT/RW.

Larry Page dan Sergey Brin melahirkan Google yang bertindak ibarat tempat rujukan sedunia, untuk mencari tahu apa saja dan siapa saja. Ada lagi Wikipedia, sebuah ensiklopedia maya ciptaan Larry Sanger.

Penyaluran naluri berkumpul manusia berbagi kebahagiaan, saling menceritakan keceriaan, bertukar pengetahuan, sampai kegemaran; ada MySpace ciptaan Chris DeWolfe dan Tom Anderson, Facebook (Mark Zuckerberg), Friendster (Jonathan Abrams), YouTube (Chad Hurley).

Untuk belanja ada Jeff Bezos dengan Amazon.com, sampai Jack Ma yang menjadi sampul berbagai majalah bergengsi dunia karena sukses mengembangkan Alibaba.com (entah mengapa dia memilih nama ini) sebagai situs belanja dan e-commerce di Cina.

Keterperangahan dunia seakan tak sudi dihentikan oleh dunia internet. Setelah berbagai kemutakhiran teknologi tersaji secara mengejutkan, jumlah transaksi juga minta ampun besarnya.

Pada 31 Januari 2008, Steve Ballmer, CEO Microsoft bersurat ke Jerry Yang dan petinggi Yahoo! lainnya. Isinya: proposal pembelian salah satu mesin pencari itu senilai US$44.6 miliar.

Sebuah rencana transaksi yang tetap menggemparkan, walau perusahaan yang didirikan Bill Gates itu pernah mencaplok Hotmail dan mem-pensiunmuda-kan Sabeer Bhatia, secara sukarela. Orang juga belum lupa pembelian MySpace oleh raksasa News Corp milik Rupert Murdoch.

Ini lagi; bermodalkan kreativitas berjuluk Facebook, Mark Elliot Zuckerberg menjadi orang terkaya Amerika Serikat di bawah usia 25 tahun dengan perkiraan pundi-pundinya berisi US$1,5 miliar ekuivalen Rp13,95 triliun.

Inti dari berbagai kisah tadi adalah semua bermula dari akal, bukan modal. Gabungan antara kreativitas, perenungan yang dalam, penelitian tekun, keseriusan kreatif; kawin dengan modal yang besar.

Namun urut-urutannya tetap saja tak berubah. Satu atau dua anak muda sering bahkan tak lulus sekolah resmi menciptakan sesuatu di garasi rumah, melemparkannya ke pasar global tanpa batas yang menganga. Lalu datang sejumlah juragan, para penasihat investasi, lembaga pembiayaan.

Kreativitas dulu, belakangan modal mendatangi, bahkan mengejar hasil kreasi. Akal dulu, baru modal. Bukan sebaliknya. [L1]

Bung Karno, TV, Pak Harto


Sumber: Rubrik CELAH www.inilah.com

Kamis, 07 Februari 2008

M. ICHSAN LOULEMBAH

SECARA umum, pemirsa mengikuti detik-demi-detik sakit hingga wafatnya Pak Harto dari tayangan televisi. Namun ada pula –utamanya kalangan kritikus— yang mempersoalkannya.

Durasi dan proporsi yang dianggap terlampau meluap, sudut penyajian (angle) yang dianggap berat sebelah serta membangun empati. Bahkan sebagian dari kritikus menyuntikkan analisisnya dengan data kepemilikan beberapa televisi swasta.

Kontroversi tersebut, apa boleh buat, diperbandingkan dengan mangkatnya Bung Karno awal 1970-an. Padahal sederhana saja. Wafatnya Sang Orator saat kemajuan industri televisi dan teknologi informasi belum sedramatis di abad milenium sekarang. Di negeri kita, televisi kita cuma satu, masih hitam-putih, harga dan bobot kamera sama beratnya, belum ada teknologi SNG (satellite news gathering) yang ringkas, apalagi portabel.

Tidak ada kompetisi riuh yang melibatkan pertaruhan gengsi tim redaksi, ambisi para awak pemasaran mencari iklan, senyum para pemilik membayangkan billing iklan mendaki, serta meroketnya harga saham di pasar sekunder.

Sang Orator wafat sebelum Indonesia –dan dunia—menjadi demikian sempit dan datar (meminjam istilah Tom Friedman) akibat revolusi dalam bidang teknologi informasi.

Jalur telekomunikasi beraneka memudahkan semua peristiwa yang membangun sentimen kemanusiaan mengalir deras ke sudut-sudut pribadi rakyat lewat saluran televisi. Dalam kecepatan dan tingkat reproduksi yang luar biasa, berbagai denyut tersaji dengan jeda amat tipis, antara peristiwa menjadi tontonan.

Belum lagi kita menambahkan daftar multimedia yang semakin banyak, sekaligus makin terintegrasi antar satu jenis media dengan lainnya. Makin lama makin murah pula.

Menurut hemat saya, sulit kita sekadar menyalahkan televisi. Apalagi sekadar membubuhi kekesalan dengan kepemilikan segala. Bahwa, ada satu-dua stasiun televisi yang terasa berlebihan membuat agenda; itu urusan para pimpinan redaksinya dalam pertaruhan kredibilitas mereka dihadapan publik vis a vis perhatian yang mereka ingin raih di mata pemilik.

Namun, sekali lagi, televisi tidak bisa kita bebani dengan idealisme, apatah lagi ideologi macam-macam, yang berat-berat.

Sejarah pertelevisian adalah kelanjutan dari gabungan perkembangan theatre of mind (radio) dan teater yang sesungguhnya (sandiwara, opera). Televisi mutakhir menggabungkan, mencampur, sekaligus mereproduksi tayangan; tetap dengan karakter inti teatrikalnya. Yang tersaji selalu mengacu pada drama, plus berbagai unsur dramatikalnya. Cengeng, maupun serius.

Drama itu bisa berwujud perang. Kegigihan dan keberanian para jurnalis nyaris seimbang dengan para prajurit di medan laga. Cable News Network (CNN) meroket karena liputan perangnya yang saat itu juga (realtime). Al-Jazeera, dengan sudut pemberitaan (angle) relatif berbeda, sekaligus melengkapi CNN, juga masyhur karena tayangan eksklusifnya di medan perang, belakangan ini.

Drama itu juga bisa berwujud obituari. Akibat televisi, kematian tragis Lady Diana Spencer menguras air mata seantero jagad melampaui batas-batas politik, ideologi, agama, etnisitas, warna kulit, kaya-miskin. Juga berita berpulangnya Benazir Bhutto, Yaser Arafat, Pope John Paul II, Kurt Cobain, sampai Nike Ardilla, Indra Safera, Taufik Savalas dan Basuki.

Masalahnya, sebuah drama akan diingat tidak lama, karena akan segera dilindas sebuah drama baru. Gambar penumpang perahu karet di jalan tol Jakarta, penduduk China berjuang melawan timbunan salju, teriakan histeris pendukung pilkada yang marah. Begitu seterusnya. Lewat rumah produksi Harpo, Oprah Winfrey secara teratur mengirimkan drama duka cita hingga cerita suka cita menembus dinding dunia.

Seperti jargon Fox News Channel: we report, you decide. Kesimpulan dan pendapat ada pada khalayak semata. Bagi televisi; kontroversi, emosi, adalah rukun utama. [I4]

Stop Pemekaran?


Sumber: Rubrik CELAH www.inilah.com

Kamis, 31 Januari 2008

M. Ichsan Loulembah

BERBAGAI tudingan diarahkan pada upaya pemekaran yang dipandang lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya. Kasus beberapa daerah hasil pemekaran yang gagal berkembang selalu dijadikan contoh soal.

Semua argumen tersebut berujung pada gagasan untuk menghentikan (moratorium) proses pemekaran wilayah.

Jika kita ingat, pemekaran bukan hanya terjadi di masa reformasi. Beberapa daerah baru juga dihasilkan oleh pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru. Memang, inisiatif pemekaran semakin meluap setelah pemerintahan Orde Baru tumbang.

Panitia dan komite pembentukan pemekaran bermunculan di seantero negeri. Berbagai alasan -historis, kultural, primordial, ekonomi, sampai yang secara laten (sebenarnya) berawal dari rivalitas antar elite dalam perebutan jabatan politik- menjadi tumpuan argumen para pengusung aspirasi pemekaran.

Secara normatif, pemekaran diniatkan untuk mendekatkan pelayanan birokrasi serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Medan berat serta jauhnya jarak antara pusat-pusat pelayanan publik di berbagai daerah -terutama di luar Jawa- memang sebuah fakta.

Masalahnya, apakah kita harus melihat isu ini secara hitam-putih? Apakah kegagalan beberapa daerah pemekaran membuat kita menutup mata atas keberhasilan sejumlah daerah hasil pemekaran?

Meminjam analogi ruang kelas di sekolah, tidak boleh menyamaratakan penanganan atas sejumlah murid tanpa secara selektif menangani mana kelompok murid yang baik dan pandai, mana yang nakal dan kurang.

Gorontalo, misalnya, sebuah contoh yang amat membelalakkan mata. Peningkatan pada pertumbuhan ekonomi, efektivitas dan efisiensi pelayanan birokrasi, yang berujung pada kesejahteraan rakyat di sana telah menjadi pengetahuan publik.

Kabupaten Parigi-Moutong di Sulawesi Tengah, untuk menyebut contoh yang saya ketahui, juga menunjukkan data-data dalam berbagai bidang yang mencengangkan. Bahkan, bisa mendekati daerah induknya dalam beberapa bidang.

Intinya, jangan sampai mengulang cara kita dalam mengatasi berbagai masalah: bergerak dari satu ekstrem ke sisi ekstrem sebaliknya. Sebab, range masalah terlampau luas serta dinamis, sulit diringkas menjadi keputusan hitam-putih.

Memang, selama ini pemekaran pasca reformasi terkesan terlampau mudah. Di awal reformasi, publik tidak pernah disajikan informasi memadai mengapa sebuah daerah dimekarkan.

Kini, pintu pemekaran pun tidak tunggal. Dewan Perimbangan Otonomi Daerah, sebagai instrumen pemerintah, menjadi salah satu pintu sebuah usulan pemekaran selain Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Walaupun keputusan sebuah daerah di tangan DPR, bisa dibayangkan ada tiga gerbang untuk melahirkan daerah baru. Padahal, bisa menatanya menjadi proses bertingkat.

DPOD berfungsi sebagai instrumen yang mengkaji dan meneliti setiap proposal pemekaran dari aspek-aspek kelengkapan administratif, kajian akademis, serta kesiapan sumber daya.

DPD bertindak dalam lingkup aspirasi daerah, termasuk keseimbangan antara peluang peningkatan pelayanan dan kesejahteraan. DPR mengkonstruksikannya dalam wilayah politik dan strategi pembangunan bersifat nasional.

Jika itu dilakukan, kita tidak akan berhenti pada sikap penyamarataan yang cenderung bernada putus asa. Pemekaran tidak boleh dihentikan sama sekali, tapi dihindari pula pola pemekaran yang terkesan obral.

Di atas semua itu, pemerintah pusat sesungguhnya punya kewajiban melakukan supervisi atas peningkatan pelayanan aparat daerah. Dan, evaluasi menyeluruh bagi penciptaan sebuah cetak biru penataan wilayah untuk diproyeksikan ke masa depan. [L1]

Dikotomi Pemimpin


sumber : Rubrik CELAH www.inilah.com

Senin, 28 Januari 2008

M Ichsan Loulembah

Mayor Jenderal Tanribali Lamo sontak merebut perhatian publik. Putra almarhum Jenderal Achmad Lamo, mantan Gubernur Sulawesi Selatan tiga periode ini, diangkat sebagai pelaksana tugas gubernur di daerah kelahirannya.

Bukan soal nama Tanribali Lamo itu benar yang menjadi titik perhatian. Statusnya sebagai perwira tinggi aktif ? jabatan terakhir sebagai Aspers KSAD ? mengungkit kembali beberapa soal sensitif.

Di antaranya; kembalinya kekaryaan sebagai salah satu elemen penting dwifungsi TNI ? dahulu kata ini ditulis sebagai dwifungsi ABRI dalam satu tarikan nafas. Dan amat bertuah. Waktu itu.

Beberapa pengamat serentak menyuarakan kekhawatirannya. Sederhana saja. Tanribali Lamo, hanya sejenak ? sekitar satu menit ? dilantik sebagai staf ahli Menteri Dalam Negeri untuk selanjutnya dilantik kembali pada posisi sipil tertinggi di daerah.

Hal ini, dipandang para komentator masalah politik, pemerintahan, dan hukum tata negara, sebagai preseden bagi kembalinya supremasi nonsipil dalam pengisian jabatan sipil. Kekhawatiran yang mudah dimaklumi.

Pengalaman traumatik sepanjang Orde Lama dan Orde Baru di mana terjadi banyak deviasi dalam pelaksanaan kekaryaan para perwira dalam jabatan non-militer ? di berbagai tingkatan pemerintahan, perusahaan negara, bahkan kementrian agama.

Tentu saja, Tanribali bukan perwira tinggi sembarangan. Ketenangannya ? sekilas dalam penampilan publik pertamanya di berbagai halaman dan layar media ? pasti merupakan alasan utama menempati jabatan yang mengurusi personalia di TNI Angkatan Darat.

Kriteria lain; sebagai putra Achmad Lamo ? dengan ketenangan nyaris mirip ? yang pernah memimpin dalam kurun waktu lama tentu saja tersimpan dalam kenangan kolektif masyarakat Sulsel.

Namun soal ini tidak saja membuka debat lama soal dikotomi sipil-militer. Tua-muda, Jawa-luar Jawa, profesional-politisi, tradisionalis-modernis, saudagar-birokrat karir; sedikit diantara tema dikotomis dalam perdebatan tentang latar belakang seorang pemimpin.

Sebab, kepemimpinan memang punya banyak muka. Kepemimpinan juga tidak pernah diringkas sekadar asal-usul serta latar belakang kesejarahan, genealogis, pendidikan, pengalaman keorganisasian, belaka. Kepemimpinan yang berhasil senantiasa berawal dari beragam latar belakang.

Kita mencatat begitu banyak pemimpin ? baik di masa lalu ataupun sekarang, di dunia maupun di negeri sendiri ? yang berhasil dengan latar belakang bermacam.

Sebab, kepemimpinan yang dipandang sukses punya rumus sederhana: berhasil membangun imajinasi dan inspirasi akibat kepemimpinannya, bisa mendekatkan harapan orang-orang yang dipimpinnya menjadi kenyataan.

Ada lagi. Kepemimpinan yang berhasil adalah mereka yang sukses menggerakkan setiap organ dengan cara-cara yang sederhana namun terukur.

Itu semua dapat dicapai jika seorang pemimpin punya cita-cita sederhana; mengatasi berbagai problem dalam organisasinya ? negara, daerah, organisasi, dan sebagainya ? dalam masa`kepemimpinannya. Itu saja.

Jamak kita menonton kegagalan seorang pemimpin, walaupun dia memiliki berbagai persyaratan kepemimpinan, namun gagal karena perhatiannya bukan pada periode dan lingkup masalah dalam kepemimpinannya. Namun meluaskan cita-cita dan perhatiannya pada jabatan tinggi berikutnya.

Seorang camat, misalnya, sepenjang periodenya terus merawat cita-cita menjadi bupati atau walikota. Seorang walikota/bupati terus menyimpan obsesi naik tangga menjadi gubernur. Dan seterusnya.

Sehingga perhatian dan aura kepemimpinan terus dihantui ambisi untuk menggapai jabatan tinggi berikutnya. Lebih lekas, kalau perlu. Yang akhirnya merusak seluruh ritme organisasi, mulai mencari jalan paling cepat ? biasanya negatif, bahkan sesekali manipulatif ? untuk memupuk persiapan bagi perebutan jabatan selanjutnya.

Berkaca dari itu semua, menurut hemat saya, perdebatan mengenai berbagai perhadapan dikotomis itu selayaknya diserahkan pada jarum jam sejarah.

Kembali pada kasus pengangkatan Tanribali, pemerintah tidak usah pula mengeluarkan energi untuk menghentikan kekuatiran pengamat dan media massa.

Biarkan Tanribali bekerja. Biarkan dia mengalami ujian sejarah kepemimpinannya. [L1]

Friday, February 1, 2008

General's Election


Kamis, 17 Januari 2008

Barack Obama, Hillary Clinton, Mitt Romney, John Edwards, Rudolph Giuliani, mencuri halaman utama (front page) dan waktu utama (prime time) berbagai media dunia. Tak terkecuali media di Tanah Air.

Pencarian pemimpin di Negeri Paman Sam, apa boleh buat, menjadi agenda dunia. Memilih calon presiden Amerika Serikat, seperti menanti pemimpin baru planet bumi.

Pemilihan umum, walau niat dan substansinya adalah pembicaraan —bahkan persaingan— menyangkut inspirasi, ide-ide, aspirasi, dan berbagai rencana politik; yang memikat tetaplah perbincangan tentang orang. Mengenai tokoh. Menyangkut aktor.

Sejak tahun silam —bahkan pada triwulan awal— perbincangan tentang siapa (sekali lagi, siapa) yang akan menjadi pemimpin negeri kita, mulai dipompakan. Bukan apa, atau bagaimana cara memimpin, cara menyelesaikan masalah, cara mengelola berbagai kelebihan bangsa, yang menjadi titik perhatian. Ruang publik selalu terseret pada gairah membandingkan antartokoh.

Bukan itu saja. Secara formal, walaupun parlemen sibuk dengan revisi beberapa undang-undang berkaitan dengan politik, berbagai klausul tentang kriteria calon presiden selalu merebut perhatian.

Hampir seminggu, berbagai media massa menyajikan silang-sengketa tentang derajat tertinggi pendidikan formal calon presiden. Pekan berikutnya mereka berbeda pendapat menyangkut batasan terendah persentase sebuah partai politik, atau kumpulan parpol bisa mengajukan calon presiden.

Beragam argumen berketiak-ular yang digunakan dalam revisi paket undang-undang politik tersebut; intinya tak lebih dari pertarungan laten tentang siapa diuntungkan, siapa yang dijegal, oleh pasal-pasal yang dipasang.

Pendek kata, perbincangan tentang siapa aktor menjadi simpul yang meringkas berbagai problem —baik yang sistemik ataupun masalah sehari-hari. Seakan-akan, problem distribusi pangan, kekurangakuratan perkiraan musim hujan, tempe-tahu minim suplai kedelai, kartel yang makin keji, penyaluran elpiji yang cuma indah di tivi; semuanya bisa dipukul oleh satu orang presiden. Entah presiden lama, atau penggantinya.

Dari beberapa nama yang dipertimbangkan publik —juga karena disigi lembaga survei— muncul nama-nama pensiunan jenderal. Nama-nama purnawirawan itu membesar jika kita sertakan pula kecenderungan pemilihan kepala daerah (gemar kita singkat: pilkada).

Sutiyoso, Wiranto, Agum Gumelar, Ryamizard Ryacudu, disamping Susilo Bambang Yudhoyono, merupakan nama-nama yang kerap dipertimbangkan masuk 'divisi utama' pada berbagai jenis perbincangan dan publikasi.

Daftar itu belum termasuk para jenderal yang menjadi pengurus inti dari tim sukses mereka, baik yang telah terbuka ataupun diam-diam beroperasi. Plus mereka yang menduduki posisi strategis hampir semua partai. Bahkan partai politik berbasis agama.

Kita harus mengingat pendapat Profesor Juwono Sudarsono, beberapa tahun silam, berpokok pada keraguan sipil bisa menyalip militer dalam menyediakan calon pemimpin tangguh. Karena jenjang kepemimpinan dalam militer memiliki pola terjaga. Selain secara hirarkis, militer memang tidak 'serumit' organisasi sipil.

Boleh jadi, waktu itu, Juwono tidak sedang mengagumi militer atau meremehkan sipil. Bisa pula, masyarakat mulai capek dengan keriuhan demokrasi yang lebih menonjol di jalanan, dan kepalan tangan. Barangkali, masyarakat mulai menomorsatukan jaminan keamanan agar mudah cari makan.

Yang jelas deretan kaum berbintang —baik dari militer maupun kepolisian— perlahan mulai menjadi pilihan utama dalam berbagai jenjang rekrutmen kepemimpinan.

Di tengah teriakan reformasi yang mulai basi, akankah general election harus dibaca general’s election, di negeri ini? [L1]

sumber: www.inilah.com

Demam Pemilu


Rabu, 09 Januari 2008

Demam Pemilu

M Ichsan Loulembah


PEMILIHAN umum lebih setahun lagi. Gerbang 2008 ibarat tahun yang aura politiknya mulai mengental. Bahkan, sejak penghujung tahun silam, berbagai spekulasi, prediksi, bahkan tinjauan akhir tahun yang kerap disebut refleksi, terarah pada satu titik: Pemilu 2009.

Partai-partai politik peserta pemilu yang lalu bergegas berbenah. Ada yang memperluas basis keanggotaan. Ada pula yang berniat meremajakan usia kandidat calon anggota legislatifnya. Tak sedikit yang tergoda 'melonggarkan' ideologinya agar partai terasa inklusif.

Lain partai memilih cara membiakkan kegiatan partai sembari memperbanyak (dan memperlama) pemasangan bendera, umbul-umbul, serta spanduk bercorak kepartaian, memanfaatkan momen setipis apapun. Semua geliat itu berpokok pada harapan; perolehan suara pada pemilu nanti grafiknya menanjak.

Pada saat yang nyaris bersamaan, anggota parlemen tanpa lelah berdebat, melakukan pendekatan, berdebat lagi. Para legislator itu memusatkan perhatian sambil mencari titik temu pada perubahan tata aturan yang kelak dipakai berlaga dengan cara merevisi berbagai Undang-undang untuk pemilu mendatang.

Di bilik lain, para pegiat partai baru dengan persediaan optimisme berlapis dan semangat tak pernah padam. Sibuk mendaftarkan partainya sambil terus menggandakan jumlah cabang, bahkan ranting kepengurusan. Disertai bumbu kecil, hijrahnya kader dari satu partai ke partai lain, hasrat akhirnya adalah partai barunya lolos verifikasi, bisa berlaga pada pemilu kelak.

Para tokoh tak kalah sibuk. Sambil melihat laporan polling, survei, dan ulasannya di media, para tokoh giat menaikkan frekuensi kemunculan di depan publik.

Beragam aktivitas, mulai dari diskusi aneka problem kebangsaan, sowan ke tokoh dan tempat yang dipandang kuat energinya, kunjungan ke daerah bencana, sesekali muncul di infotainmen; semuanya terencana, terukur, disertai para sekondan dan konsultan.

Sulit untuk tidak memastikan bahwa segenap peristiwa itu adalah pemanasan pemilu. Dalam definisi umum, pemanasan pemilu sama artinya dengan persiapan (conditioning). Jika ingin diteruskan definisi itu akan tiba pada kata selalu menjadi objek perdebatan dalam penafsiran aturan pemilu: kampanye.

Kampanye, sebuah istilah yang longgar. Kalangan yang menggeluti pemasaran memiliki istilah yang luas tentang subjek ini. Dan jika kita benturkan dengan berbagai gejala di atas, nyatalah bahwa kesemuanya bisa dikelompokkan sebagai kampanye secara tak langsung. Sering pula diartikan kampanye terselubung atau kampanye secara halus (soft campaign).

Padahal, kampanye adalah kosakata yang paling diketatkan dalam undang-undang terkait pemilu. Institusi pengawas pemilu pun -- walau diniatkan mengurus berbagai pelanggaran pemilu -- porsi pekerjaan dan energi mereka terserap pada apa yang disebut sebagai mencuri start kampanye.

Amat kontras. Undang-undang menorehkan pasal serinci dan seketat mungkin, para kontestan (dan calon kontestan) berlomba secara kreatif melonggarkannya. Undang-undang menyingkatkan, peserta pemilu menjauhkan waktunya dari hari-H.

Demokrasi memang tidak punya rumus baku. Sebagaimana demokrasi memang selalu riuh.

Soalnya adalah, jika bangsa ini terlampau dini terhinggap demam pemilu, kemanakah akhir perlombaan antara problem sehari-hari dan penataan demokrasi? [L1]

sumber: www.inilah.com