Friday, September 19, 2008

The Baswedan's Way


inilah.com

CELAH 12/09/2008 17:03

The Baswedan’s Way

M. Ichsan Loulembah

SAYA hanya mengenal dan akrab dengan cucunya, Anies Rasyid Baswedan. Terus terang, saya tidak mengenal secara pribadi Abdurrahman Baswedan. Tokoh yang kerap ditulis (dan disebut) sebagai AR Baswedan ini saya kenal hanya melalui bacaan sekunder sejarah.

Namun, tokoh yang lahir 9 September seratus tahun lalu ini, ternyata amat menjulang.

Pertama, pembubaran organisasi Partai Arab Indonesia (sebelumnya bernama Persatuan Arab Indonesia yang ia dirikan) bukan peristiwa sepele.

Bayangkan saja, status keturunan Arab yang dikelompokkan beliau atas pribumi, diturunkannya; sama, sebangun, dan sependeritaan dengan golongan pribumi dalam pengelompokkan ciptaan Belanda.

Jika membacanya dengan kondisi sekarang, sepertinya tidak ada yang luar biasa. Karena, istilah keturunan Arab nyaris tak terdengar di ruang-ruang publik. Telah dihimpitkan sebagai 'orang Indonesia asli'.


Hamid Algadrie, Ali Alatas, Fuad Hassan, Saleh Affif, Mar’ie Muhammad, Fadel Muhammad, Nono dan Zacky Anwar Makarim, Salim Said, Awad Bahasoan, Muhammad Assegaf, Djafar Hussein Assegaf, Munir, Hamid Basyaib, sampai penyanyi rock Ahmad Albar, atau deretan jawara dangdut Hamdan Attamimi, Fazal Dath, Umar Alamrie alias Amri Palu, sebagai misal; siapa yang berani dan tega mengatakan mereka 'WNI keturunan'.
Dalam penafsiran saya, langkah mendirikan PAI adalah sebuah upaya pengorganisasian, ikhtiar mengkonsolidasikan rumpun keturunan Arab (di masa itu) untuk selanjutnya bahu-membahu bersama komunitas perjuangan lainnya melawan penjajahan.

Setelah disuntikkan elan kebangsaan, energi kelompok dan gerakan ini disalurkan bagi perjuangan Indonesia merdeka.

Asosiasi ini belakangan terbukti penting wa bil khusus, dalam membangun kesan dan jaringan dengan Negara-negara Timur Tengah; kita telah baca dalam sejarah sebagai negara-negara awalun mendukung kemerdekaan kita.

Dan, AR Baswedan terlibat dalam sejumlah perundingan panjang dan meletihkan, karena terjadi di tengah blokade Belanda dan para sekutunya yang juga sedang mencengkeram negara-negara Arab.

Kedua, tokoh ini berjuang dengan cara-cara pada tingkat peradaban yang mengagumkan. AR Baswedan amat dekat dengan dunia kewartawanan, intelektual, dan kaum budayawan/seniman.

Dari cerita beberapa kawan dekat saya yang kebetulan secara fisik dan intelektual pernah bertemu dengannya, ia amat menghargai diskusi. Tanpa komplikasi dalam relasi tua-muda, interaksi antara beliau dengan sejumlah anak muda, aktivis mahasiswa, dan seniman yang usianya separuh darinya (bahkan sebagian sebaya dengan cucu-cucunya).

Sikap yang kelihatannya normal, bahkan standar ini tidak terlalu kaya tersedia di Indonesia. Termasuk di masa kini.

Ketiga; kesadaran, keyakinan, bahkan ketaatannya pada keragaman.

Secara politik, dan ideologi; enteng sekali ia berhimpun dengan berbagai tokoh PAI yang berhaluan kiri, kiri tengah, sampai kanan. Terbukti setelah dibubarkan, para elit PAI memilih 'jalan ideologis' masing-masing. Ada yang ke PSI, PNI, bahkan PKI; Baswedan senior sendiri berlabuh di Masyumi.

Secara etnisitas, teman-teman saya dan cuplikan catatan sejarah mengabarkan betapa beliau amat dicintai di Yogyakarta. Di 'kiblat' peradaban Jawa itu, pembawaannya sulit meyakinkan bahwa beliau lahir di Jawa Timur, keturunan Arab pula. AR Baswedan terlampau Yogya.

Secara keyakinan agama; terlalu banyak cerita yang saya dengarkan betapa beliau merawat perbedaan dan memeluk erat-erat keyakinan agamanya dalam satu tarikan nafas.

Saya kira, kepada tokoh yang hingga akhir hayatnya tidak memiliki rumah pribadi (yang didiaminya di Yogya konon bukan harta pribadinya), generasi belakangan, dari latar belakang apapun mereka berawal, patut menundukkan kepala atas dua soal; malu dan hormat.

Penulis adalah Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI [L1]

Nasionalisme Desentralistik


inilah.com

CELAH 11/08/2008 09:36

Nasionalisme Desentralistik

M Ichsan Loulembah

SEBULAN lalu, saya terlibat dalam sebuah diskusi di Megawati Institute. Di tengah para penggerak institusi riset pimpinan Arif Budimanta itu, hadir pula Taufik Kiemas, Lukman Hakim Saefuddin, dan Yudi Latif.

TK (panggilan akrab Taufik Kiemas), melontarkan pernyataan; perlunya sebuah Rumah Besar Kaum Nasionalis. Dalam rumah besar itu, terhimpun berbagai golongan, kelompok, aliran pemikiran politik, namun memiliki kesamaan ide besar: nasionalisme.

Menurut hemat saya, ide itu secara historis amat logis, dan secara politik menyatakan kerendahan hati, serta keinginan berbagi – sejarah, peran, cita-cita. Hal yang lumrah dalam politik.

Karena, sejarah nasionalisme kita sesungguhnya dimulai pada zaman kerajaan-kerajaan, tempo doeloe. Walaupun masih bersifat lokal, itulah modal awal nasionalisme kita. Sebuah proses terserak, namun memiliki keterkaitan inti; sebuah sikap tak rela terjajah, dan tak sudi direbut segala haknya.

Di zaman berikutnya, para elit (cendekiawan, saudagar, aktivis pergerakan, tokoh masyarakat, pemimpin agama) membawanya pada tingkatan di atas daerah, di atas sukubangsa. Bermodal pemikiran yang lebih mutakhir, inspirasi dari macam-macam bangsa; energi terserak itu disimpul dan direkatkan menjadi sebuah nasionalisme pada tingkat kebangsaan.

Nasionalisme pada saat kemerdekaan hingga limapuluhan tahun kepemimpinan Soekarno dan Soeharto, digunakan sebagai elemen utama penggerak pembangunan politik (Bung Karno) dan ekonomi (Pak Harto). Niat kedua pemimpin itu sederhana; berupaya mengefektifkan serta mengefisienkan manajemen pembangunan.

Tantangan kebangsaan yang belum matang serta keterpecahan ideologis yang tajam, membuat pilihan sejarah Bung Karno meringkas pola penyatuan politik secara keras pada hampir sekujur sejarah Orde Lama.

Pak Harto – dengan tantangan berbeda – juga tergoda untuk meringkus politik sebagai kelemahan semata. Seperti kita tahu; Orde Baru mengedepankan ide-ide ekonomi yang harus tumbuh, menaruh politik di tempat yang amat belakang. Jika tidak disebut nista.

Manajemen penyatuan politik Orde Lama dan efisiensi pembangunan ekonomi Orde Baru punya watak sama: sentralistik.

Mudah dipahami. Indonesia terbangun dalam corak amat beragam, wilayah yang luas, terpisah oleh pulau dan laut-laut dalam. Sulit untuk dikelola jika tidak melakukan sentralisasi di masa-masa pembentukan (formative period).

Selain punya efek positif (efisien dan efektif dalam manajemen politik dan ekonomi), pilihan Bung Karno dan Pak Harto menegasikan potensi energi lokal yang menjadi penyuplai utama nasionalisme di level bangsa pada masa belum merdeka. Pendapat yang muncul dari lokal tidak diletakkan sebagai kritik. Bahkan disimpulkan sebagai perlawanan dan gangguan semata.

Dinamika dalam interaksi ideologis partai-partai politik di masa-masa awal merdeka, dan relasi lokal-nasional yang tegang pada fase berikutnya, mulai menyurut.

Nasionalisme kini harus diletakkan dalam semangat desentralistik. Artinya, semangat nasionalisme justru harus didirikan dari kenyataan keragaman dan kekhasan lokal.

Kenyataan itu, sesuai derap sejarah, tidak lagi dinilai sebagai hal negatif. Semestinya diletakkan dalam bingkai positif sebagai sebuah kenyataan sejarah kita yang pluralistik dan berawal dari lokal.

Dari segi pembangunan politik dan ekonomi, nasionalisme yang berwajah desentralistik tidak membunuh keragaman, justru memanfaatkannnya sebagai energi pembangunan. Dengan demikian, segala rencana dan tindakan ekonomi-politik secara nasional mendapatkan topangan lokal yang kokoh.

Medan yang begitu luas, beragam, dan tingkat kesulitan yang tidak sederhana, justru membutuhkan energi terserak untuk dipusatkan menjadi sebuah kekuatan.

Menurut hemat saya, dengan skenario itulah nasionalisme kita bisa kuat, menghadapi tantangan dunia, secara bersama.

Penulis adalah Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI [L1]

20% Nan Menggiurkan


inilah.com

CELAH 28/08/2008 08:18

20% Nan Menggiurkan

M. Ichsan Loulembah

PIDATO Presiden Yudhoyono 15 Agustus 2008 (biasanya setiap 16 Agustus) di depan DPR menarik untuk diperhatikan. Hal terpenting adalah pelaksanaan perintah konstitusi tentang 20% anggaran pendidikan di APBN.

Mengapa secara politik penting?

Sebagaimana kita mafhum, hampir setiap tahun terjadi debat terkait belum teralokasikannya perintah UUD itu. Hingga sejumlah organisasi dan perorangan yang bergelut dengan pendidikan memenangkan judicial review di Mahkamah Konstitusi, 20% dipandang tak kunjung dilaksanakan hingga tahun anggaran 2008.

Pemerintah dan DPR punya argumen tak kalah kuat: sektor lain juga butuh anggaran pembangunan dan bukannya tak penting, proporsi 20% terlampau besar jika hanya diarahkan pada satu sektor saja.

Pendapat lain: anggaran pendidikan tidak hanya kepada kegiatan yang terkait langsung dengan ajar-mengajar. Membangun infrastruktur ke lokasi sekolah, ketersediaan air minum bagi masyarakat, dan peningkatan kesehatan masyarakat juga penting. Dan bisa ditafsirkan sebagai bagian dari peningkatan kualitas pendidikan secara menyeluruh.

Ada pula penilaian lain; daya serap serta daya dukung organisasi dan sumberdaya manusia institusi yang mengurusi (fokusnya pada Departemen Pendidikan Nasional) pendidikan masih lemah. Argumen ini memakai bukti, kurangya kreasi dan imajinasi jajaran intansi ini sehingga kualitas kebijakannya kurang kaya.

Sempat kita dengar buku-buku sekolah yang sebagian hanya mengganti judul plus sedikit merombak isinya. Ada pula skandal voucher pendidikan beberapa tahun silam.

Dana sekitar Rp244 triliun pada 2009 harus diserap/disiapkan untuk pendidikan. Dana ini menggembirakan, mengkhawatirkan, bahkan menggiurkan; dalam satu tarikan nafas.

Menggembirakan, karena kita amat tertinggal. Ukuran indeks pembangunan manusia (satu isu teramat penting yang rutin diukur oleh UNDP), kita tidak pernah naik kelas dari posisi 107 di antara 177 negara.

Padahal, selain kesehatan dan ekonomi, pendidikan adalah faktor pengerek jika kebijakan publik kita dinilai mementingkan aspek-aspek pemenuhan mendasar dari kemanusiaan.

Kegembiraan itu harus diikuti oleh kekhawatiran. Jika besarnya proporsi tersebut tidak diikuti oleh kreativitas, imajinasi dan aspek-aspek manajerial plus pengawasan, anggaran pendidikan besar akan diraup semata oleh peningkatan kuantitas. Volume diperbanyak, jumlah kegiatan digelembungkan.

Namun alpa pada hal-hal yang meningkatkan kualitas pelayanan dan kekayaan ragam aktivitas serta daya kreasi program-program terkait pendidikan yang seharusnya dibiayai. Bukan sekadar meninggikan jumlah kegiatan.

Menurut hemat saya, hal pokok yang mesti dilakukan adalah menyuntikkan semangat desentralisasi dalam pelaksanaannya. Bukan sebaliknya, menyuburkan sentralisasi.

Keterlibatan daerah dalam pelaksanaan program pendidikan dan penggunaan anggaran amat penting. Walau harus dikawal dengan amat ketat (karena korupsi di daerah sering berlomba dengan pusat), pelibatan daerah akan memudahkan pelaksanaannya. Sebab, karakter masalah pendidikan masing-masing daerah tidaklah tunggal.

Ada daerah yang membutuhkan bangunan sekolah baru, ada lagi yang sekadar memperbaiki, namun ada pula daerah yang lebih advanced kebutuhannya.

Terakhir, 20% dari APBN tentu menggiurkan. Membayangkan 10% saja dari total anggaran pendidikan itu termakan sebagai 'ongkos tidak formal', bisa kita bayangkan berapa besar yang akan diperebutkan para pihak?

Di sini, semata pendekatan proyek (project approach) harus diminimalkan. Jika tidak dapat dinihilkan.

Penulis adalah Anggota DPD RI [L1]