Saturday, May 10, 2008

Tol Bobol


www.inilah.com

CELAH

08/05/2008 16:17 WIB

Tol Bobol

M. Ichsan Loulembah


SELAMA dua hari ini, berbagai media menyiarkan gambar yang baru tapi lama. Baru, karena peristiwanya memang berlangsung sekarang. Lama, karena gambar seperti itu kita lihat berulang selama bertahun-tahun.

Gambar dan peristiwa dimaksud adalah beberapa mobil sedang berupaya lolos dari 'sungai' jelmaan jalan tol. Dan jalan tol dimaksud adalah penghubung utama menuju bandar udara internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng, gerbang penting masuk-keluar negeri ini.

Peristiwa ini tentu tidak bisa dianggap sepele. Walaupun mungkin bagi sebagian kita, seperti peristiwa rutin. Bahkan membuat kita seperti imun, laiknya menunggu datangnya musim duku atau rambutan.

Pertama, bandar udara Soekarno-Hatta terletak di ibukota negara. Bandara ini – selain pintu masuk utama negeri ini – juga harus dilihat sebagai etalase penting yang menunjukkan wajah kita di dunia internasional.

Bayangkan, bukan pertama kali jalan tol tersebut terendam banjir. Bahkan, sejak akhir tahun 90-an akses penting tersebut sering terendam air sampai ketinggian yang bisa menelan mobil jenis sedan.

Kedua, setiap kita menuju bandara, acap kali terlihat aktivitas yang menunjukkan sedang terjadi perbaikan di sebagian ruas jalan tersebut. Pertanyaannya, apa gerangan yang diperbaiki selama ini jikalau hujan sejenak saja mampu mengubah fungsi jalan tersebut menjadi sungai baru?

Apakah cara khas kita mengatasi masalah, yakni secara tambal sulam, masih gemar kita lakukan? Apakah cara pandang kita yang jangka pendek masih berlaku? Apakah pendekatan sektoral juga terjadi dalam penanganan problem krusial ini?

Apakah project approach terus menerus diberlakukan dalam menyelesaikan masalah yang sebenarnya harus diselesaikan secara terintegrasi?

Masih banyak pertanyaan yang layak dan mudah diluncurkan, karena soal yang sebenarnya terang benderang. Menurut hemat saya, sudah saatnya segenap otoritas terkait memikirkan dan menyelesaikan masalah tersebut bukan sebagai soal biasa, atau nomal. Apalagi masalah yang dianggap sepele.

Mulai dari menghilangkan ego sektoral, sampai peluang cuci-tangan atau bersembunyi sambil melemparkan tanggung jawab kepada satu instansi saja.

Pemerintah daerah – dalam hal ini DKI Jakarta dan Banten — harus mengambil inisiatif, duduk bersama mencari pangkal masalah. Karena banjir di jalan tol menuju bandara, harus dilihat sebagai masalah hilir, yang hulunya harus ditelusuri secara seksama. Sekaranglah waktu nya semboyan kampanye pilkada dulu untuk dibuktikan.

Sebab, soal ini bukan pula disebabkan satu faktor saja; misalnya sekadar ketinggian jalan tol yang terus dinaikkan karena dipandang rendah. Jika itu, bukankah ruas jalan tol rawan banjir tersebut sudah ditinggikan berkali-kali? Mengapa tidak menelusuri kemungkinan posisi jalan tol tersebut menjadi lebih rendah dari permukaan laut?

Departemen Pekerjaan Umum, dalam hal ini yang bertanggung jawab atas semua jenis infrastruktur dari Sabang-Merauke, sebaliknya tidak pula pasif. Justru, kementerian inilah yang harus tampil sebagai inisiator dan leading sector untuk mengatasi problem – yang memang menjadi tanggungjawab pokoknya. Karena untuk itulah departemen itu diadakan, bukan?

Yang juga tak kalah penting adalah peran operator jalan tol. Pada situasi seperti ini ia harus membuktikan sebagai institusi yang tidak hanya rajin dan lantang saat menaikkan tarif. Namun terdengar sayup saat pelayanannya menurun. Agar bobolnya tol di lokasi yang teramat penting, bukan lagi menjadi kegentingan yang berulang.

Penulis adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah RI

Saturday, May 3, 2008

Artis Politik


www.inilah.com

CELAH

30/04/2008 18:45 WIB

Artis Politik

M. Ichsan Loulembah

RANO Karno terpilih sebagai wakil bupati Tangerang, Banten. Dede Yusuf menjadi Wakil Gubernur Jawa Barat. Marissa Haque gagal dalam perjalanannya menjadi wakil gubernur Banten. Saiful Jamil ingin jadi wakil walikota Serang.

Paragraf itu bisa dibaca dengan banyak makna. Pertama; kemeriahan proses demokrasi makin semarak dan berwarna. Kehadiran para pesohor (celebrities) dari dunia seni dan hiburan menyuntikkan nuansa baru di panggung politik Indonesia. Walaupun sebenarnya, bukan hal baru.

Dalam sejarah keparlemenan kita pernah ada beberapa nama yang berkiprah. Di antara sedikit nama, kita tentu ingat aktor Sophan Sophiaan - satu nama yang menonjol hampir dua dekade di Dewan Perwakilan Rakyat. Di masa Orde Lama, Djamaluddin Malik, tokoh perfilman, mengisi kursi parlemen mewakili Partai Nahdlatul Ulama.

Dalam kadar berbeda, pemilihan umum Orde Baru melibatkan pengail suara (vote getter) dari industri hiburan. Termasuk menjadikan mereka anggota MPR mewakili unsur seniman, budayawan, pelaku industri hiburan.

Kedua; ketiga nama yang saya sebutkan dalam paragraf awal kolom ini, masih ditempatkan 'sekadar' sebatas menjadi wakil saja. Tentu ini bukan sebuah penyusutan makna; baik jabatan wakil gubernur atau wakil bupati, juga bukan mengecilkan para politisi yang berasal dari industri hiburan itu.

Menurut hemat saya, fenomena ini memang belum bisa diputuskan secara definitif sebagai kenyataan politik di era pemilihan langsung. Masih layak diuji apakah jika mereka dicalonkan sebagai gubernur/walikota/bupati, akankah mendapatkan apresiasi yang sama.

Apakah publik - dalam hal ini pemilih - sekadar memilih tanpa pretensi dan preferensi yang lebih logis; sekadar keterkenalan semata?

Ketiga; fenomena ini pun bukan soal baru dalam tradisi demokrasi di belahan dunia lain. Clint Eastwood pernah menjadi Walikota Carmel, California, AS.

Ronald Reagan, mengalahkan arsitek pertemuan Camp David, Jimmy Carter yang incumbent. Reagan menjabat dua periode, dan tetap dikenang sebagai jago dalam debat televisi yang ketat. Selain tangguh di layar perak, ia juga mengagumkan dalam lakon selaku politisi.

Mengawali keanggotaan di Partai Demokrat, lantas hijrah ke Partai Republik pada 1962. Menjadi gubernur California, sebuah negara bagian besar selama dua periode.

Mencoba peruntungan sebagai kandidat presiden dari Partai Republik pada 1976. Namun hadangannya gagal. Sang incumbent, Gerald Ford tetap melaju sebagai calon, namun dikalahkan Jimmy Carter dari Partai Demokrat.

Namun, Reagan tak tertahan. Jimmy Carter hanya bisa menggenggam satu periode sebelum akhirnya ditumbangkan Ronald Reagan lewat kemampuan berdebatnya yang efektif, mematikan, sekaligus menawan.

Di Filipina, Joseph Estrada menjadi presiden Filipina menggantikan Fidel Ramos setelah era tokoh-tokoh revolusi EDSA: Corazon Aquino, Fidel Ramos, dan Salvador Laurel.

1984, di India, Amitabh Bachhan, atas ajakan Rajiv Gandhi menduduki majelis tinggi dengan perolehan suara 68,2%. Kendati akhirnya dia mengakhiri karir politik; meninggalkan adu pendapat politik di layar kaca, kembali beradu akting di layar perak.

Di Pakistan, selain Benazir Bhutto, publik internasional juga mengenal Imran Khan. Walaupun profesinya pemain kriket, dia adalah pesohor kelas dunia. Memang olahraga itu amat digemari di Inggris dan negara-negara Persemakmuran.

Namun, Khan mendapatkan sorotan media juga karena kehidupan pribadinya. Terutama setelah ia menikahi Jemima Goldsmith; putri dari Sir James Goldsmith, miliuner berpengaruh di Inggris dan Prancis.

Akhirulkalam, fenomena yang terjadi akhir-akhir ini bukan hal baru di panggung politik. Harus dilihat sebagai gejala biasa. Dan normal.

Belajar dari Amitabh Bachchan, Ronald Reagan, Sophan Sophiaan, keartisan serta keterkenalan mereka di dunia hiburan, semata harus dilihat sebagai modal awal. Bisa pula dianggap sebagai asal profesi saja.

Sama dan sebangun dengan politisi yang melangkah ke dunia politik namun awalnya mereka dikenal sebagai arsitek, pengacara, jaksa, dokter, insinyur, tentara, polisi, birokrat, petani, pengusaha, bankir, aktivis sosial, jurnalis, dsb.

Yang terpenting; saat memasuki dunia politik, mereka harus menyiapkan diri, mengasah ketrampilan manajemen birokrasi, membaca dan membuat produk legislasi. Dan hal-hal lain yang dibutuhkan seorang politisi; mental maupun intelektual.

Penulis adalah anggota DPD-RI

Gubernur Nagabonar


www.inilah.com

CELAH
22/04/2008 20:57 WIB

Gubernur Nagabonar

M. Ichsan Loulembah

RABU (16/4) menjelang Maghrib, beberapa teman, sebagian dari Medan, menelepon. Selain mengabarkan, yang lain seperti meledek. "Syampurno menang dalam quick count. Apalagi ulasan dan alasanmu? Beda dari 'Hade' yang segar, dan ganteng, Syampurno kan tidak?"

Memang, dua LSI (Lingkaran Survei Indonesia dan Lembaga Survei Indonesia), serta JIP (Jaringan Isu Publik) petang itu melansir hasil penghitungan cepat mereka. Pasangan Syampurno (Syamsul Arifin-Gatot Pujokusumo) unggul dengan kisaran suara 29%. Di bawahnya ada Tritamtomo-Benny Pasaribu (Triben), Ali Umri-Maratua Simajuntak (Umma) serta Wahab Dalimunthe-Syafii (Waras) dan RE Siahaan-Suherdi (Pass).

Kembali ke pertanyaan bernada gugatan beberapa penelepon; bagaimana kita membaca hasil tersebut dari kacamata komunikasi politik?

Pertama; banyaknya pasangan yang bertarung, dengan komposisi mirip (Melayu/Jawa, Islam/Kristen, Jawa/Batak, Kristen/Islam) membuat petarungan berlangsung ketat. Zona tradisional masing-masing kandidat amat tipis, jika tak dikatakan berhimpit.

Meminjam strategi sepakbola; tak cukup zonal marking. Harus man to man marking campur total football. Plus cattenaccio menggrendel agar wilayah tradisional terjaga.

Kedua; istilah 'mesin politik' hanyalah mitos belaka. Juga absurd; kecuali untuk satu-dua partai yang amat disiplin, solid, tidak memiliki friksi dan faksionalisasi yang keras.

PDIP, misalnya. Energi politik mereka terkuras saat menentukan pasangan kandidat. Secara formal, memang tak terlihat gangguan berarti. Namun, di balik panggung, konflik tersebut pasti membelah lapisan kader mereka. Partai Golkar lebih terang lagi problemnya. Tiga calon gubernur (Ali Umri, Wahab Dalimunthe, Syamsul Arifin) notabene tokoh Golkar daerah tersebut.

Dalam penampilan berbeda, "pembelahan nonformal" terjadi dalam pilkada Jawa Barat. Mudah ditebak; selain menimbulkan kebingungan, pemilih juga mencari jalan 'aman', tak mau pusing.

Ketiga; seperti juga terjadi di Jawa Barat, membaca secara tepat suasana di masyarakat, menyuntikkan strategi komunikasi yang jitu, dan orisinal.

Di Jawa Barat yang menang mengunakan Hade — dalam bahasa Sunda kira-kira berarti baik/bagus — sebagai semboyan, singkatan nama kandidat, dan branding strategy.

Dibanding Triben, Umma, Waras, Pass, misalnya; Syampurno lebih bunyi, akrab, mudah diingat, enteng, punya konotasi baik, serta mengikat dua nama yang berbeda secara etnis (Syamsul Arifin/Melayu-Gatot Pujokusumo/Jawa).

Namun di atas sekadar branding strategy, orisinalitas karakter yang muncul dalam ingatan publik menjadi soal utama. Coba lihat pernyataan Syamsul Arifin di berbagai kesempatan.

"Aku ini kan jelek, makanya cucuk (tusuk, coblos) saja."

"Rakyat jangan lapar, harus punya masa depan, program pertanian bukan sekadar menambah lahan."

"Pemimpin bodoh kalah dari yang pintar, tapi yang pintar kalah menghadapi yang licik. Kalau aku ini pemimpin bertuah, tak kuat dilawan si licik."

Pilihan kalimatnya lugas sekaligus lurus. Tahu, sekaligus tidak takut dikatakan kurang tampan. Kejelekan — jika istilah ini tega dipakai — dan kekurangan bukannya disembunyikan, malah dipakai dengan selera humor yang bernas. Terukur dan tak pula mengeksploitasinya. Termasuk masa lalunya sebagai penjual kue.

Ada cerita saat kampanye. Panggung megah sudah tersedia, namun Syamsul Arifin tidak menaikinya. Dia menerobos kerumunan, berdialog langsung, tanpa basa-basi, dengan bahasa sehari-hari. Posisi tubuhnya — hal tidak sepele dalam semua jenis komunikasi —ditempatkan sejajar, bukan atas-bawah, dengan publiknya.

Penghormatan pada orang tua juga luar biasa. Hampir semua etape penting kampanyenya dilakukan dekat makam Tengku Rizal Nurdin, Gubernur Sumut yang wafat dalam tugas. Namun bahasa tubuhnya tidak terlihat pengkultusan.

Belakangan saya dengar cerita, dia pernah koma. Mungkin itu yang membuatnya tangguh, tak ingin menyia-nyiakan kesempatan hidup. Sekaligus tanpa beban mengarunginya.

Termasuk saat mengagungkan dirinya sebagai anak emak, "aku ini mau jadi Gubenur karena disuruh emak." Seperti Nagabonar, Syamsul Arifin memiliki orisinalitas dalam kepemimpinan serta street smartness.

Penulis adalah anggota DPD