Thursday, December 18, 2008

Hospital tanpa Hospitality


inilah.com

CELAH

18/12/2008 18:54

Hospital tanpa Hospitality

M. Ichsan Loulembah

DALAM tiga bulan belakangan, saya mondar-mandir ke sejumlah rumah sakit. Di Palu, ayah saya dirawat beberapa waktu, hingga akhirnya ia minta dikeluarkan dari rumah sakit utama milik pemerintah, menjelang Lebaran tahun ini.

Di Jakarta, tiga kerabat dekat (adik ipar perempuan, mertua laki-laki dan mertua perempuan) dan putri bungsu, membuat saya memiliki cukup waktu mengamati denyut berbagai rumah sakit. Berikut sekadar catatan dan kesan saya.

Pertama, secara medik, para dokter dan paramedis kita kemampuannya telah lumayan. Terbukti, putri saya berangsur pulih setelah ditangani oleh para juru rawat beserta dokter spesialis.

Di berbagai rumah sakit bahkan diadakan simposium, workshop, seminar, diskusi sampai talk show terkait perkembangan metode dan teknologi kesehatan mutakhir.

Kedua, penataan ruang (baik interior maupun exterior, termasuk berbagai fasilitas penunjang) masih terlalu kaku. Ini meneguhkan kesan angker. Dan, penataan ruang dan wajah arsitektural kaku serta seadanya (untuk tidak menggunakan kata sembarangan) bertalian dengan peluang sehat atau tidaknya penderita.

Betapa sempitnya ruang-ruang di rumah sakit. Toilet (kecuali di beberapa rumah sakit swasta mahal), baik untuk umum maupun kamar rawat inap, tidak terurus secara optimal. Lift yang kusam. Tempat parkir yang ruwet. Tempat penjual minuman, makanan, atau penganan yang penataannya menjauhi estetika.

Ketiga, komersialisasi berlebihan yang memanfaatkan keawaman pasien dan keluarganya. Petugas medis dan staf nonmedis jamak memberikan pilihan memojokkan.

Alih-alih mencari jalan keluar yang efektif, apatah lagi efisien; keluarga pasien lebih merasa ditakut-takuti ketimbang dinasihati. Rentetan nasihat mereka lebih terdengar sebagai jalan buntu ketimbang jalan keluar. Bahkan, ada rumah sakit yang melarang keluarga pasien membawa perlengkapan tidur saat menjaga; karena mereka menyewakannya.

Yang disajikan sejumlah kemungkinan berujung pada aneka jenis layanan (medik ataupun nonmedik), ujungnya terkait dengan naiknya pembiayaan. Jika keluarga pasien terlihat menimbang-nimbang, mereka tak segan menjelaskan aspek-aspek yang menakutkan jika saran tersebut tidak diambil. Sambil menutupnya dengan kalimat, "Kami tidak bertanggung jawab jika situasinya memburuk lho!".

Sekilas, apa yang mereka paparkan terkesan membantu dan bertanggung jawab. Namun, jika dilihat dari sudut keluarga pasien, hal itu gabungan antara lepas tangan dan pemojokan. Kemungkinan dalam kemampuan membayar akan ditelisik dengan rincian yang terlatih dan sempurna.

Rangkaian proses administrasi (bisa dibaca sebagai aktivitas bayar-membayar) berlangsung dalam nuansa transaksi yang kering dan ketat. Sulit membedakannya dengan transaksi di sektor perdagangan atau jasa lainnya.

Terkait dengan kenyataan itu, poin keempat dari kondisi faktual rumah sakit kita adalah merosotnya derajat ketulusan dan keramahan.

Betapa kering senyum mereka (bahkan ketus bagi penghuni kamar rawat murah) saat memeriksa tekanan darah, menanamkan/menyabut jarum infus, memberi obat, dsb. Di beberapa tempat, jika menegur pengunjung, bagian pengamanan segalak satpam bank.

Padahal, inti dari pengelolaan rumah sakit adalah ketulusan dan keramahan. Bukankah proses penyembuhan dan penyehatan tidak semata ditentukan oleh obat, ketrampilan, dan teknologi medis? Apa jadinya hospital tanpa hospitality?

Penulis adalah Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI [L1]

Balada Marcella


inilah.com

CELAH

10/12/2008 01:09

Balada Marcella

M. Ichsan Loulembah

SELAIN kasus kekerasan, Marcella juga sedang menjadi berita karena penolakan sekelompok masyarakat atas pengambilan gambar film Lastri yang diproduserinya. Putri artis 1980-an Tetty Liz Indriaty ini ditahan bersama sejumlah rekannya.

Masalah ini menjadi konsumsi publik karena melibatkan sejumlah nama terkenal. Pembalap berkelas internasional Ananda Mikola dan adiknya Moreno (belakangan dilepaskan karena kurang bukti keterlibatan). Dan jangan lupa, Tinton Soeprapto (ayah Ananda) juga tersohor. Pembalap terkenal pada zamannya ini masih figur penting dan promotor di dunia balap negeri ini. Dunia yang juga kerap dicitrakan glamour.

Pesohor (publik kita lebih sering dijejali istilah selebriti, terjemahan langsung dari celebrity) dan ketersohoran memang seperti hidup dalam akuarium. Segala tindak-tanduk mereka diamati, bahkan ditunggu beritanya. Berita baik, apatah lagi kabar buruk. Doyok, Polo, Derry, Roy Marten, Ahmad Albar, dan sederet lagi nama lain, pernah merasakan lembabnya bui.

Kembali ke Ananda dan Marcella, situasi makin memojokkan mereka. Opini publik lebih memihak ke Agung Setiawan, korban aksi main hakim sendiri mereka. Saat kolom ini ditulis, sekitar ribuan pengacara (dari berbagai asosiasi) dikabarkan berdiri di belakang Agung, desainer interior kantor Marcella.

Bahwa belakangan sejumlah fakta miring di masa lalu Agung mencuat ke permukaan, tentu tak bisa membiarkan anak-anak muda terkenal dan menjadi panutan generasinya itu main kekerasan.

Mengapa mereka enteng dan kurang kontrol diri dalam aktivitas yang harus menggunakan prosedur hukum?

Pertama, saya kira ini ujian bagi kepolisian untuk membuktikan; jika sebuah perkara dibawa ke hadapan mereka, masalah akan selesai dengan singkat. Bukan sebaliknya. Juga bagi aparat hukum lain.

Pengetahuan umum di masyarakat; urusan kita akan jadi berat, rumit dan lama jika melibatkan aparat resmi. Jangan heran aparat 'nonnegara' yang menawarkan jasa menangani sengketa antar warga, bermekaran. Sebagian tetap menjalin hubungan dengan institusi yang semestinya.

Kedua; kita, masyarakat, harus berhenti memanjakan para pesohor. Memanjakan mereka, kita membuat mereka terlena. Berapa banyak tayangan televisi cuma memberitakan hal remeh-temeh di sekitar kehidupan para pesohor. Belanja di mana dan akhir pekan ke mana, anaknya ulang tahun menyewa badut di mana, harus diberitakan.

Seakan itu semua layak dan dibutuhkan masyarakat. Padahal, tayangan itu menggunakan public domain bernama frekwensi yang diberikan negara pada para pengelola siaran. Bukan pada tayangan di pay tv atau cable tv.

Saking banyaknya kebutuhan berita selebritas, konon sejumlah isu sengaja diciptakan untuk mendongkrak atau menahan popularitas seorang artis atau sebuah karya.

Atau, para pesohor yang merebut jam-jam penting siaran televisi dan halaman muka media cetak saat menghadapi hukum. Secara singkat mereka kembali mengunjungi kamar-kamar kita dengan aneka tayangan; bukan lagi sebagai pesakitan, namun bintang utama sebuah pertunjukan.

Marcella, seperti banyak pesohor lain di muka bumi ini, memang harus menerima nasib sebagai milik publik. Tak ada yang luput dari mata, telinga bahkan emosi publik. Tatapan publik yang sama, berubah cepat; dari mengelus menjadi menggilas.

* Penulis adalah Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI [L1]

Mahasiswa, Kata, Batubata


inilah.com

CELAH

19/11/2008 15:09

Mahasiswa, Kata, Batubata

M. Ichsan Loulembah

ALIH-ALIH rajin membuat sarasehan, mahasiswa kini lebih gemar tawuran. Di banyak sudut negeri, setiap hari adegan kekerasan yang jauh dari sportivitas itu kita saksikan.

Kekerasan bahkan terjadi saat mereka memprotes sebuah kebijakan. Yang anehnya, walau terjadi di berbagai tempat dan kampus berbeda, mereka kompak memilih jenis kegiatan ini. Jika urusannya unjuk rasa, maka sentuhan akhirnya adalah bakar ban bekas.

Entah apa kelebihan, kekuatan, apalagi keistimewaan aksi ini; selain memacetkan jalanan yang digunakan publik, merusak jalan yang dibangun dengan anggaran tak sedikit, bakuhantam dengan aparat keamanan. Bahkan, dalam beberapa kasus, mereka berhadapan dengan masyarakat yang masygul.

Sedihnya, atas nama publik pula seringkali kegiatan itu dilakukan. Padahal tema yang diprotes baik dan layak diprotes: harga berbagai barang dan jasa primer naik, biaya sekolah memberatkan, hingga penggusuran warga dan pelanggaran hak asasi manusia. Niat baik berakhir dengan cara sebaliknya.

Itu kalau mereka unjuk rasa memprotes sebuah kebijakan. Lain lagi jika terjadi perselisihan antarmereka.

Beberapa hal patut dicatat jika terjadi perselisihan antar para insan yang ada di balik tembok akademis ini.

Pertama, tawuran atau perkelahian secara rombongan jadi pilihan penyelesaian perkara. Apakah antarkampus, sesama almamater tapi beda fakultas sampai perkelahian antarjurusan. Bukannya memilih satu-lawan-satu yang lebih jantan dan sportif. Katakanlah, jika pilihan mereka memang secara kekerasan.

Padahal, sebagai insan akademis, kekuatan mereka justru pada individualitas. Di luar hal-hal bersifat non-akademis, kinerja dan prestasi seorang mahasiswa berpokok pada kemampuan dirinya sendiri. Belajar, meneliti, berdiskusi; memang dilakukan bersama, namun itu bersifat sekunder.

Aspek primer seorang mahasiswa justru pada kemampuan refleksi, analisis, komunikasi dan keluasan informasi; sumbunya adalah diri sendiri.

Aspek itulah yang mereka tinggalkan. Berkerumun, membuat blokade di jalan raya, menggebrak, menyerang kampus/fakultas/jurusan sebelah. Sebuah 'jalan komunal' yang harus disalahkan.

Kedua, 'kualitas' kekerasannya makin menakutkan. Saling lempar batu secara massal, ada yang mengacung-acungkan senjata tajam. Tak sedikit yang menyiapkan bom molotov. Lingkungan sekitar tercipta ibarat kerusuhan antargang, vendetta para mafia, atau perang zaman tribal. Gerombolan anak-anak manis itu bergemuruh ibarat mesin pembunuh.

Pemicunya rupa-rupa. Sejak urusan pribadi sampai 'sentimen korps'. Berebut pacar, senggolan di pentas seni kampus, hingga pertandingan olahraga yang dibumbui tukar cemooh; tajuk yang jamak memicu perkelahian.

Mungkin ada yang salah pada sistem pengelolaan dan metode pendekatan dalam pendidikan kita. Barangkali ada masalah dalam manajemen sarana dan kurikulum pendidikan. Tapi itu bukan alasan membenarkan kekerasan mahasiswa yang (seharusnya) menjadi inti dan tumpuan moral/intelektual masyarakat itu.

Selayaknya kampus tidak lagi melindungi mereka. Tidak pantas kampus menjadi benteng perlindungan para 'kriminal terdidik' itu. Apalagi jumlah biang kerusuhan pasti teramat kecil, dibanding mahasiswa rajin belajar: mereka yang ingin mengangkat derajat keluarganya lewat pendidikan, anak-anak orang miskin yang bersungguh-sungguh menyiapkan masa depan lebih baik.

Para petinggi perguruan tinggi wajib bekerja di atas standar. Tidak mengelola institusinya dalam skema project approach. Para gurubesar selayaknya merasa bertanggungjawab dan memperluas imajinasi agar dapat mengembalikan perguruan tinggi sebagai tempat menempuh pendidikan tertinggi. Bukan sebaliknya.

Mengembalikan para mahasiswa ke ruang-ruang refleksi, menajamkan daya kreasi, serta menantang mereka dengan diskusi dan komunikasi. Sebab, perguruan tinggi (sebagaimana misi dan adab yang hendak ditularkan ke masyarakat sekitarnya) bukan sarana melempar batubata, tapi tempat menukar kata.

Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI [L1]

Membasmi Premanisme


inilah.com

CELAH

01/12/2008 05:36

Membasmi Premanisme

M. Ichsan Loulembah

MENURUT Inilah.com, sampai hari ke-17, polisi telah menjaring 8.507 preman. Perangkat kerja para preman yang disita pun menghawatirkan; 8 pucuk senjata api, 88 bilah senjata tajam, 59 unit kendaraan bermotor, 41 unit ponsel, dan ratusan barang bukti lainnya.

Angka itu masih akumulasi di 5 Polda: Kepolisian Daerah Metro Jaya, Jawa Tengah, Sumatera Utara, DIY dan Jawa Timur.

Memang sebuah kerja yang mencengangkan karena dua hal. Pertama; memang luar biasa carut-marut premanisme di negeri ini. Sehingga dalam tempo singkat sebanyak itu yang digaruk.

Kedua; ternyata polisi bisa menyelesaikan soal-soal terkait keamanan dan ketertiban masyarakat, jika mau.

Realitas premanisme memang seperti bagian dari hidup sehari-hari. Dan dianggap 'normal' serta dihadapi dalam denyut kepasrahan masyarakat sembari berdoa tidak menjadi korban. Jika pun sampai terkena, anggota masyarakat memilih 'berdamai'. Yang tidak terkena, memilih aman dengan menonton saja aksi mereka.

Di berbagai kompleks perumahan, jamak terjadi setiap kita membeli perlengkapan rumahtangga, sekelompok preman akan meminta jasa pengangkutan. Kadangkala angkanya disebut sesukanya, dihitung dari jumlah kepala para preman yang mau 'membantu'.

Lebih sering tidak masuk akal karena tarif 'jasa' pengangkutan dimaksud (lebih tepat disebut menurunkan barang dari mobil pengangkut ke rumah) mendekati atau bahkan lebih besar dari harga barang itu sendiri.

Di berbagai terminal, berbagai tindak pemerasan (kepada sopir, pengguna jasa angkutan, dan pedagang) seperti menjadi bagian tak terpisahkan. Kita heran jika sebuah terminal (termasuk terminal 'palsu') tanpa premanisme.

Jenis kriminal jalanan lain yang sering dirasakan; merampas ponsel atau laptop, penggores mobil, debt collector yang lebih sering meneror ketimbang menagih, para penjual jasa keamanan, pemalak sopir-sopir taksi, bus, bajaj, ojek. Termasuk copet, jambret, perjudian, perampokan, perampasan dan pelaku penebar ranjau paku, pemeras di gerbong-gerbong kereta api.

Tentu kita menghormati niat Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri selaku Kepala Kepolisian Republik Indonesia memulai tugasnya dengan gebrakan yang memang tugas anak buahnya itu. Konon akan ditambahkan dua orang Komisaris Besar di tiap Polda untuk tugas khusus yang akan dievaluasi setiap tiga bulan ini.

Apatah lagi, tindakan premanisme lebih banyak menimpa orang-orang kecil yang amat produktif. Para penggerak ekonomi informal; pemberi jasa di sektor angkutan, pedagang informal, adalah pihak yang berhadapan langsung dengan para preman. Tiap hari.

Premanisme juga terjadi di sektor-sektor formal, instansi pemerintah, sarana-sarana umum. Berapa meja (tentu semuanya ada biaya) harus dilalui kita saat mengurus sesuatu di kantor-kantor pemerintah? Mengurus KTP, SIM, STNK, BPKB, paspor; selalu melibatkan jasa perantara yang 'hampir dirasakan resmi'. Jika tidak, akan bertele-tele, bahkan dipersulit.

Namun, premanisme selalu melibatkan aparat resmi. Selalu saja ada persekongkolan antara para preman dengan pejabat berwenang. Coba kita hitung berapa lapak, trotoar, ruang-ruang publik yang disewakan secara 'setengah resmi'. Yang mengutip para preman, pejabat berwenang menunggu setoran.

Calon penumpang pesawat, kapal laut, kereta, bus, selalu sulit mendapatkan tiket jika melalui cara-cara resmi dan prosedural. Jika pengumuman resmi tiket habis atau tempat duduk telah penuh, secepat kilat tempat itu akan kita dapat jika sedikit 'menoleh kiri dan kanan'.

Terakhir, tindakan premanisme oleh organisasi kemasyarakatan yang berlabel macam-macam semestinya juga masuk dalam bidikan Kapolri. Jika dibiarkan, tindakan mereka bukan saja mengancam keamanan, tapi justru menggerus wibawa kepolisian. Dibutuhkan operasi yang tidak bersemangat musiman.

Penulis adalah Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI [L1]