Thursday, May 6, 2010

Politik Baliho


M. Ichsan Loulembah

Entah siapa yang memulai, baliho tiba-tiba begitu sentral dalam politik Indonesia. Tiba-tiba saja hampir di setiap sudut negeri, terpampang wajah politisi dalam aneka gaya dan posisi. Semua penuh aksi.

Sebagai sarana media luar ruang, billboard --asal mula istilah baliho-- memang punya kelebihan. Sejak lama, baliho sebatas sarana promosi bagi rokok, motor, sampai minyak rambut. Pendek kata, hanya untuk produk niaga semata.

Menampilkan gambar dalam ukuran ekstrem yang menarik perhatian. Titik penempatan sebuah baliho membuat jumlah pasang mata yang melihatnya bisa dihitung, minimal diperkirakan. Dan, biasanya below the line media ini harus bersisian dengan penggunaan media yang above the line.

Namun, dalam praktek sehari-hari, baliho tidak menjadi pengganti istilah billboard. Karena baliho politik –istilah untuk untuk tulisan ini —tidak seketat billboard yang jamak dikenal kalangan dunia usaha.

Jika billboard dipasang pada titik strategis. Melewati perizinan ketat. Tidak boleh disembarang tempat. Dan ditempatkan dengan jumlah yang tidak seenaknya. Tentu tidak gratis. Baliho politik bisa sebaliknya. Bahkan sesukanya.

Bisa dipasang dimana saja para pemasang mau. Estetika kota tidak jadi petimbangan. Suka-suka pula mau pasang berapa lama. Biasanya yang akan menertibkan badan atau panitia pengawas pemilu. Urusan pajak? Mana ada.

Reformasi politik yang meratakan jalan bagi kompetisi terbuka dalam perebutan jabatan-jabatan publik membuat baliho ditengok. Terutama pada saat pemilihan anggota legislatif dan perebutan jabatan eksekutif. Pasar politik menjadi begitu terbuka untuk segenap ikhtiar berkomunikasi dalam skala massal dan kecepatan tinggi.

Mudah dipahami jika para ahli strategi, konsultan, dan sekondan politik menjadikan baliho sebagai sarana kampanye. Pertama, baliho lebih murah dan mudah. Kalau billboard untuk kepentingan promosi produk ditentukan materialnya, baliho politik bisa memakai apa saja. Semampu kandidat atau partai bersangkutan. Ukurannya pun tergantung kocek.

Kedua, kecenderungan masyarakat kita yang menyukai budaya visual, selain lisan. Metode komunikasi yang paling mudah ini memang masih merupakan tumpuan mayoritas masyarakat yang menjadi basis pemilih dalam semua jenis kontestasi politik negeri ini.

Ketiga, tidak seperti iklan pada umumnya yang melibatkan tenaga profesional menangani setiap detil, sehingga dikerjakan dalam tingkat akurasi yang tinggi. Baliho politik biasanya merupakan sumbangan atau “jasa baik” seseorang atau satu pihak yang merasa perlu menyokong seseorang kandidat atau partai. Apakah karena sesama daerah, rekan satu almamater; pokoknya bikin tim sukses, lantik tim relawan, sumbang baliho semampunya. Pun diyakini jumlah baliho terkait dengan pamor dan citra partai atau seorang kandidat. Lebih banyak, lebih baik.

Kuantitas baliho terasa lebih penting, bukan kualitas penyajian artistiknya. Tidak heran, baliho politik sering mengundang senyum, bahkan tertawaan; lebih sering terasa sebagai lelucon daripada sebuah pesan politik dalam tagline menantang dari sepasang calon yang digadang.

Keempat, tingkat penetrasi media yang amat terbatas jumlahnya. Apalagi dalam skala lokal. Memang ada pertumbuhan jumlah suratkabar, tabloid, majalah, radio dan televisi lokal. Namun tidak berarti dibandingkan jumlah penduduk serta lokasi persebaran yang teramat longgar. Sehingga penggunaan media konvensional tidak dipilih. Juga disebabkan tingkat eksekusi kreatif dan estetik yang membutuhkan keahlian tersendiri; baik dalam desain visual maupun penggunaan teks iklan yang bernas.

Dan, baliho bisa meringkas seluruh kerepotan itu. Masalahnya, apakah baliho bisa dibiarkan meringkas segenap problem politik?

Bukan sekadar demokrasi dan tetek-bengek penyelenggaraannya, politik intinya merumuskan program legislasi serta menjalankan pemerintahan. Program legislasi yang berkualitas, di pusat mnaupun daerah, tentu teramat penting. Kekuasaan eksekutif, secara teknis disebut administrasi, membutuhkan ketrampilan manajemen yang, jika tak menguasai rincian, namun mengetahui akar masalah.

Untuk menjadi seorang politisi yang berkeinginan mengisi jabatan legislasi dan pucuk pimpinan eksekutif membutuhkan jam terbang, pengetahuan, serta sentuhan manajerial. Jika tidak, reformasi dan liberalisasi politik yang kita nikmati sebagai salah satu negara demokratis besar akan disederhanakan sebagai politik baliho. Politik yang hanya mengandalkan kejar-kejaran popularitas dengan tebaran baliho dipojok-pojok negeri.

Padahal politik yang kita butuhkan bukan sekadar ditentukan satu hari di bilik suara, namun lima tahun menjalankannya.