Tuesday, March 18, 2008

Matahari Merauke


www.inilah.com

CELAH

17/03/2008 13:13 WIB

M. ICHSAN LOULEMBAH

DARI Sabang sampai Merauke. Rangkaian kata ini selalu melekat saat kita mengucapkan Indonesia sebagai kesatuan. Kumpulan kata ini menjelman menjadi sebuah kalimat solid. Bahkan ideologis.

Sebelum dimekarkan, luas Kabupaten Merauke 119.749 kilometer persegi, terluas di Indonesia. Kira-kira 1,3 kali pulau Jawa. Daerah berpenduduk 307.343 jiwa (2000) ini juga dikenal sebagai Kota Rusa; hewan ini banyak sekali ditemukan di kota ini, dahulu. Selain kekayaan fauna lain semisal kangguru merah, burung pelikan, dan sebagainya.

Tapi bukan itu fokus kolom pendek ini, namun seorang bernama: John Gluba Gebze. Dua kali dia menjadi bupati. Tahun 2000-2005, dia dipilih oleh DPRD. Periode kedua, 2005-2010, John Gebze terpilih melalui pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkadasung) dengan perolehan suara mencapai 82%.

Sebuah angka yang fantastis. Apa resepnya?

Gebze memilih pasangan wakil bupati Drs Waryoto, seorang Indonesia yang berasal dari Purwokerto, Jawa Tengah. Sebuah kombinasi yang kontras, sekaligus berani secara politik; di tengah histeria 'putra daerah' di hampir seluruh pelosok Indonesia.

Paitua John juga memilih Sekretaris Daerah (Sekda) asal Makassar, Sulawesi Selatan, dan para Asisten Sekda masing-masing satu orang dari Merauke, Ambon, dan satu lagi asal daerah Papua di luar Merauke.

Orang asal Medan, Sumatera Utara, mengisi posisi penting di Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda). Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) diisi pejabat asal Kalimantan Barat. Sementara itu, Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dipimpin oleh seorang dokter berdarah Cina.

Sulit mengatakan pengisian jabatan dengan kombinasi tersebut semata pembagian jatah berdasarkan etnisitas dan agama. Sama sulit dengan menganggapnya membagi-bagi jabatan seperti giliran arisan. Susah pula menuduhnya melakukan pengisian jabatan eksekutif daerah itu semata mempertahankan kekuasaan.

Bukankah pola seperti itu berisiko secara politik?

Jamak kita dengar, tuntutan akan pengisian jabatan elit (baca: eksekutif) daerah harus mengutamakan 'putra daerah'. Atau istilah yang lebih lugas, 'putra asli daerah' dan 'putra daerah asli'.

Itu tidak hanya di Papua. Hampir merata di seantero Nusantara ketegangan politik di berbagai daerah, pemicunya hampir seragam; rekrutmen pejabat daerah dihela sentimen anti-pendatang dan pro-'putra daerah'.

Gebze pasti tidak sekadar bereksperimen. Mesti berbekal sejumput keyakinan. Kompetensi tidak ditaruhnya di belakang.

Saya coba menyelidiki keberanian dan rasa percaya dirinya. Jawaban dia sederhana. Kira-kira kalimatnya: "Perbedaan itu harus dilihat sebagai keniscayaan sejarah yang harus dilihat sebagai harmoni".

Bagaimana cara mengelola tantangan kepemimpinan, tetap memasukkan unsur kompetensi sebagai pertimbangan yang tak remeh; resep Bupati Gebze yang lain.

Dia kerap bersengaja membawa mobil bak terbuka, agar rakyat yang ditemuinya berjalan kaki bisa dinaikkan dalam jumlah tidak sedikit. Tidak cukup, John juga memiliki sebuah nomor telepon khusus, diketahui masyarakat, pesan pendek sering dibacanya sendiri. Dan, kalau cerita dia benar; saat menyelesaikan jabatan bupati periode pertama, dia tidak memiliki rumah pribadi.

Padahal, banyak kepala daerah di negeri ini yang gemar membiakkan rumah sampai ke daerah di luar wilayah kepemimpinannya. Bahkan saat periode kepemimpinan baru mulai.

Saya kira, saatnya kita menoleh ke ujung Timur negeri kita. Kata John Gebze, "di antara orang Indonesia, kami duluan bangun, sholat subuh, berdoa, bekerja." Ada pelajaran kebangsaan, kebhinekaan, harmoni. Di Merauke, matahari memang lebih dulu menyalami.

Wapres dan Seminar


www.inilah.com

CELAH

08/03/2008 19:39 WIB

M. ICHSAN LOULEMBAH

"ORANG Indonesia sudah bisa ke bulan. Bangsa lain memakai roket dan pesawat angkasa luar. Bangsa Indonesia cukup menumpuk berkas dan dokumen hasil seminar, pasti sampai ke bulan."

Lelucon bernada apatis campur sinis itu sering terdengar pada paruh 80-an. Saat membanjirnya berbagai jenis diskusi; seminar, diskusi panel, sarasehan, focus group discussion, lokakarya, diskusi terbuka, diskusi terbatas, diskusi panel ahli, dan berbagai penyebutan lainnya.

Rupanya, situasi tersebut belum berubah. Saya tersadar, dan teringat kembali masa-masa itu saat membaca sinyalemen Wakil Presiden M Jusuf Kalla dalam sebuah berita pendek di harian Kompas edisi 6 Maret 2008.

Menurut Wapres, penyelenggaraan seminar sudah terlampau banyak. Baik diselenggarakan jajaran pemerintah, juga lembaga lainnya. Dalam hematnya, lebih penting jika hasil seminar sungguh-sungguh dilaksanakan untuk memperbaiki keadaan.

Memang, kenyataan di masa 80-an tersebut seperti berulang. Saat itu, berbagai seminar tersebut banyak dimotori gerakan masyarakat (baca: LSM/NGO, aktivis politik, akademisi, gerakan mahasiswa).

Tujuan kegiatan pada masa itu antara lain merumuskan kritik atas skenario pembangunan baik dalam bidang ekonomi, sosial, politik, hukum, bahkan ideologi formal. Baik secara ideologis dipandang tidak bertumpu pada problem nyata rakyat, juga pada proses perumusannya terlampau pragmatis.

Bukan cuma itu, rangkaian diskusi mereka juga menyusun semacam skenario tandingan atau skenario masyarakat sebagai antitesis atas skenario negara/pemerintah. Pelajaran tentang pentingnya partisipasi masyarakat mulai diperkenalkan.

Kini, situasinya berbeda. Pemerintah justru menjadi pihak yang menggelorakan berbagai jenis diskusi dan seminar. Hal ini karena beberapa kemungkinan alasan.

Pertama; sulit kini untuk memaksakan sebuah pendapat menjadi sebuah keberanan. Apalagi harus dilaksanakan. Masyarakat memiliki sumber informasi lebih dari cukup.

Kedua; otoritas pemerintah – para pelaku di jajaran pemerintahan — merosot dibandingkan dulu. Walaupun mungkin kualitas aparatur justru meningkat.

Ketiga; miskinnya kreativitas di jajaran birokrasi dalam menyusun agenda. Yang dilakukan adalah melipatgandakan jumlah kegiatan. Bukan memperbanyak jenis kegiatan.

Untuk menjawab beberapa persoalan tersebut, pihak luar pemerintahan (baca: akademisi, peneliti, pengamat, pembicara publik, aktivis gerakan masyarakat, kolomnis tenar) dilibatkan pada kegiatan seminar dan diskusi untuk dipinjam kredibilitasnya.

Tujuannya, saat kegiatan dilaksanakan, berbagai rencana kegiatan telah melewati uji sahih secara akademis. Inilah penyebab betapa getolnya jajaran pemerintahan menggelar berbagai dikusi dan seminar berkaitan dengan wilayah kerjanya.

Bahkan, jika organisasi non-pemerintah menggelar sebuah seminar, biasanya juga merupakan kegiatan 'kerjasama' atau 'disponsori' oleh instansi pemerintah. Hal ini pun jamak terjadi.

Namun, sebetulnya bukan itu saja. Sering kita temui berbagai tayangan diskusi (baca: talkshow) di televisi – dan bukan hanya di TVRI, juga di televisi swasta — merupakan bagian dari proyek pemerintah. Serta ada mata anggarannya dalam nomenklatur.

Menurut hemat saya, imbauan Wapres Kalla ada benarnya. Harus ada evaluasi yang ketat dan rinci bagaimana antar instansi pemerintah dalam menjalankan program pengkajiannya.

Dibutuhkan kreativitas dalam merumuskan jenis kegiatan, juga efisiensi dalam penganggaran. Sebab, hukumnya jelas; jika tidak kreatif, jenis pekerjaan itu-itu saja, tinggal diulang terus.

Diskusi dan seminar jadi sekadar formalitas belaka. Satu tema diulang terus, dan muncul di setiap tahun anggaran. Proceeding seminar sebelumnya entah ke mana. Boro-boro dilaksanakan? [P1]

Birokratisasi Demokrasi


www.inilah.com

CELAH

29/02/2008 17:45 WIB

M. ICHSAN LOULEMBAH

SALAH satu kritik pada proses perumusan kebijakan publik di era Orde Baru; sifatnya yang sentralistik. Sentralisasi itu bisa pula dimaknai sebagai proses perumusan kebijakan publik (pembangunan) yang minim –bahkan nihil — partisipasi masyarakat.

Di zaman itu para ilmuwan sosial, politik, dan ekonomi, melontarkan kritik betapa produk-produk pembangunan sebagian tidak tepat sasaran. Separuh karena proporsi sektoral yang salah, sebagian lagi disebabkan oleh lokasi dan penempatan kegiatan pembangunan tidak sesuai kebutuhan setempat. Sesekali terlampau mekanistik.

Sebab, prosesnya dilakukan dalam ruangan sempit, sebatas rapat-rapat para perencana di level birokrasi dengan jarak amat jauh dari masyarakat. Sehingga kurang imajinatif atas kebutuhan nyata di masyarakat.

Atas pengalaman itu, proyek reformasi melansir upaya memperluas partisipasi masyarakat dalam semua proses pembangunan —termasuk perencanaan dan perumusannya — agar lebih tepat sasaran.

Mulai dari tingkatan di daerah, apa yang disebut sebagai perencanaan pembangunan didiskusikan, diperdebatkan, dengan pelibatan unsur masyarakat; tokoh informal, lembaga-lembaga masyarakat, dunia kampus, sampai kaum muda.

Tentu saja sebuah itikad baik dan implementasi dari semangat desentralisasi sebagai isu pokok reformasi.

Persoalannya, proses yang diniatkan menampung pendapat dan keinginan masyarakat tidak semuanya berlangsung sesuai keinginan baik dari proses tersebut.

Bermunculan berbagai lembaga swadaya masyarakat yang datang dengan semangat proyek; sebagian malah dibentuk oleh para elit birokrasi. Ini muncul sebagai upaya menangkap peluang karena hukum supply-demand yang tidak seimbang.

Dua akibat yang terjadi. Pertama; keinginan luhur untuk membangun mekanisme yang lebih partisipatif dalam perencanaan pembangunan lebih bersifat proforma.

Karena elemen keswadayaan masyarakat yang partisipatoris dan egaliter mengalami deviasi oleh praktek birokrasi dan elit.

Kedua; problem sehari-hari yang begitu mendesak pasti lebih menjadi prioritas bagi masyarakat di lapisan terbawah. Waktu produktif lebih banyak tersita untuk kegiatan menyelesaikan problem ekonomi sehari-hari.

Malah sebagian diantaranya harus mencari nafkah hari ini untuk dikonsumsi keesokan harinya. Pada tingkatan kebutuhan pokok (basic needs). Sulit jika harus disedot pula untuk proses perencanaan pembangunan.

Disinilah perlunya berbagai kelompok strategis melibatkan diri. Sebab, pemilihan umum sebagai sarana memilih represantasi politik berlangsung secara periodik. Rentang waktu dari pemilu ke pemilu terlalu panjang untuk mengawal aspirasi dan partisipasi masyarakat dalam politik.

Untuk itu dibutuhkan sebuah ruang dalam politik sehari-hari (day to day politics) di mana problem pembangunan membutuhkan jalan selain proses formal politik.

Problemnya, rentang proses yang rumit, membuat proses pengambilan keputusan menjadi panjang. Bahkan, secara teknis dimana-mana sulit untuk merumuskan kesimpulan operasional dari begitu banyak kelompok.

Ada pilihan lain. Munculnya kepemimpinan yang penuh imajinasi di berbagai tempat —provinsi, kabupaten ataupun kota — yang sukses dalam pembangunan.

Banyak contoh yang bisa dibeberkan di sini, betapa kepemimpinan yang imajinatif terbukti efektif merumuskan dan mempraktekkan problem masyarakat di daerah mereka masing-masing.

Beberapa di antaranya bahkan terpilih dengan perolehan suara mengagumkan dalam pilkada; membuktikan bahwa keputusan pembangunan mereka tidak jauh jaraknya dengan aspirasi masyarakatnya.

Fakta ini penting untuk menjadi pilihan lain terhadap proses perumusan kebijakan pembangunan yang diniatkan demokratis, tidak terjebak menjadi sekadar birokratisasi demokrasi. Demokratis, namun birokratis. [L1]

Kampanye Pejabat


www.inilah.com

CELAH

21/02/2008 21:43 WIB

M ICHSAN LOULEMBAH

DI berbagai media, Kamis (21/02/08), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta semua kandidat presiden, gubernur, bupati, dan wali kota agar berhati-hati menyuarakan tema dan janji kampanye.

Intinya, agar tidak menyesatkan, tema dan janji kampanye mesti berdasarkan data yang tepat; selain harus ditepatii, jika terpilih kelak.

Sulit untuk tidak bersetuju dengan imbauan presiden itu. Karena kampanye, ibarat pedang bermata dua. Terlampau besar akan bersifat muluk-muluk serta sulit untuk diwujudkan. Juga bisa dianggap sebagai bualan (maaf untuk kata istilah ini) yang tak bertangungjawab.

Tanpa janji akan sulit juga. Karena pemilih hanya akan terpikat jika diberi janji, sesekali juga rayuan. Inilah yang dipraktekkan secara sistematis oleh dunia industri.

Sementara itu, data “yang senantiasa netral”akan menjadi berbeda jika dilihat dari angle berlainan. Akurasi data juga akan sangat banyak tergantung dari kredibilitas yang mengeluarkannya.

Sekarang kita lihat soal kampanye itu. Menurut saya, selain para calon pimpinan eksekutif (presiden, gubernur, walikota, bupati), kampanye juga acapkali dilakukan para pejabat di berbagai level eksekutif dan birokrasi.

Nyaris merata, di seantero negeri ini kita melihat baliho-baliho berukuran tidak kecil. Isinya: kampanye program yang dicanangkan pemerintah.

Kampanye program pemerintahnya pasti penting. Yang menggusarkan adalah penampilan estetik dan pilihan kata/kalimat kampanye yang kurang cerdas baik, apatah lagi menggugah.

Yang terlihat justru wajah sang pejabat. Memakan lebih dari separo baliho ”biasanya dengan atribut kepejabatan lengkap” sementara isi program yang dikampanyekan justru kurang menonjol. Tidak catchy!

Sehingga kita jadi bingung, yang dikampanyekan apanya? Wajah sang pejabat agar dikenal konstituen? Ajakan menyukseskan programnya? Atau, agar atasan sang pejabat yang justru dituju; agar ia terlihat bekerja?

Hal ini juga kita lihat tahun silam. Para pejabat ”biasanya menteri” rajin berkampanye lewat iklan layanan masyarakat (public service announcement), sering disingkat: ILM dan PSA. Hasilnya sama saja!

Dibuka oleh tampilan problem masyarakat, copy iklan seperti pidato, eksekusi artistik amat sederhana dan buram, lalu ILM/PSA itu diakhiri ajakan sang pejabat (terlihat seperti gabungan orang berkhotbah sambil menghafal) tentang perlunya ini-itu, serta ajakan mendukung program dimaksud.

Padahal iklan-iklan ILM/PSA bisa digarap dengan kecerdasan kreatif yang maksimal. Namun karena pendekatan berbagai unsur birokrasi kita adalah proyek, mudah ditebak; tendernya berbeda sekali dengan bidding di sektor privat.

Yang terjadi; pemenangnya bukan yang punya konsep kuat dan menggugah, masing-masing anggota panitia lelang sudah punya 'favorit', penawaran murah-mahal bukan soal serius dibanding dia mau memberi persentase berapa, presentasi sering dilihat tanpa atensi.

Hasilnya pasti akan sulit dibandingkan dengan proses pitching yang baku berlaku dalam industri periklanan, rumah produksi atau komunikasi pemasaran swasta.

Bukannya kita tidak punya contoh. Iklan ajakan pemilu yang pernah dibuat sineas Garin Nugroho di awal reformasi masih lekat dalam ingatan kita. Inga-inga sebagai gimmick hingga kini bahkan masih ditiru dalam pilkada sampai ke pelosok kampung.

Kampanye dengan tagline dan keywords memikat pernah pula dilakukan oleh instansi pajak dan keluarga berencana, dulu. Kampanye KB bahkan diakui sebagai salah satu jenis social marketing yang sukses. Publik pun sampai lupa (tepatnya tidak terlalu peduli) siapa Direktur Jenderal Pajak atau Kepala BKKBN saat kampanye program pemerintah itu dilansir.

Saya jadi teringat iklan ajakan menyukseskan program kunjungan wisata. Kampanye Visit Indonesia Year 2008 di media cetak, alih-alih menghadirkan hasil kreatif memikat, justru menonjolkan wajah sang menteri.

Saya sedih sambil membayangkan kreatif dan barisan kata-kata ini: Uniquely Singapore, Incredible India, Malaysia Truly Asia. Inilah hasilnya kalau persentase lebih memukau ketimbang presentasi. [L1]