Monday, June 30, 2008

Individualitas Sepakbola


CELAH 23/06/2008 16:03

Individualitas Sepakbola

M. Ichsan Loulembah

SERING terdengar pertanyaan, "masak dari 200-an juta penduduk, kita tidak bisa menciptakan satu kesebelasan yang tangguh?"

Menurut hemat saya, ada yang salah saat kita memandang sepakbola. Seakan, sepakbola berintikan orang-orang yang dengan mudah diturunkan tingkat kolektivitasnya dari level bangsa, komunitas, daerah, suku, keluarga, menjadi sebelas orang pemain.

Logikanya, negara-negara dengan jumlah penduduknya padat, lebih mudah membentuk kesebelasan tangguh. Sebaliknya, negara-negara dengan jumlah penduduknya sedikit akan jarang merajai laga antarbangsa.

Hampir tidak ada pola baku melihat hubungan antara jumlah penduduk, besar wilayah, dan kemajuan sepakbola suatu bangsa. Negara-negara Skandinavia memiliki tim yang tak dapat diremehkan. Padahal penduduk mereka tak terlalu besar. Pun demikian negeri-negeri di Amerika Selatan.

Di lain pihak, negara-negara berpenduduk besar – Cina, India, Indonesia, dan Amerika Serikat – belum termasuk tim yang menjadi favorit di laga-laga berkelas dunia.

Pada sisi lain, sepakbola juga tidak berhubungan dengan tingkat kemajuan ekonomi. Bahkan, lebih sering terjadi hal kontras dalam sejarah persepakbolaan dunia.

Negara-negara dengan sistem modern – ekonomi, sosial, demokrasi – yang matang hampir dipastikan memiliki kesebelasan tangguh. Juga dapat dilihat dari negeri-negeri dengan sejarah peradaban panjang. Iran, Irak, Jepang, Yunani, Italia, Prancis, Inggris, Mexico, misalnya.

Namun, negara-negara miskin – sebagian bahkan minim demokrasi – juga bisa melahirkan kesebelasan kuat. Negara-negara di benua Afrika dan Amerika Latin, contohnya.

Melihat kasus-kasus tersebut, inti dari sepakbola adalah individualitas. Bukan kolektivitas. Gabungan individu-individu yang tangguhlah yang bisa membangun sebuah tim yang tangguh.

Walau dimainkan oleh satu kelompok orang – pemain inti 11 orang tambah sekian pemain cadangan – sepakbola sejatinya permainan yang mengandalkan ketrampilan, kemampuan, dan ketangguhan individual.

Dengan motif berbeda, setiap anak manusia, di tengah kesulitan dan kelebihan komunitasnya masing-masing; memiliki motif berbeda untuk maju dalam hal sepakbola.

Seorang anak miskin di Amerika Latin atau Afrika, tidak memiliki jalan yang banyak untuk keluar dari impitan ekonomi dan deraan hidup, keculai sepakbola.

Bagi anak-anak Eropa (Barat), Korea, dan Jepang, sepakbola dapat mewujudkan cita-citanya menjadi termasyhur, mengarungi pergaulan internasional. Termasuk menjadi faktor inti dalam industri sepakbola dan menyumbang secara signifikan pada perputaran uang skala besar di jantung kapitalisme mondial.

Secara umum, seorang individu semisal Didier Drogba, Samuel Eto’o, Khalid Boulahrouz, Thiery Henry, Robinho, Christiano Ronaldo, Ruud van Nistelrooy, Michael Ballack, Park Ji Sung, dan lainnya, bukan sekadar atlet. Mereka melompat dari pemain di kampung menjadi aktor peradaban global.

Mereka bisa memasuki panggung dunia, menjadi duta bangsa, mempromosikan negara. Selain menjadi kaya yang langsung berimpilikasi pada kemakmuran dirinya, dan keluarga, bahkan masyarakat di sekitarnya.

Jika olahraga perseorangan – golf, tenis, catur, tinju, balap (motor, mobil, sepeda), misalnya – hanya memerlukan ketrampilan, kemampuan teknis, serta ketangguhan semangat juang atlet tersebut, sendirian. Pada sepakbola, segenap kemampuan perseorangan masing-masing individu, diramu dengan kesediaan kerjasama, dan dipayungi oleh strategi serta pola yang dibangun secara kolektif oleh pelatih atau manajer tim.

Tradisi setiap bangsa yang mampu membangun secara konseptual sebuah kesebelasan berbeda satu sama lain. Ketersediaan sumberdaya kebudayaan dan tradisi masing-masing bangsa, ditangan individu – pelatih atau konseptor strategi persepakbolaan – dalam berbagai kasus, bisa menjadi energi maksimal.

Kembali ke pokok soal kita; bagaimana menemukan calon-calon aktor peradaban tersebut di negeri kita? Bagaimana menggelorakan individualitas mereka? Bagaimana menemukan konsep sepakbola yang akurat?

Penulis adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah RI

Belajar dari van der Sar


www.inilah.com

CELAH 11/06/2008 11:07

Belajar dari van der Sar

M. Ichsan Loulembah

SETELAH menyelesaikan pertandingan Selasa dinihari (10/6), kesebelasan Belanda seperti telah menyelesaikan separuh tugas di Piala Eropa 2008.

Menekuk 3-0 juara dunia Italia, bukan soal sepele. Tidak pula sekadar soal kuantitatif perolehan gol. Lebih. Kemenangan tersebut seakan melepaskan beban 30 tahun selalu terkalahkan menghadapi tim Azzuri. Italia seakan kutukan bagi Belanda, selain Jerman (Barat).

Ke atas lagi, seakan catenaccio Italia hampir diyakini para pengamat sebagai antitesis total football Belanda. Mungkin, tersingkir di babak II pun kelak, Belanda tidak peduli.

Memang tim manager Marco van Basten pernah menjanjikan – saat menerima tampuk kepelatihan 4 tahun lalu – ia mengejar target 4 tahun kemudian. Memang, 2 tahun sebagai pelatih, berintikan pemain debutan baru, Belanda di tangan van Basten ibarat pasukan yang baru terusir dari koloninya.

Setelah ditangani para pelatih Frank Rijkaard, Louis van Gaal, hingga Dick Advocaat pada periode 1998-2004, Tim Oranye tidak lolos untuk masuk putaran final Piala Dunia 2002. Van Basten hanya bisa mengangkatnya sampai babak II Piala Dunia 2006.

Padahal tim ini pernah runner up dua kali Piala Dunia. Pertandingan final mereka melawan Jerman Barat di tahun 1974 dan menghadapi Argentina di 1978, nyaris jadi tontonan klasik.

Keunikan lain tim ini, tidak sekali mereka memiliki pemain bersaudara – minimal nama keluarganya sama. Ada abang-adik Rene dan Willy van de Kerkhof di tahun 70-an. Paruh 80-an mereka punya Rob dan Richard Witschge. 1990-an ada Frank dan Ronald de Boer.

Kembali ke pertandingan Italia-Belanda tersebut. Selain Marco van Basten, pelatih dan manajer tim, kiper cum kapten kesebelasan Erwin van der Sar kunci kemenangan tersebut. Apa pula istimewanya jangkung kelahiran 29 Oktober 1970 ini?

Belanda pernah memiliki kiper legendaris Jan Jongbloed; mengawal jala tahun 1962 hingga 70-an. Di 80-an, ada Hans van Breukelen berwajah bintang film. Mereka pernah pula menjadi kapten, sekaligus pemain tertua di kesebelasannya.

Dunia pun pernah mengenal para legenda penjaga gawang: Lev Yashin, Dino Zoff, Jan Tomaszweski, Ramon Quiroga, Peter Shilton, Sepp Maier, dan sebagainya.

Menurut hemat saya, kelebihan van der Sar, pertama; kemampuan teknisnya yang tidak sekadar rata-rata. Kredibilitas dan penghormatan rekan-rekannya di lapangan, pertama kali pasti datang dari pengakuan mereka atas kerja keras dan kemampuan teknis van der Sar yang tak sekadar rata-rata.

Bukan hanya pada pertandingan historis dengan Italia itu saja. Saat bersama Ajax, Fulham, Juventus, dan Manchester United, juga bisa terlihat. Final Liga Champions Eropa sebulan lalu, van der Sar kunci kemenangan dramatis MU lewat adu penalti melawan Chelsea.

Kedua; ketenangannya dalam segala situasi. Tetap awas walau timnya sedang merangsek pertahanan lawan. Tidak panik saat lawan datang menggempur.

Ketiga; proporsionalitas. Dia tidak terlihat berlebihan jika berhasil melakukan sebuah penyelamatan gawangnya. Juga tidak terlampau terlihat down jika gawangnya bobol.

Keempat; kepercayaan dirinya yang memadai. Sebagai leader, ia mafhum, sebuah pertandingan dimenangkan justru saat terbangun keyakinan bahwa kita bisa melakukannya. Namun tidak meloncat menjadi jumawa.

Terakhir; rileks dan spontan. Setiap gol tercipta di gawang lawan, Erwin van der Sar akan kegirangan. Seusai pertandingan ia akan menyalami, merangkul, menepuk bahu, memegang pipi atau kepala kawan ataupun lawannya. Mudah dibaca: ia tulus.

Pada sektor, profesi, dan tingkatan apa pun; kita bisa belajar dari van der Sar.

Penulis adalah Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI

Sunday, June 8, 2008

Drama Indonesia


www.inilah.com

CELAH 04/06/2008 17:08

Drama Indonesia

M Ichsan Loulembah


Drama 1 (lokasi: Monumen Nasional, Jakarta)

Minggu (01/06/08), sekelompok orang mengejar kelompok lain. Kemarahan nampak di wajah penyerang. Takut, pucat pasi, kelompok yang diserang mengerang, tunggang-langgang.

Penyerang dan yang mengerang memakai warna putih dominan. Dada dan punggung penyerang tertera tulisan Front Pembela Islam (FPI). Yang mengerang memakai nama Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB).

Jurnalis senior Doktor Muhammad Syafii Anwar, intelektual Ahmad Suaedy, aktivis Muhammad Guntur Romli, dan sejumlah korban lain dirawat di berbagai rumah sakit.


Drama 2 (lokasi: berbagai tempat di Jakarta)

Minggu (01/06/08), malam, televisi menyiarkan pernyataan berbagai tokoh. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sedianya akan hadir di Lapangan Monas mengeluarkan kecaman.

Eseis Goenawan Mohamad, salah satu yang hadir namun tidak terkena kekerasan, menjelaskan rangkaian peristiwa sambil mengeluarkan penyesalan.

Kepala Kepolisian Resor Jakarta Pusat menyampaikan pernyataan, aksi di Monas tidak berkoordinasi dengan mereka.

Politisi muda yang juga Koordinator Bidang Keagamaan DPP Partai Golkar Nusron Wahid menyampaikan kecaman dalam running text di Metro TV.


Drama 3 (lokasi: berbagai kantor pemerintah)

Senin (02/06/08), di kantor Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Presiden Yudhoyono muncul di layar. Berbalut jas gelap plus dasi berwarna lembut, menyampaikan pernyataan pertama pemerintah. Sambil menahan geram, Presiden mengecam aksi kekerasan itu. Wakil Presiden Kalla, tenang namun terus terang, menyatakan bahwa demonstrasi adalah bagian dari demokrasi, anarkisme bukan.

Di kantor Kepolisian RI, sejumlah tokoh mengadu ke Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI, Komjen Polisi Bambang Hendarso Danuri. Satu-dua politisi memberikan pernyataan mengecam.


Drama 4 (lokasi: Cirebon, Jawa Barat).

Senin (02/06/08), malam, sejumlah massa dari keluarga besar dan kaum muda Nahdlatul Ulama, yang marah atas terlukanya Kiai Maman Imanulhaq, kiai asal daerah itu, merobohkan papan nama FPI.

Tergolek di ranjang rumah sakit berbalut perban, Kiai Maman mengimbau para pengikut dan simpatisannya tidak berlaku anarki, menjauhi main hakim/polisi sendiri.


Drama 5 (lokasi: Petamburan, Jakarta Barat)

Senin (02/06/08), malam, sejumlah tokoh FPI, Laskar pembela Islam dan Komando Laskar Islam, dipimpin Habib Rizieq Shihab memberikan keterangan pers. Di sejumlah media tersiar pernyataan bernada ultimatum dari Sekretaris jenderal Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor), Malik Haramain, jika pemerintah tidak menyelesaikan, GP Ansor dan segenap elemennya akan melakukan sendiri.


Drama 6 (lokasi: Markas Besar Kepolisian RI)

Selasa (03/06/08), siang, pimpinan FPI beserta para anggota, dan penasihat hukumnya, memberikan setumpuk dokumen disertai pelaporan atas tindakan yang dianggap melanggar hukum para tokoh demonstrasi di Monas.

Habib Rizieq Shihab memegang sebuah lembaran berisi nama-nama yang beriklan di berbagai media nasional. Ia menyebut antara lain Abdurrahman Wahid, Goenawan Mohamad dan Adnan Buyung Nasution sebagai aktor di balik terjadinya insiden Monas.

Politisi yang mengeluarkan kecaman makin banyak, dan meluas ke tokoh-tokoh masyarakat lainnya.


Drama 7 (lokasi: Jember, Jawa Timur)

Selasa (03/06/08), malam, Habib Abubakar, setelah berdialog dengan tokoh-tokoh Garda Bangsa PKB dan Barisan Serbaguna (Banser) Ansor NU, membubarkan FPI Kabupaten Jember secara sukarela. Sembari memohon maaf kepada masyarakat Indonesia, khususnya para korban insiden Monas, juga kepada Gus Dur.

Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi, meminta agar NU tidak dibawa-bawa dalam soal itu. Ia juga menyesalkan pemakaian nama NU secara konotatif dalam demonstrasi AKKB di Monas.


Drama 8 (lokasi: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur)

Selasa (03/06/08), malam, markas-markas FPI di Jawa didatangi keluarga besar NU dan PKB agar FPI dibubarkan.

Kapolda Meto Jaya Inspektur Jenderal Polisi Adang Firman mengeluarkan ultimatum agar FPI menyerahkan sejumlah nama yang dianggap terlibat tindak kekerasan.

Di Parung, Bogor, Habib Assegaf, pimpinan pesantren Al Ashriyyah Nurul Iman, penuh wibawa menyiapkan barisan rapi ribuan laskar untuk membentengi Gus Dur, NU dan PKB.


Drama 9 (lokasi: Petamburan, Jakarta Barat)

Rabu (04/06/08), pagi, sekitar 56-58 aktivis FPI dicokok petugas. Sekitar 1.500-2.000 polisi berderap memasuki Jalan Petamburan III. Berbeda dengan perkiraan banyak pihak, pengangkapan itu berlangsung mulus. Tak satupun letusan menyapu kesenyapan pagi itu.

Entahlah, itu klimaks atau antiklimaks? Entahlah, itu panggung Indonesia yang sebenarnya, atau hanya fatamorgana? Entahlah, apakah mereka patut menjadi musuh di antara sesama? Entahlah, apakah kita, bangsa yang besar ini, sudah tepat merumuskan musuh yang sebenarnya.

Layar Indonesia ditutup. Untuk sementara.

Penulis adalah Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI

Thursday, June 5, 2008

Nyali Bang Ali


www.inilah.com

CELAH 27/05/2008 19:22

Nyali Bang Ali

M Ichsan Loulembah

SELAIN para bintara, tamtama, dan perwira itu – kebanyakan dari Korps Marinir Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut berbalut pakaian dinas upacara lengkap (PDUL) – nampak puluhan tokoh dan ribuan anggota masyarakat.

Itulah pemandangan saat mobil saya perlahan melewati tempat pemakaman umum itu.

Mereka memberi penghormatan terakhir pada almarhum Letnan Jenderal Purnawirawan (Marinir) Ali Sadikin. Bang Ali, sebutannya setelah menjadi Gubernur DKI Jakarta pada 1966-1977, wafat di Singapura pada 20 Mei 2008.

Bang Ali memang Tokoh; dengan T besar. Takdirnya pun mengantarkan ia wafat di hari Kebangkitan Nasional.

Konsistensi pemikiran dan sikap kerakyatannya terjaga hingga ke tempat pemakaman, di Tanah Kusir. Jasadnya dimakamkan di liang yang sama dengan Nani Sadikin, istri pertamanya. Dekat dengan rakyat yang pernah dipimpinnya. Konsisten dengan seruannya saat menjadi gubernur; lahan Jakarta sempit.

Seruan kebajikan sering keluar dari deretan tokoh. Baik di masa lalu, maupun kini. Namun, minim yang mau melaksanakan ungkapan retorik mereka sendiri. Ibarat seruan hanya bagi khalayak ramai, tabu diberlakukan bagi mereka yang menggenggam privilese sosial. Bang Ali berbeda.

Pada hari-hari pertama masa pemerintahannya – dilantik usia 39 tahun – putra Sumedang ini bergabung peluh dengan masyarakat dalam bus kota untuk menanyai dan merasakan problem transportasi umum.

Purnawirawan marinir – dulu KKO – ini memang gubernur yang keras, dan disiplin. Namun, walau diangkat oleh Bung Karno – yang sering menyebutnya koppig (keras kepala) – dia menjalani kepemimpinan justru paling lama di zaman Pak Harto.

Ini menjelaskan dengan mudah bahwa, menjadi pemimpin yang bisa bertahan dalam segala cuaca politik tidak harus menjilat. Juga tidak perlu menyesuaikan dengan ritme atasan atau ABS. Sikap yang makin jarang kita saksikan.

Bang Ali juga pemimpin paripurna. Memang ia membangun sarana transportasi; pernah mengadakan 500 bus kota, membangun jalan yang dulu penuh lubang menganga. Ia juga merapikan kampung-kampung Jakarta dengan proyek Muhammad Husni Thamrin yang diganjar penghargaan internasional Aga Khan Award.

Bukan cuma dalam bidang fisik. Di era kepemimpinannya juga dibangun Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki. Di dalamnya ada ruang bagi berkesenian, lahir sekolah kesenian (LPKJ, lalu berubah menjadi IKJ), juga planetarium.

Untuk kaum muda, ia memerintahkan pembangunan Gelanggang Remaja bagi aktivitas kesenian dan olahraga di lima daerah Jakarta yang hingga kini masih berdiri.

Visinya lengkap. Perhatiannya tidak semata pada sektor pemerintahan. Jauh sebelum gerakan masyarakat menjadi trend, ia menyokong proyek aneh waktu itu; mendirikan lembaga yang mengurusi keadilan masyarakat yakni Lembaga Bantuan Hukum (LBH).

Masih dalam konteks mengimbangi kekuasaan pemerintah, ia memerintahkan Ciputra – pengusaha kelahiran Parigi, Sulawesi Tengah – yang memimpin PT Pembangunan Jaya membantu sejumlah jurnalis muda menerbitkan majalah Tempo.

LBH dan Tempo, bukan belakangan hari, namun di awal kegiatannya justru banyak mengritik proses pembangunan Jakarta, terarah pada implikasi dan kelemahan-kelemahannya di lapangan.

Menurut hemat saya, hampir tidak mungkin kita mendapati pemimpin mau menciptakan institusi ibarat ”senjata” yang juga menembak dirinya sendiri.

Dan paling mengejutkan, keberaniannya berdebat dengan kalangan ulama yang memprotes perjudian. Padahal masa itu judi dilegalkan. Namun jarang ada yang berani menyentuhnya. Selain takut berhadapan dengan tokoh agama, para pejabat juga takut tidak populer.

Tentu saja Bang Ali tetap menghormati para ulama. Namun ia tulus, membangun infrastruktur bagi masyarakat. Sekaligus realistis karena anggaran pemerintah memang tak ada. Sentuhannya pada pembangunan Jakarta tetap terasa.

Belajar dari almarhum; selain gagasan strategis, ia juga punya keyakinan dan nyali. Untuk bangkit, negeri ini membutuhkan pemimpin dengan nyali Bang Ali.

Penulis adalah Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI [L1]

Batik Gates


www.inilah.com

CELAH 14/05/2008 22:23

Batik Gates

M. Ichsan Loulembah

LELAKI itu tidak selesai kuliah. Waktu muda tubuhnya kerempeng, dan ringkih. Kini pengaruhnya amat besar bagi dunia. Namanya sering menempati urutan teratas orang terkaya di dunia. Paling sial dia berada di urutan ketiga.

Bill Gates, Chairman Microsoft Corp, datang memberikan ceramah yang diminati banyak segmen di masyarakat. Bukan untuk menjelaskan mengapa perusahaannya terus berupaya 'menelan' icon dunia internet seperti Hotmail dan Yahoo! yang masih jadi pembicaraan.

Jumat itu (09/05/08), Gates datang untuk sebuah pemaparan tentang masa depan internet dan manfaatnya bagi sebuah komunitas, pengelolaan negara, bangsa, bahkan dunia. Namun, bukan itu yang menjadi fokus artikel pendek ini.

Pakaian yang membalut tubuh pria berkacamata itu yang justru menarik perhatian saya. Bill Gates memakai batik!

Wajah seriusnya nampak padu dengan pilihan batik bercorak padat. Pemakaian batik itu ternyata inisiatif para pengurus Kamar Dagang dan Industri (KADIN). Sebuah tindakan yang penting, strategis, dan sadar pemasaran.

Peristiwa Gates berbatik dapat dilihat dari beberapa sudut. Pertama; walaupun
pernah juga digunakan para pemimpin APEC beberapa tahun lalu, Gates tetaplah icon penting. Bahkan jauh melampaui pengaruh para pemimpin formal tersebut.

Dia diperhatikan, bahkan menjadi teladan segala usia. Sehingga foto salah satu figur penting di sektor teknologi informasi ini segera terpampang di dunia maya. Dan akan mengalami reproduksi berlipat-lipat.

Kedua; karena backbone generasi internet adalah anak muda, tentu sebuah
kampanye yang menarik. Para praktisi pemasaran tentu amat mafhum bahwa anak muda adalah segmen pasar yang sangat atraktif, dan dinamis.

Bukan itu saja, selain terus bertumbuh, anak muda sering menjadi penentu kecenderungan. Bahkan bagi pasar dewasa sekalipun.

Gates, menambah deretan pesohor dunia, setelah Nelson Mandela dan batiknya. Walau berkarakter beda, keduanya pesohor dengan pengagum melintasi batas apapun.

Ketiga; seharusnya momentum 'Gates' pakai batik tidak lewat begitu saja seperti pemimpin APEC dan Mandela pakai batik, tempo hari. Justru harus dijadikan sebuah momentum untuk gerakan yang lebih besar. Sebuah gerakan pemasaran atau promosi perdagangan internasional.

Pemerintah - dalam hal ini kementerian perdagangan - merumuskan sebuah proyek pemasaran dengan cara yang tidak biasa. Karena selama ini cara berpromosi kita terlampau biasa; pameran, eksibisi, pertunjukan, dengan tulang punggung pelaksana para staf KBRI plus birokrat Departemen Perdagangan.

Keempat; walaupun memiliki banyak kekayaan budaya yang dapat dijadikan komoditas, batik paling layak dijadikan prioritas. Karena sebagai busana, batik bisa menjadi produk massal. Juga mewakili keragaman corak berdasarkan etnisitas bangsa kita.

Bayangkan, pemakaian batik sekarang jauh lebih meriah dan massal dibanding satu dekade yang lalu. Ada lagi bedanya; dulu lebih sering dipakai pada acara formal, sebagian bahkan 'setengah kewajiban'.

Kini, batik secara sukarela menjadi bagian dari mode segala lapisan ekonomi, sosial, dan usia. Bahkan kafe dan diskotik pun tak kuasa menahan laju batik.

Sudah waktunya batik dipakai oleh semua pejabat dan birokrat pada garis depan pergaulan dunia. Mulai dari para diplomat kita diberbagai belahan bumi.

Sampai utusan resmi kenegaraan pada setiap agenda bilateral, multilateral, perundingan politik, negosiasi dagang, dan konferensi penyelamatan lingkungan.

Bangsa-bangsa lain, jamak melakukannya. Utusan resmi India, Pakistan, bahkan Filipina, apalagi negara-negara Afrika, kerap menggunakan busana nasional di setiap forum internasional yang mereka ikuti.

Selagi menuntaskan kolom ini, mata saya tertumbuk pada dua gambar. Yang satu memuat foto Bill Gates berbalut batik bercorak pisang Bali. Satunya lagi memuat tampang Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik tersenyum lebar dengan jas lengkap dalam iklan Visit Indonesia Year 2008.

Penulis adalah Anggota Dewan Perwakilan Daerah [L1]