Thursday, February 11, 2010

Garda Demokrasi


M. Ichsan Loulembah

Sering disingkat GD, Gus Dur atau Abdurrahman Wahid bisa disebut sebagai apa saja. Ia menggemari seni ketoprak hingga komposisi musik klasik berselera tinggi. Pemahamannya atas seni Timur Tengah, Jawa Tengah, Eropa abad pertengahan, sampai Wina nyaris sepadan. Gus Dur bahkan menghapal lagu-lagu yang sulit ditemukan di laci para penggemar biasa. Tidak heran ia bisa mengulas berbagai bentuk kesenian dengan amat rinci. Demikian halnya dalam bidang kesusteraan.

Tapi, putra Wahid Hasyim ini juga penggemar berat aneka makanan. Lehernya amat dimanjakan untuk berbagai jenis kuliner, walau sambil bersembunyi dari pandangan Sinta Nuriyah, isterinya. Jika para tamunya membawakan makanan, ia akan antusias menyantapnya sambil sesekali mengisahkan hal-hal ringan terkait kelezatan hidangan itu.

Jangan salah, mantan ketua PB NU ini juga penggila sepakbola. Sebelum penglihatannya menurun, ia hapal nama-nama pemain. Bahkan bisa menyodorkan analisa pertandingan lengkap dan setajam komentator profesional.

Dalam dunia tulis-menulis, apalagi. Jauh sebelum menjadi aktivis politik dan mengurusi NU, cucu Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari ini kolumnis rajin. Jalan pikirannya tertulis dalam alur yang bening. Konon, ia bisa mendatangi sebuah kantor penerbitan koran atau majalah, meminjam mesin ketik milik wartawan, ketak-ketik sebentar; sebuah kolom bernas kelar.

Artikelnya bisa menjangkau topik apa saja. Daya jangkau gagasannya kadang membuat banyak pihak terperanjat. Apa yang dipikirkannya selalu mengagetkan. Jika hal kecil yang ditulisnya, artikel itu berbunyi nyaring karena ditulis dari sudut yang baru. Jika menulis hal-hal besar dan esensial, sistematikanya terjaga sembari lincah menjelajahi sudut topik.

Walau kurang becus menjalani kedisiplinan sekolah, isu-isu berat dalam bidang sosial, politik, sejarah, filsafat dan agama seperti disampaikan seorang profesor jika ia yang menyajikan ceramahnya. Ibarat, terlalu banyak ruang dalam otaknya yang luas.

Jejak mantan Presiden RI ini paling kuat dalam perkara demokrasi. Untuk soal pokok ini, dia tidak pernah main-main. Bahkan, seingkali ia berdiri tegak ditengah badai yang dipandangnya langsung atau tersembunyi mengancam demokrasi.

Bagi dia, orang sering mudah mengucapkan demokrasi, namun gentar menyelenggarakan hal-hal pokok yang menjadi tiang utamanya. Isu-isu disekitar persamaan hak, hak asasi manusia, kebhinekaan, diyakininya sebagai fondasi berdirinya rumah Indonesia. Dan, keyakinan itu dipertebal oleh keyakinan agamanya yang menyimpan dasar-dasar berlakunya demokrasi tersebut secara esensial.

Walau terlihat sering berbelok cepat saat menjadi politisi, sejatinya Gus Dur tetap menjaga pokok keyakinannya. Ibarat memainkan sebuah komposisi musik, ketaatan pada partitur tidak mengurungnya dari kemungkinan improvisasi. Inilah yang sering menjadikannya bahan salah pengertian. Baik itu datang dari para pembedanya, sampai khalayak pembelanya.

Ditambah lagi pergaulannya yang nyaris tak bertepi. Mulai dari kiai dari sudut kampung paling pelosok, hingga pemimpin politik di ujung dunia. Sering menjadikannya sulit dikenali sebagai apa.

Itulah mungkin yang menjadikannya begitu mendalami dalam keyakinan paling dasar, apa itu toleransi. Seiring dengan itu, kata toleransi selayaknya tak berdiri sendiri. Kesadaran terhadapnya harus bangun dari sebuah pengalaman atas kesamaan pandangan pada aspek-aspek luhur dan universal.

Sebuah kesejajaran dalam kehidupan dan praktek sosial antar kelompok, harus disertai topangan keyakinan masing-masing. Perbedaan dan kesadaran atasnya, disertai kebersamaan yang berdiri saling bersisian. Toleransi dan keragaman, termasuk dalam soal keberagamaan, nyaris berhimpit dengan keyakinan. Inilah, warisan paling berat yang harus dipikul oleh generasi belakangan pada Gus Dur. Saya menyebut ia, Garda Demokrasi!