Thursday, December 18, 2008

Hospital tanpa Hospitality


inilah.com

CELAH

18/12/2008 18:54

Hospital tanpa Hospitality

M. Ichsan Loulembah

DALAM tiga bulan belakangan, saya mondar-mandir ke sejumlah rumah sakit. Di Palu, ayah saya dirawat beberapa waktu, hingga akhirnya ia minta dikeluarkan dari rumah sakit utama milik pemerintah, menjelang Lebaran tahun ini.

Di Jakarta, tiga kerabat dekat (adik ipar perempuan, mertua laki-laki dan mertua perempuan) dan putri bungsu, membuat saya memiliki cukup waktu mengamati denyut berbagai rumah sakit. Berikut sekadar catatan dan kesan saya.

Pertama, secara medik, para dokter dan paramedis kita kemampuannya telah lumayan. Terbukti, putri saya berangsur pulih setelah ditangani oleh para juru rawat beserta dokter spesialis.

Di berbagai rumah sakit bahkan diadakan simposium, workshop, seminar, diskusi sampai talk show terkait perkembangan metode dan teknologi kesehatan mutakhir.

Kedua, penataan ruang (baik interior maupun exterior, termasuk berbagai fasilitas penunjang) masih terlalu kaku. Ini meneguhkan kesan angker. Dan, penataan ruang dan wajah arsitektural kaku serta seadanya (untuk tidak menggunakan kata sembarangan) bertalian dengan peluang sehat atau tidaknya penderita.

Betapa sempitnya ruang-ruang di rumah sakit. Toilet (kecuali di beberapa rumah sakit swasta mahal), baik untuk umum maupun kamar rawat inap, tidak terurus secara optimal. Lift yang kusam. Tempat parkir yang ruwet. Tempat penjual minuman, makanan, atau penganan yang penataannya menjauhi estetika.

Ketiga, komersialisasi berlebihan yang memanfaatkan keawaman pasien dan keluarganya. Petugas medis dan staf nonmedis jamak memberikan pilihan memojokkan.

Alih-alih mencari jalan keluar yang efektif, apatah lagi efisien; keluarga pasien lebih merasa ditakut-takuti ketimbang dinasihati. Rentetan nasihat mereka lebih terdengar sebagai jalan buntu ketimbang jalan keluar. Bahkan, ada rumah sakit yang melarang keluarga pasien membawa perlengkapan tidur saat menjaga; karena mereka menyewakannya.

Yang disajikan sejumlah kemungkinan berujung pada aneka jenis layanan (medik ataupun nonmedik), ujungnya terkait dengan naiknya pembiayaan. Jika keluarga pasien terlihat menimbang-nimbang, mereka tak segan menjelaskan aspek-aspek yang menakutkan jika saran tersebut tidak diambil. Sambil menutupnya dengan kalimat, "Kami tidak bertanggung jawab jika situasinya memburuk lho!".

Sekilas, apa yang mereka paparkan terkesan membantu dan bertanggung jawab. Namun, jika dilihat dari sudut keluarga pasien, hal itu gabungan antara lepas tangan dan pemojokan. Kemungkinan dalam kemampuan membayar akan ditelisik dengan rincian yang terlatih dan sempurna.

Rangkaian proses administrasi (bisa dibaca sebagai aktivitas bayar-membayar) berlangsung dalam nuansa transaksi yang kering dan ketat. Sulit membedakannya dengan transaksi di sektor perdagangan atau jasa lainnya.

Terkait dengan kenyataan itu, poin keempat dari kondisi faktual rumah sakit kita adalah merosotnya derajat ketulusan dan keramahan.

Betapa kering senyum mereka (bahkan ketus bagi penghuni kamar rawat murah) saat memeriksa tekanan darah, menanamkan/menyabut jarum infus, memberi obat, dsb. Di beberapa tempat, jika menegur pengunjung, bagian pengamanan segalak satpam bank.

Padahal, inti dari pengelolaan rumah sakit adalah ketulusan dan keramahan. Bukankah proses penyembuhan dan penyehatan tidak semata ditentukan oleh obat, ketrampilan, dan teknologi medis? Apa jadinya hospital tanpa hospitality?

Penulis adalah Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI [L1]

Balada Marcella


inilah.com

CELAH

10/12/2008 01:09

Balada Marcella

M. Ichsan Loulembah

SELAIN kasus kekerasan, Marcella juga sedang menjadi berita karena penolakan sekelompok masyarakat atas pengambilan gambar film Lastri yang diproduserinya. Putri artis 1980-an Tetty Liz Indriaty ini ditahan bersama sejumlah rekannya.

Masalah ini menjadi konsumsi publik karena melibatkan sejumlah nama terkenal. Pembalap berkelas internasional Ananda Mikola dan adiknya Moreno (belakangan dilepaskan karena kurang bukti keterlibatan). Dan jangan lupa, Tinton Soeprapto (ayah Ananda) juga tersohor. Pembalap terkenal pada zamannya ini masih figur penting dan promotor di dunia balap negeri ini. Dunia yang juga kerap dicitrakan glamour.

Pesohor (publik kita lebih sering dijejali istilah selebriti, terjemahan langsung dari celebrity) dan ketersohoran memang seperti hidup dalam akuarium. Segala tindak-tanduk mereka diamati, bahkan ditunggu beritanya. Berita baik, apatah lagi kabar buruk. Doyok, Polo, Derry, Roy Marten, Ahmad Albar, dan sederet lagi nama lain, pernah merasakan lembabnya bui.

Kembali ke Ananda dan Marcella, situasi makin memojokkan mereka. Opini publik lebih memihak ke Agung Setiawan, korban aksi main hakim sendiri mereka. Saat kolom ini ditulis, sekitar ribuan pengacara (dari berbagai asosiasi) dikabarkan berdiri di belakang Agung, desainer interior kantor Marcella.

Bahwa belakangan sejumlah fakta miring di masa lalu Agung mencuat ke permukaan, tentu tak bisa membiarkan anak-anak muda terkenal dan menjadi panutan generasinya itu main kekerasan.

Mengapa mereka enteng dan kurang kontrol diri dalam aktivitas yang harus menggunakan prosedur hukum?

Pertama, saya kira ini ujian bagi kepolisian untuk membuktikan; jika sebuah perkara dibawa ke hadapan mereka, masalah akan selesai dengan singkat. Bukan sebaliknya. Juga bagi aparat hukum lain.

Pengetahuan umum di masyarakat; urusan kita akan jadi berat, rumit dan lama jika melibatkan aparat resmi. Jangan heran aparat 'nonnegara' yang menawarkan jasa menangani sengketa antar warga, bermekaran. Sebagian tetap menjalin hubungan dengan institusi yang semestinya.

Kedua; kita, masyarakat, harus berhenti memanjakan para pesohor. Memanjakan mereka, kita membuat mereka terlena. Berapa banyak tayangan televisi cuma memberitakan hal remeh-temeh di sekitar kehidupan para pesohor. Belanja di mana dan akhir pekan ke mana, anaknya ulang tahun menyewa badut di mana, harus diberitakan.

Seakan itu semua layak dan dibutuhkan masyarakat. Padahal, tayangan itu menggunakan public domain bernama frekwensi yang diberikan negara pada para pengelola siaran. Bukan pada tayangan di pay tv atau cable tv.

Saking banyaknya kebutuhan berita selebritas, konon sejumlah isu sengaja diciptakan untuk mendongkrak atau menahan popularitas seorang artis atau sebuah karya.

Atau, para pesohor yang merebut jam-jam penting siaran televisi dan halaman muka media cetak saat menghadapi hukum. Secara singkat mereka kembali mengunjungi kamar-kamar kita dengan aneka tayangan; bukan lagi sebagai pesakitan, namun bintang utama sebuah pertunjukan.

Marcella, seperti banyak pesohor lain di muka bumi ini, memang harus menerima nasib sebagai milik publik. Tak ada yang luput dari mata, telinga bahkan emosi publik. Tatapan publik yang sama, berubah cepat; dari mengelus menjadi menggilas.

* Penulis adalah Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI [L1]

Mahasiswa, Kata, Batubata


inilah.com

CELAH

19/11/2008 15:09

Mahasiswa, Kata, Batubata

M. Ichsan Loulembah

ALIH-ALIH rajin membuat sarasehan, mahasiswa kini lebih gemar tawuran. Di banyak sudut negeri, setiap hari adegan kekerasan yang jauh dari sportivitas itu kita saksikan.

Kekerasan bahkan terjadi saat mereka memprotes sebuah kebijakan. Yang anehnya, walau terjadi di berbagai tempat dan kampus berbeda, mereka kompak memilih jenis kegiatan ini. Jika urusannya unjuk rasa, maka sentuhan akhirnya adalah bakar ban bekas.

Entah apa kelebihan, kekuatan, apalagi keistimewaan aksi ini; selain memacetkan jalanan yang digunakan publik, merusak jalan yang dibangun dengan anggaran tak sedikit, bakuhantam dengan aparat keamanan. Bahkan, dalam beberapa kasus, mereka berhadapan dengan masyarakat yang masygul.

Sedihnya, atas nama publik pula seringkali kegiatan itu dilakukan. Padahal tema yang diprotes baik dan layak diprotes: harga berbagai barang dan jasa primer naik, biaya sekolah memberatkan, hingga penggusuran warga dan pelanggaran hak asasi manusia. Niat baik berakhir dengan cara sebaliknya.

Itu kalau mereka unjuk rasa memprotes sebuah kebijakan. Lain lagi jika terjadi perselisihan antarmereka.

Beberapa hal patut dicatat jika terjadi perselisihan antar para insan yang ada di balik tembok akademis ini.

Pertama, tawuran atau perkelahian secara rombongan jadi pilihan penyelesaian perkara. Apakah antarkampus, sesama almamater tapi beda fakultas sampai perkelahian antarjurusan. Bukannya memilih satu-lawan-satu yang lebih jantan dan sportif. Katakanlah, jika pilihan mereka memang secara kekerasan.

Padahal, sebagai insan akademis, kekuatan mereka justru pada individualitas. Di luar hal-hal bersifat non-akademis, kinerja dan prestasi seorang mahasiswa berpokok pada kemampuan dirinya sendiri. Belajar, meneliti, berdiskusi; memang dilakukan bersama, namun itu bersifat sekunder.

Aspek primer seorang mahasiswa justru pada kemampuan refleksi, analisis, komunikasi dan keluasan informasi; sumbunya adalah diri sendiri.

Aspek itulah yang mereka tinggalkan. Berkerumun, membuat blokade di jalan raya, menggebrak, menyerang kampus/fakultas/jurusan sebelah. Sebuah 'jalan komunal' yang harus disalahkan.

Kedua, 'kualitas' kekerasannya makin menakutkan. Saling lempar batu secara massal, ada yang mengacung-acungkan senjata tajam. Tak sedikit yang menyiapkan bom molotov. Lingkungan sekitar tercipta ibarat kerusuhan antargang, vendetta para mafia, atau perang zaman tribal. Gerombolan anak-anak manis itu bergemuruh ibarat mesin pembunuh.

Pemicunya rupa-rupa. Sejak urusan pribadi sampai 'sentimen korps'. Berebut pacar, senggolan di pentas seni kampus, hingga pertandingan olahraga yang dibumbui tukar cemooh; tajuk yang jamak memicu perkelahian.

Mungkin ada yang salah pada sistem pengelolaan dan metode pendekatan dalam pendidikan kita. Barangkali ada masalah dalam manajemen sarana dan kurikulum pendidikan. Tapi itu bukan alasan membenarkan kekerasan mahasiswa yang (seharusnya) menjadi inti dan tumpuan moral/intelektual masyarakat itu.

Selayaknya kampus tidak lagi melindungi mereka. Tidak pantas kampus menjadi benteng perlindungan para 'kriminal terdidik' itu. Apalagi jumlah biang kerusuhan pasti teramat kecil, dibanding mahasiswa rajin belajar: mereka yang ingin mengangkat derajat keluarganya lewat pendidikan, anak-anak orang miskin yang bersungguh-sungguh menyiapkan masa depan lebih baik.

Para petinggi perguruan tinggi wajib bekerja di atas standar. Tidak mengelola institusinya dalam skema project approach. Para gurubesar selayaknya merasa bertanggungjawab dan memperluas imajinasi agar dapat mengembalikan perguruan tinggi sebagai tempat menempuh pendidikan tertinggi. Bukan sebaliknya.

Mengembalikan para mahasiswa ke ruang-ruang refleksi, menajamkan daya kreasi, serta menantang mereka dengan diskusi dan komunikasi. Sebab, perguruan tinggi (sebagaimana misi dan adab yang hendak ditularkan ke masyarakat sekitarnya) bukan sarana melempar batubata, tapi tempat menukar kata.

Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI [L1]

Membasmi Premanisme


inilah.com

CELAH

01/12/2008 05:36

Membasmi Premanisme

M. Ichsan Loulembah

MENURUT Inilah.com, sampai hari ke-17, polisi telah menjaring 8.507 preman. Perangkat kerja para preman yang disita pun menghawatirkan; 8 pucuk senjata api, 88 bilah senjata tajam, 59 unit kendaraan bermotor, 41 unit ponsel, dan ratusan barang bukti lainnya.

Angka itu masih akumulasi di 5 Polda: Kepolisian Daerah Metro Jaya, Jawa Tengah, Sumatera Utara, DIY dan Jawa Timur.

Memang sebuah kerja yang mencengangkan karena dua hal. Pertama; memang luar biasa carut-marut premanisme di negeri ini. Sehingga dalam tempo singkat sebanyak itu yang digaruk.

Kedua; ternyata polisi bisa menyelesaikan soal-soal terkait keamanan dan ketertiban masyarakat, jika mau.

Realitas premanisme memang seperti bagian dari hidup sehari-hari. Dan dianggap 'normal' serta dihadapi dalam denyut kepasrahan masyarakat sembari berdoa tidak menjadi korban. Jika pun sampai terkena, anggota masyarakat memilih 'berdamai'. Yang tidak terkena, memilih aman dengan menonton saja aksi mereka.

Di berbagai kompleks perumahan, jamak terjadi setiap kita membeli perlengkapan rumahtangga, sekelompok preman akan meminta jasa pengangkutan. Kadangkala angkanya disebut sesukanya, dihitung dari jumlah kepala para preman yang mau 'membantu'.

Lebih sering tidak masuk akal karena tarif 'jasa' pengangkutan dimaksud (lebih tepat disebut menurunkan barang dari mobil pengangkut ke rumah) mendekati atau bahkan lebih besar dari harga barang itu sendiri.

Di berbagai terminal, berbagai tindak pemerasan (kepada sopir, pengguna jasa angkutan, dan pedagang) seperti menjadi bagian tak terpisahkan. Kita heran jika sebuah terminal (termasuk terminal 'palsu') tanpa premanisme.

Jenis kriminal jalanan lain yang sering dirasakan; merampas ponsel atau laptop, penggores mobil, debt collector yang lebih sering meneror ketimbang menagih, para penjual jasa keamanan, pemalak sopir-sopir taksi, bus, bajaj, ojek. Termasuk copet, jambret, perjudian, perampokan, perampasan dan pelaku penebar ranjau paku, pemeras di gerbong-gerbong kereta api.

Tentu kita menghormati niat Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri selaku Kepala Kepolisian Republik Indonesia memulai tugasnya dengan gebrakan yang memang tugas anak buahnya itu. Konon akan ditambahkan dua orang Komisaris Besar di tiap Polda untuk tugas khusus yang akan dievaluasi setiap tiga bulan ini.

Apatah lagi, tindakan premanisme lebih banyak menimpa orang-orang kecil yang amat produktif. Para penggerak ekonomi informal; pemberi jasa di sektor angkutan, pedagang informal, adalah pihak yang berhadapan langsung dengan para preman. Tiap hari.

Premanisme juga terjadi di sektor-sektor formal, instansi pemerintah, sarana-sarana umum. Berapa meja (tentu semuanya ada biaya) harus dilalui kita saat mengurus sesuatu di kantor-kantor pemerintah? Mengurus KTP, SIM, STNK, BPKB, paspor; selalu melibatkan jasa perantara yang 'hampir dirasakan resmi'. Jika tidak, akan bertele-tele, bahkan dipersulit.

Namun, premanisme selalu melibatkan aparat resmi. Selalu saja ada persekongkolan antara para preman dengan pejabat berwenang. Coba kita hitung berapa lapak, trotoar, ruang-ruang publik yang disewakan secara 'setengah resmi'. Yang mengutip para preman, pejabat berwenang menunggu setoran.

Calon penumpang pesawat, kapal laut, kereta, bus, selalu sulit mendapatkan tiket jika melalui cara-cara resmi dan prosedural. Jika pengumuman resmi tiket habis atau tempat duduk telah penuh, secepat kilat tempat itu akan kita dapat jika sedikit 'menoleh kiri dan kanan'.

Terakhir, tindakan premanisme oleh organisasi kemasyarakatan yang berlabel macam-macam semestinya juga masuk dalam bidikan Kapolri. Jika dibiarkan, tindakan mereka bukan saja mengancam keamanan, tapi justru menggerus wibawa kepolisian. Dibutuhkan operasi yang tidak bersemangat musiman.

Penulis adalah Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI [L1]

Wednesday, November 19, 2008

Aloha, Obama!


inilah.com

CELAH 06/11/2008 01:09

Aloha, Obama!

M. Ichsan Loulembah

SIAPA bilang posisi Obama enak? Bagi kalangan African-American, dia dianggap 'kurang hitam', karena punya kakek dan ibu berkulit putih: Stanley Armour Dunham dan Ann Dunham. Dalam pandangan orang kulit putih, dia tetaplah putra seorang berkulit hitam, warga Kenya, Barrack Hussein Obama Sr. Muslim pula.

Jika ia tidak memiliki bakat yang luar biasa. Dia pasti sudah terjepit dalam dua pandangan yang peka ini. Sebab, sebagaimana terjadi di pelosok dunia lainnya; isu warna kulit, etnis dan agama, selalu memiliki komplikasi dalam pilihan politik.

Berbagai sentimen yang berpangkal pada rasa itu punya dua karakter utama. Pertama: lebih sering dibicarakan tertutup dan informal, ketimbang sebaliknya. Akan dianggap kurang beradab seseorang jika masih membicarakan soal-soal 'primitif' seperti itu.

Kedua: jika pun seseorang terpaksa harus menjawab, keterangan verbal akan mudah terbalut dengan 'suara dari dalam diri'. Seseorang akan cenderung berbohong, atau minimal menyembunyikan kecenderungan subjektifnya.

Itulah dilema, awal hingga perhitungan suara yang saya rasakan membaca dan menonton berbagai analisis dan komentar menjelang pemilihan presiden Amerika Serikat.

Bradley effect! Itulah yang ditakuti para sekondan politik, tokoh-tokoh senior Partai Demokrat, pemilih, bahkan seluruh penjuru dunia yang memang seperti gemuruh mendukung Barack Obama Jr.

Selain karena muda dan dikenal jago debat sejak mahasiswa; mengapa Obama menang?

Pertama: Obama tulus. Sulit menangkap sekejap pun bahasa tubuh, komentar, jawaban pada konferensi pers, atau dalam debat terbuka yang jauh dari ketulusan. Ini bisa disebut sebagai bakat lahir karena tidak ada sekolah yang dengan baik meluluskan seseorang dalam perkara ketulusan ini.

Dalam komunikasi, itu amat penting. Jangan sepelekan pemilih. Mereka secara cermat menikam seorang kandidat dengan tatapan rinci ke seluruh tubuh. Dipelajari mudah, dilakukan susah.

Buat orang-orang yang merasa jauh di atas para pemilihnya, sulit sekali mempraktekkan soal 'kecil' ini. Obama, mampu menyejajarkan dirinya setara pemilih tanpa terjerembab terlalu ke bawah. Sulit pula membuktikan dia pura-pura.

Mungkin tema-tema kampanye yang teknis dan panjang-lebar tidak mampu mereka kunyah. Namun, ketulusan, mudah dicerna. Dan itu berlaku universal. Ada semacam koor kecerdasan publik untuk soal teramat mendasar ini.

Kedua: Obama otentik. Otentisitas amat kuat dalam genggamannya. Jika, sebagian orang menganggap 'tidak hitam, tidak putih' sebagai kelemahan, bahkan penghalang. Obama justru menjadikannya sebagai peluang, sekaligus kelebihan.

Walau terus dijepit oleh berbagai serangan kubu Republik pada soal-soal peka (muslim, sekolah di madrasah, berteman dengan radikal muslim Amerika, dll), mantan siswa SD Besuki ini terus menggeliat.

Lahir dari keluarga campuran, 'hitam-putih', justru ia jadikan tumpuan keotentikannya akan isu-isu diskriminasi, persatuan, kebersamaan. Dia otentik, dan secara trampil mengolahnya menjadi modal politik yang kuat; justru karena dia berada di dua kutub tersebut.

Ketiga: Obama memiliki momentum. Semua orang di negeri Paman Sam merasakan pemerintah Bush yang tidak pintar, boros dan gemar perang. Seluruh dunia pun (apalagi berbagai pelosok dunia yang terkena imbas kebijakan bodoh Bush) memberi dukungan; diam-diam, ataupun terang-terangan.

Apalagi beberapa bulan menjelang pemungutan suara, krisis keuangan AS terasakan begitu menyakitkan.

Menurut hemat saya, seluruh rakyat AS, bahkan seluruh dunia, akan berseru seperti nenek Obama dari pihak ibu, Madelyn Dunham, yang wafat beberapa hari lalu di Hawai: Aloha, Obama!

Penulis adalah Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI [L1]

The Smiling Corruptor


CELAH 19/10/2008 09:45

The Smiling Corruptor

M. Ichsan Loulembah

"DIA pernah asyik main golf hingga terlambat sampai di airport," kisah seorang hakim di luar sidang. "Tapi pesawat yang sudah lepas landas selama lebih lima menit ternyata kembali mendarat untuk menjemput Budiadji". (Tempo, 16 April 1977.

Di kalangan bekas tetangga-tetangganya, Endang Widjaja dikenal sebagai warga yang cukup dermawan. "Dia selalu menyumbang uang dalam jumlah besar kalau RW mengadakan ulangtahun Jakarta misalnya. Malah juga ada beberapa artis terkenal yang diundangnya," kata seorang bekas tetangganya.

Selain perkara Pertamina, korupsi Rp7,6 miliar yang digasak Budiadji (kala diperiksa berusia 39) selaku Kepala Depot Logistik (Kadolog) Kalimantan Timur amat menyedot perhatian.

Adapun 'saingan terdekat' Budiadji dalam ketersohoran dengan soal serupa, tak lain Endang Wijaya alias Yap Eng Kui alias A Tjai, yang menggaruk miliaran rupiah dalam kasus Pluit.

Budiadji adalah organ negara, dalam tugas 'suci' menyalurkan dan mengantarkan beras, ke rumah-rumah rakyat. Namun, tindak-tanduknya terbalik. Penampilannya ibarat pengusaha minyak tempo dulu, atau pemilik tambang batubara dan kebun kelapa sawit di masa kini.

Selain menyelewengkan HPB (hasil penjualan beras) dan pemalsuan DO (delivery order), sejak 1973, Budiadji juga 'kreatif'. Dia menciptakan istilah OPS (order pemindahan stok), sesuatu yang tak dikenal dalam perdokumenan Badan Urusan Logistik (Bulog), waktu itu.

Sedemikian kuatnya, hingga, pesawat terbang rela kembali ke bandara jika Budiadji tertinggal.

Endang Widaja, hanyalah seorang pengusaha 'melarat' ketika pada 1970 menginjakkan kaki untuk mengadu nasib di Jakarta, dari Medan. Namun, setelah 'berinteraksi' dengan beberapa pejabat di Pemerintah Daerah DKI Jakarta, hidupnya langsung gemerlap.

Selain royal dalam kegiatan di lingkungannya, A Tjai juga rajin 'menghibur' para pejabat yang melancarkan kegiatan usahanya.

Tak heran, ia dipercaya sebagai kontraktor tunggal oleh Badan Pelaksana Otorita (BPO) Pluit sejak 1971. Sehingga kredit macet yang dibikinnya pun megah, yakni Rp18,9 miliar di Bank Bumi Daya (BBD).

Itu kisah dua koruptor, dari banyak 'pesta korupsi' lain di masa Orde Baru. Bagaimana dengan kisah koruptor di era Reformasi? Sekilas sama saja.

Pertama, lingkungan jarang kritis, cenderung toleran. Tidak sedikit malah nyaman, pura-pura tidak tahu, jika seorang yang mereka kenal tiba-tiba meroket kekayaannya.

Kini, banyak kisah (abdi negara, politisi, pejabat publik, kontraktor pemerintah) di pusat dan daerah, dielu-elukan, justru karena cepat kaya, serta banyak sumbangannya.

Kedua, korupsi selalu melibatkan banyak pihak. Perkara A Tjai memensiunkan 10 pegawai BBD, 17 diberhentikan, sebagian turun pangkat.

Tak berbeda. Artalyta Suryani alias A Yin punya counter part jaksa Urip Tri Gunawan, Sekretaris Daerah Bintan Azirwan punya anggota parlemen Al Amin Nasution, dan banyak lagi kisah kerjasama lainnya.

Ketiga, dahulu korupsi besar juga tak kuasa ditangani satu lembaga permanen saja. Operasi sukses, jika melibatkan semacam checks and balances antarlembaga.

Korupsi orang-orang kuat ditangani gabungan Kejaksaan Agung dan Operasi Penertiban Pusat (Opstibpus), sebuah institusi ad hoc ciptaan Orde Baru.

Kini, ada Komisi Pemberantasa Korupsi sebagai lembaga ad hoc yang memperkuat Kejaksaan dan Kepolisian.

Terakhir, para korputor, dulu dan kini, selalu terlihat necis saat di pengadilan. Senyum mereka tetap mengembang saat diwawancarai door stop setelah diadili. Bahkan ada yang nyengir saat mendengarkan hasil sadapan percakapan yang sebetulnya memalukan diri, dan keluarganya.

Jika di negara-negara lain sebuah tuduhan, bahkan berita media tentang skandal korupsi berakhir dengan pengunduran. Di sini malah bersikukuh bertahan.

Bila di Jepang, ada pejabat yang dituduh korupsi tak kuasa menghadapi publik dan langsung harakiri. Di sini, coba liat di layar televisi, malah melempar senyum dan bersolekdiri.

* Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI [L1]

Thursday, October 2, 2008

Pulang ke Kebhinekaan


CELAH inilah.com 01/10/2008 12:09

Pulang ke Kebhinekaan

M. Ichsan Loulembah

SEORANG wartawan televisi sedang live reporting dari pelabuhan Merak, Banten. Reporter lain berada di Terminal Bus Pulogadung. Gambar kendaraan bermotor bersesakan ada di laporan lainnya.

Situasi arus pulang kampung menghiasi media massa mulai H-7 hingga H+7 setiap mengakhiri Ramadhan hingga sepekan bulan Syawal. Setiap tahun. Di hampir semua jenis media.

Mudik (satu kata pengganti tradisi pulang kampung) nyaris menjadi 'peribadatan' melengkapi bulan puasa.

Kini, bahkan lebih semarak. Pemilu 2009 beserta masa kampanye yang panjang, membuat situasi mudik juga terisi gempita politik. Partai-partai politik peserta pemilihan umum berpikir keras mengkreasi aneka trik untuk terlibat.

Ada yang muncul secara halus, canggih, dan tak langsung. Tak sedikit yang secara terang-terangan. Jamak pula yang membagikan aneka penganan sekadar bekal dalam perjalanan. Ratusan hingga ribuan atribut partai terpampang di sepanjang jalur gemuk yang dilewati para pemudik.

Tak terbatas di Jawa, arus mudik dari berbagai kota besar di pulau-pulau lain pun menjadi pemandangan jamak. Apakah ini gejala kontemporer?

Pertama, pulang kampung bukan tradisi baru sama sekali. Kini begitu terasa karena lonjakan kaum urban yang terus berlipat. Terutama setelah modernisasi menjadi semacam strategi budaya (ekonomi dan politik) resmi pemerintahan Orde Baru, yang tidak seluruhnya salah.

Pertumbuhan beragam institusi sosial-ekonomi- budaya modern penyerta perkembangan kota-kota, menyedot kaum rural. Memoles penampilan dari agraris menjadi kosmopolit.

Peluang mengisi instrumen-instrumen 'baru' dalam skenario perkotaan mengikuti hukum permintaan-pengisia n (supply-demand) . Gerak mobilitas sosial/vertikal yang jamak dalam sejarah sosial berbagai negara.

Kedua, liputan media massa, terutama setelah perumbuhan industri media dengan audiens massal (televisi dan radio) di seluruh penjuru Tanah Air, menjelang jatuhnya Orde Baru hingga pascareformasi.

Efek media ini membentuk, bahkan dalam kapasitas tertentu, turut melipatgandakan (inikah terjemahan tepat bagi boosting?) kesadaran 'baru' dalam kecenderungan permudikan kini. Siaran langsung di televisi dan radio, gambar serta cerita di halaman muka koran, menghadirkan drama Indonesia tanpa kamuflase.

Ketiga, histeria modernisasi, pembangunan dan pertumbuhan aneka sektor tidak sekadar berderap. Selain bergairah, seringkali tidak ramah. Tidak hanya menghasilkan pemenang, banyak pula yang kalah.

Namun, yang 'menang' dan 'kalah' sama-sama merasa terasing (minimal sesekali, jika tak sering). Alienasi yang perlahan terstrukturkan membutuhkan mudik sebagai penyaluran.

Dalam konteks masyarakat kita yang guyub (persekutuan, persyarikatan, komunitas), mudik bersama dan massal, amat menggairahkan. Berhimpitan dalam bus, kereta, kapal laut; menjelma dari menekan menjadi ritual mengasyikkan.

Antrian panjang di terminal penumpang bandar udara, macet berpuluh-puluh jam, selain menghadirkan peluh dan keluh, karena dialami bersamaan menjadi begitu menggetarkan.

Keempat, agenda tahunan ini dapat pula dibaca sebagai jeda setelah hampir sepanjang tahun kita mengalami proses memusat (pusat, nasional, Jakarta, kota). Gerakan memusat tersedia sejak dari proses politik, kegiatan ekonomi hingga wajah kultural yang teringkas di media bertenaga serta ruang-ruang publik lainnya.

Pinggiran, bukan saja sebuah isu geografis. Pemusatan, selain terlampau perkasa pada perlombaan di pasar ekonomi dan pembentukan wajah budaya. Juga dalam strategi pembangunan dan pilihan kebijakan.

Akhirul kalam, menurut hemat saya, mudik akhirnya adalah sebuah pematang. Jalan kecil untuk pulang. Rute berbalik, kembali ke kebhinekaan kita masing-masing. Sebuah Indonesia yang beraneka, dan tak asing.

* Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI [L1]

http://www.inilah. com/berita/ celah/2008/ 10/01/52620/ pulang-ke- kebhinekaan/

Friday, September 19, 2008

The Baswedan's Way


inilah.com

CELAH 12/09/2008 17:03

The Baswedan’s Way

M. Ichsan Loulembah

SAYA hanya mengenal dan akrab dengan cucunya, Anies Rasyid Baswedan. Terus terang, saya tidak mengenal secara pribadi Abdurrahman Baswedan. Tokoh yang kerap ditulis (dan disebut) sebagai AR Baswedan ini saya kenal hanya melalui bacaan sekunder sejarah.

Namun, tokoh yang lahir 9 September seratus tahun lalu ini, ternyata amat menjulang.

Pertama, pembubaran organisasi Partai Arab Indonesia (sebelumnya bernama Persatuan Arab Indonesia yang ia dirikan) bukan peristiwa sepele.

Bayangkan saja, status keturunan Arab yang dikelompokkan beliau atas pribumi, diturunkannya; sama, sebangun, dan sependeritaan dengan golongan pribumi dalam pengelompokkan ciptaan Belanda.

Jika membacanya dengan kondisi sekarang, sepertinya tidak ada yang luar biasa. Karena, istilah keturunan Arab nyaris tak terdengar di ruang-ruang publik. Telah dihimpitkan sebagai 'orang Indonesia asli'.


Hamid Algadrie, Ali Alatas, Fuad Hassan, Saleh Affif, Mar’ie Muhammad, Fadel Muhammad, Nono dan Zacky Anwar Makarim, Salim Said, Awad Bahasoan, Muhammad Assegaf, Djafar Hussein Assegaf, Munir, Hamid Basyaib, sampai penyanyi rock Ahmad Albar, atau deretan jawara dangdut Hamdan Attamimi, Fazal Dath, Umar Alamrie alias Amri Palu, sebagai misal; siapa yang berani dan tega mengatakan mereka 'WNI keturunan'.
Dalam penafsiran saya, langkah mendirikan PAI adalah sebuah upaya pengorganisasian, ikhtiar mengkonsolidasikan rumpun keturunan Arab (di masa itu) untuk selanjutnya bahu-membahu bersama komunitas perjuangan lainnya melawan penjajahan.

Setelah disuntikkan elan kebangsaan, energi kelompok dan gerakan ini disalurkan bagi perjuangan Indonesia merdeka.

Asosiasi ini belakangan terbukti penting wa bil khusus, dalam membangun kesan dan jaringan dengan Negara-negara Timur Tengah; kita telah baca dalam sejarah sebagai negara-negara awalun mendukung kemerdekaan kita.

Dan, AR Baswedan terlibat dalam sejumlah perundingan panjang dan meletihkan, karena terjadi di tengah blokade Belanda dan para sekutunya yang juga sedang mencengkeram negara-negara Arab.

Kedua, tokoh ini berjuang dengan cara-cara pada tingkat peradaban yang mengagumkan. AR Baswedan amat dekat dengan dunia kewartawanan, intelektual, dan kaum budayawan/seniman.

Dari cerita beberapa kawan dekat saya yang kebetulan secara fisik dan intelektual pernah bertemu dengannya, ia amat menghargai diskusi. Tanpa komplikasi dalam relasi tua-muda, interaksi antara beliau dengan sejumlah anak muda, aktivis mahasiswa, dan seniman yang usianya separuh darinya (bahkan sebagian sebaya dengan cucu-cucunya).

Sikap yang kelihatannya normal, bahkan standar ini tidak terlalu kaya tersedia di Indonesia. Termasuk di masa kini.

Ketiga; kesadaran, keyakinan, bahkan ketaatannya pada keragaman.

Secara politik, dan ideologi; enteng sekali ia berhimpun dengan berbagai tokoh PAI yang berhaluan kiri, kiri tengah, sampai kanan. Terbukti setelah dibubarkan, para elit PAI memilih 'jalan ideologis' masing-masing. Ada yang ke PSI, PNI, bahkan PKI; Baswedan senior sendiri berlabuh di Masyumi.

Secara etnisitas, teman-teman saya dan cuplikan catatan sejarah mengabarkan betapa beliau amat dicintai di Yogyakarta. Di 'kiblat' peradaban Jawa itu, pembawaannya sulit meyakinkan bahwa beliau lahir di Jawa Timur, keturunan Arab pula. AR Baswedan terlampau Yogya.

Secara keyakinan agama; terlalu banyak cerita yang saya dengarkan betapa beliau merawat perbedaan dan memeluk erat-erat keyakinan agamanya dalam satu tarikan nafas.

Saya kira, kepada tokoh yang hingga akhir hayatnya tidak memiliki rumah pribadi (yang didiaminya di Yogya konon bukan harta pribadinya), generasi belakangan, dari latar belakang apapun mereka berawal, patut menundukkan kepala atas dua soal; malu dan hormat.

Penulis adalah Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI [L1]

Nasionalisme Desentralistik


inilah.com

CELAH 11/08/2008 09:36

Nasionalisme Desentralistik

M Ichsan Loulembah

SEBULAN lalu, saya terlibat dalam sebuah diskusi di Megawati Institute. Di tengah para penggerak institusi riset pimpinan Arif Budimanta itu, hadir pula Taufik Kiemas, Lukman Hakim Saefuddin, dan Yudi Latif.

TK (panggilan akrab Taufik Kiemas), melontarkan pernyataan; perlunya sebuah Rumah Besar Kaum Nasionalis. Dalam rumah besar itu, terhimpun berbagai golongan, kelompok, aliran pemikiran politik, namun memiliki kesamaan ide besar: nasionalisme.

Menurut hemat saya, ide itu secara historis amat logis, dan secara politik menyatakan kerendahan hati, serta keinginan berbagi – sejarah, peran, cita-cita. Hal yang lumrah dalam politik.

Karena, sejarah nasionalisme kita sesungguhnya dimulai pada zaman kerajaan-kerajaan, tempo doeloe. Walaupun masih bersifat lokal, itulah modal awal nasionalisme kita. Sebuah proses terserak, namun memiliki keterkaitan inti; sebuah sikap tak rela terjajah, dan tak sudi direbut segala haknya.

Di zaman berikutnya, para elit (cendekiawan, saudagar, aktivis pergerakan, tokoh masyarakat, pemimpin agama) membawanya pada tingkatan di atas daerah, di atas sukubangsa. Bermodal pemikiran yang lebih mutakhir, inspirasi dari macam-macam bangsa; energi terserak itu disimpul dan direkatkan menjadi sebuah nasionalisme pada tingkat kebangsaan.

Nasionalisme pada saat kemerdekaan hingga limapuluhan tahun kepemimpinan Soekarno dan Soeharto, digunakan sebagai elemen utama penggerak pembangunan politik (Bung Karno) dan ekonomi (Pak Harto). Niat kedua pemimpin itu sederhana; berupaya mengefektifkan serta mengefisienkan manajemen pembangunan.

Tantangan kebangsaan yang belum matang serta keterpecahan ideologis yang tajam, membuat pilihan sejarah Bung Karno meringkas pola penyatuan politik secara keras pada hampir sekujur sejarah Orde Lama.

Pak Harto – dengan tantangan berbeda – juga tergoda untuk meringkus politik sebagai kelemahan semata. Seperti kita tahu; Orde Baru mengedepankan ide-ide ekonomi yang harus tumbuh, menaruh politik di tempat yang amat belakang. Jika tidak disebut nista.

Manajemen penyatuan politik Orde Lama dan efisiensi pembangunan ekonomi Orde Baru punya watak sama: sentralistik.

Mudah dipahami. Indonesia terbangun dalam corak amat beragam, wilayah yang luas, terpisah oleh pulau dan laut-laut dalam. Sulit untuk dikelola jika tidak melakukan sentralisasi di masa-masa pembentukan (formative period).

Selain punya efek positif (efisien dan efektif dalam manajemen politik dan ekonomi), pilihan Bung Karno dan Pak Harto menegasikan potensi energi lokal yang menjadi penyuplai utama nasionalisme di level bangsa pada masa belum merdeka. Pendapat yang muncul dari lokal tidak diletakkan sebagai kritik. Bahkan disimpulkan sebagai perlawanan dan gangguan semata.

Dinamika dalam interaksi ideologis partai-partai politik di masa-masa awal merdeka, dan relasi lokal-nasional yang tegang pada fase berikutnya, mulai menyurut.

Nasionalisme kini harus diletakkan dalam semangat desentralistik. Artinya, semangat nasionalisme justru harus didirikan dari kenyataan keragaman dan kekhasan lokal.

Kenyataan itu, sesuai derap sejarah, tidak lagi dinilai sebagai hal negatif. Semestinya diletakkan dalam bingkai positif sebagai sebuah kenyataan sejarah kita yang pluralistik dan berawal dari lokal.

Dari segi pembangunan politik dan ekonomi, nasionalisme yang berwajah desentralistik tidak membunuh keragaman, justru memanfaatkannnya sebagai energi pembangunan. Dengan demikian, segala rencana dan tindakan ekonomi-politik secara nasional mendapatkan topangan lokal yang kokoh.

Medan yang begitu luas, beragam, dan tingkat kesulitan yang tidak sederhana, justru membutuhkan energi terserak untuk dipusatkan menjadi sebuah kekuatan.

Menurut hemat saya, dengan skenario itulah nasionalisme kita bisa kuat, menghadapi tantangan dunia, secara bersama.

Penulis adalah Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI [L1]

20% Nan Menggiurkan


inilah.com

CELAH 28/08/2008 08:18

20% Nan Menggiurkan

M. Ichsan Loulembah

PIDATO Presiden Yudhoyono 15 Agustus 2008 (biasanya setiap 16 Agustus) di depan DPR menarik untuk diperhatikan. Hal terpenting adalah pelaksanaan perintah konstitusi tentang 20% anggaran pendidikan di APBN.

Mengapa secara politik penting?

Sebagaimana kita mafhum, hampir setiap tahun terjadi debat terkait belum teralokasikannya perintah UUD itu. Hingga sejumlah organisasi dan perorangan yang bergelut dengan pendidikan memenangkan judicial review di Mahkamah Konstitusi, 20% dipandang tak kunjung dilaksanakan hingga tahun anggaran 2008.

Pemerintah dan DPR punya argumen tak kalah kuat: sektor lain juga butuh anggaran pembangunan dan bukannya tak penting, proporsi 20% terlampau besar jika hanya diarahkan pada satu sektor saja.

Pendapat lain: anggaran pendidikan tidak hanya kepada kegiatan yang terkait langsung dengan ajar-mengajar. Membangun infrastruktur ke lokasi sekolah, ketersediaan air minum bagi masyarakat, dan peningkatan kesehatan masyarakat juga penting. Dan bisa ditafsirkan sebagai bagian dari peningkatan kualitas pendidikan secara menyeluruh.

Ada pula penilaian lain; daya serap serta daya dukung organisasi dan sumberdaya manusia institusi yang mengurusi (fokusnya pada Departemen Pendidikan Nasional) pendidikan masih lemah. Argumen ini memakai bukti, kurangya kreasi dan imajinasi jajaran intansi ini sehingga kualitas kebijakannya kurang kaya.

Sempat kita dengar buku-buku sekolah yang sebagian hanya mengganti judul plus sedikit merombak isinya. Ada pula skandal voucher pendidikan beberapa tahun silam.

Dana sekitar Rp244 triliun pada 2009 harus diserap/disiapkan untuk pendidikan. Dana ini menggembirakan, mengkhawatirkan, bahkan menggiurkan; dalam satu tarikan nafas.

Menggembirakan, karena kita amat tertinggal. Ukuran indeks pembangunan manusia (satu isu teramat penting yang rutin diukur oleh UNDP), kita tidak pernah naik kelas dari posisi 107 di antara 177 negara.

Padahal, selain kesehatan dan ekonomi, pendidikan adalah faktor pengerek jika kebijakan publik kita dinilai mementingkan aspek-aspek pemenuhan mendasar dari kemanusiaan.

Kegembiraan itu harus diikuti oleh kekhawatiran. Jika besarnya proporsi tersebut tidak diikuti oleh kreativitas, imajinasi dan aspek-aspek manajerial plus pengawasan, anggaran pendidikan besar akan diraup semata oleh peningkatan kuantitas. Volume diperbanyak, jumlah kegiatan digelembungkan.

Namun alpa pada hal-hal yang meningkatkan kualitas pelayanan dan kekayaan ragam aktivitas serta daya kreasi program-program terkait pendidikan yang seharusnya dibiayai. Bukan sekadar meninggikan jumlah kegiatan.

Menurut hemat saya, hal pokok yang mesti dilakukan adalah menyuntikkan semangat desentralisasi dalam pelaksanaannya. Bukan sebaliknya, menyuburkan sentralisasi.

Keterlibatan daerah dalam pelaksanaan program pendidikan dan penggunaan anggaran amat penting. Walau harus dikawal dengan amat ketat (karena korupsi di daerah sering berlomba dengan pusat), pelibatan daerah akan memudahkan pelaksanaannya. Sebab, karakter masalah pendidikan masing-masing daerah tidaklah tunggal.

Ada daerah yang membutuhkan bangunan sekolah baru, ada lagi yang sekadar memperbaiki, namun ada pula daerah yang lebih advanced kebutuhannya.

Terakhir, 20% dari APBN tentu menggiurkan. Membayangkan 10% saja dari total anggaran pendidikan itu termakan sebagai 'ongkos tidak formal', bisa kita bayangkan berapa besar yang akan diperebutkan para pihak?

Di sini, semata pendekatan proyek (project approach) harus diminimalkan. Jika tidak dapat dinihilkan.

Penulis adalah Anggota DPD RI [L1]

Monday, July 21, 2008

Pelajaran Kontes Idola


CELAH 21/07/2008 09:51

Pelajaran Kontes Idola

M Ichsan Loulembah

ARIS, Gisel, Patudu. Tiga nama yang beberapa bulan silam bukan apa-apa. Selain keluarga dan teman-temannya, tiga nama itu hanyalah remaja biasa di daerahnya masing-masing. Bakat mereka mencuat setelah kontes Indonesian Idol –yang secara berkala dilakukan tiap tahun– mereka ikuti.

Mereka melewati perjuangan panjang; berdesak-desakan dalam panas, antre mengambil formulir pendaftaran, mengikuti audisi lokal off-screen, hingga bisa tampil di layar televisi secara nasional.

Demikian halnya dengan Randi. Jejaka ini meninggalkan kampung halamannya yang sunyi di pinggiran Kota Palu, merambat pada posisinya sebagai satu-satunya laki-laki di antara lima besar kontes dangdut berjuluk KDI tahun ini.

Ada lagi Kiky. Anak laki-laki pasangan sederhana asal Manado ini mengalahkan Angel dalam kontes Idola Cilik. Si mungil dengan kualitas suara bertenaga dan kontrol laiknya penyanyi profesional ini memasuki industri popularitas yang dibangun oleh peradaban televisi.

Walaupun muncul sejumlah kritik atas komersialisasinya, kolom ini ingin memetik hal-hal berharga dari aneka kontes pencarian bakat yang akan dilambungkan menjadi idola itu.

Pertama; basis pencarian lebih meluas dibandingkan kegiatan serupa sebelumnya. Audisi menyelusup ke hampir semua kota, kontes-kontes ini memiliki kemauan besar menjaring sebanyak dan seluas mungkin potensi remaja Tanah Air. Walaupun ada pertimbangan komersial bagi stasiun televisi penyelenggara, upaya itu pantas dipuji.

Tidak bisa dianggap sepele, pretensi mereka bisa dipandang sebagai pengejawantahan desentralisasi dan pemanfaatan secara maksimal keluasan wilayah negeri ini.

Peluang bakat terpendam di daerah terpencil, sama dan sebangun dengan para remaja yang rumahnya hanya berjarak sepelemparan batu dari stasiun-stasiun televisi besar.

Kedua; dukungan atas para kandidat tidak di tangan segelintir ahli. Juri – para profesional di bidang itu – hanya bertindak selaku pengamat ahli atau komentator. Nasib para kontestan sangat ditentukan oleh pilihan rakyat, eh, pemirsa. Ujungnya, legitimasi atas hasilnya lebih memadai.

Ini pun jauh lebih baik jika kita membandingkannya dengan kontes-kontes di masa lalu; keputusan sepenuh-penuhnya di tangan para ahli, yang menimbulkan protes pendukung kontestan yang kalah, sesekali.

Jika ada sedikit kritik, hanya pada soal teknis. Seyogianya setiap nomor telepon selular (CDMA ataupun GSM) hanya bisa mengirimkan pesan pendek (SMS) dukungan sekali saja. Bukan berkali-kali seperti sekarang.

Ketiga; sportivitas atau dalam kalimat panjang: siap menang, siap kalah. Mari kita ingat adegan demi adegannya. Saat penentuan pemenang pada pergelaran puncak, atau siapa yang gugur, wajah kesemua kontestan tetap sumringah.

Sedih, tentu, tak dapat dihilangkan. Tapi, kesedihan itu terbagi pula pada kandidat yang justru menang. Bahkan, ekspresi kemenangan justru dibalut sedikit penyesalan, duka, sambil tetap menyajikan rekatan persahabatan yang kuat.

Yang kalah, selain tetap sedih, menonjolkan kepala tegak. Yang menang, jauh dari sikap mentang-mentang. Tangan persaudaran mereka justru erat terbentang.

Seandainya kita bisa meluaskan kenyataan-kenyataan kecil ini dalam skala dan bidang yang lebih luas semisal dalam rekrutmen politik, profesional di sektor swasta, termasuk promosi pegawai negeri sipil, polisi, dan tentara.

Meluaskan basis rekrutmen, memperbesar kemungkinan munculnya figur-figur terbaik. Selain itu, dukungan publik karena logika keprestasian (merrit system) akan kokoh.

Dan, terpenting, keragaman sumber daya sosial, budaya, etnisitas, segmen masyarakat, stratifikasi sosial, bukan jadi hambatan. Sebalikknya, justru dilihat sebagai potensi, kekayaan, dan peluang bagi bangsa untuk kemajuan.

* Penulis adalah Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI

"Desentralisasi" BUMN


CELAH 07/07/2008 11:36

"Desentralisasi" BUMN

M. Ichsan Loulembah

INILAH.COM, Jakarta - Sekian tahun silam, praktisi bisnis Ignasius Jonan, menulis artikel berjudul Melihat BUMN dari Sisi Lain; Memindahkan Kantor Pusat ke Daerah demi Pemerataan (Kompas, 08/07/2005). Kolom itu sangat inspiratif, penting untuk dinukil kembali.

Inti artikel itu: mengikhtiarkan upaya pemerataan pembangunan yang berjalan lambat dengan langkah terobosan. Salah satu yang dipersoalkan Jonan adalah kenyataan di mana sebagian besar dana masyarakat dan kucuran kredit secara nasional masih tersentralisasi di Jakarta.

Juga, hampir 80% perolehan pajak nasional diperoleh dari kegiatan usaha di Jakarta. Perlu sebuah proyek besar desentralisasi ekonomi.

Berbagai negara memang secara alamiah, maupun terencana, melakukan grouping (atau regrouping) dan memilih cara-cara cluster dalam kegiatan bisnis dan industrinya.

Walau bukan dalam kerangka state owned companies, sejumlah perusahaan yang dimiliki swasta 'terpaksa' menempatkan (atau memulai) bisnisnya di lokasi (daerah/negara bagian) tertentu mengikuti sejarah industri dan akibat kebijakan pemerintah.

Amerika Serikat, misalnya. Bisnis perbankan, keuangan dan pasar modal raksasa banyak berkutat di Boston, Chicago dan New York. Texas dikenal sebagai daerah pertambangan. Silicon Valley menjadi kiblat sektor teknologi informasi. Industri hiburan dan perjudian pun terkonsentrasi hanya ke beberapa wilayah (Los Angeles dan Las Vegas).

Kita amat berbeda. Jakarta - belakangan Surabaya - terlalu kuat, baik dari peredaran uang dan modal, maupun pusat pengendalian bermacam sektor ekonomi. Berbagai daerah bernasib sial, hanya ketempatan tempat produksi saja.

Padahal, jika kantor-kantor pusat berbagai perusahaan didekatkan dengan sentra produksinya akan lebih efisien dan efektif dari berbagai segi.

Karena, sekitar 160 badan usaha milik negara (BUMN) sahamnya masih dikuasai pemerintah, sentuhan kekuasaan politik bisa diberlakukan dalam pengelolaannya.

Di antara yang diusulkan kolom Jonan adalah memindahkan kantor-kantor pusat BUMN – terutama yang punya basis produksi serta kegiatan usahanya terkait dengan daerah – agar dipindahkan ke berbagai daerah.

Salah satu yang penting; Bank Mandiri, BNI, BRI, BTN, dan Bank Ekspor Indonesia (BEI) yang sahamnya dimiliki negara dipindahkan kantor pusatnya ke berbagai wilayah/pulau secara merata dan tertata. Tentu saja pemilihannya berdasarkan karakter usaha bank itu serta kekhasan wilayah setempat.

Karena, secara umum, 52% dari Rp951 triliun dana masyarakat di bank umum tersentralisasi di Jakarta. Sebanyak 36% dari Rp549 triliun kucuran kredit nasional. Artinya, hanya 48% dana masyarakat terbagi untuk 29 provinsi lainnya.

Menurut hemat saya, usul ini amat penting diperhatikan. Pertama, Jakarta - dan belakangan Surabaya menyusul - telah semakin padat, baik dari segi kepadatan properti yang menjulang, terlampau panas dari segi peredaran uang.

Ini tidak sehat, bukan saja dari segi ekonomi,namun yang lebih penting secara sosial-politik, dalam jangka panjang. Juga akan membangkitkan berbagai sektor penyertanya.

Kedua, upaya pemindahan berbagai kantor pusat BUMN itu juga memberi keseimbangan baru atas 'terserapnya' berbagai 'jagoan daerah' sektor swasta ke Jakarta. Sampoerna, Djarum, Gudang Garam, misalnya. Walau industri rokok mereka tetap berada di daerah asal, namun kini mereka merambah ke berbagai sektor - perbankan, properti, misalnya - di Jakarta. Begitu juga nama-nama besar di sektor lainnya.

Berbagai pemain utama swasta kini, dulunya adalah pengusaha daerah. Baik itu karena generasi pertama pendiri kelompok usaha mereka berawal di daerah meraka. Sebut saja keluarga Kalla, Bakrie, Salim, Eka Tjipta, dsb.

Mengapa mereka ke Jakarta. Jawabannya gampang; pertumbuhan aneka sektor terlampau laju, peredaran uang amat besar, berbagai keputusan politik di bidang ekonomi belum sepenuhnya bernafas desentralistik yang berimplikasi pada persebaran ekonomi di berbagai daerah.

Penulis adalah Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI. [L1]

Monday, June 30, 2008

Individualitas Sepakbola


CELAH 23/06/2008 16:03

Individualitas Sepakbola

M. Ichsan Loulembah

SERING terdengar pertanyaan, "masak dari 200-an juta penduduk, kita tidak bisa menciptakan satu kesebelasan yang tangguh?"

Menurut hemat saya, ada yang salah saat kita memandang sepakbola. Seakan, sepakbola berintikan orang-orang yang dengan mudah diturunkan tingkat kolektivitasnya dari level bangsa, komunitas, daerah, suku, keluarga, menjadi sebelas orang pemain.

Logikanya, negara-negara dengan jumlah penduduknya padat, lebih mudah membentuk kesebelasan tangguh. Sebaliknya, negara-negara dengan jumlah penduduknya sedikit akan jarang merajai laga antarbangsa.

Hampir tidak ada pola baku melihat hubungan antara jumlah penduduk, besar wilayah, dan kemajuan sepakbola suatu bangsa. Negara-negara Skandinavia memiliki tim yang tak dapat diremehkan. Padahal penduduk mereka tak terlalu besar. Pun demikian negeri-negeri di Amerika Selatan.

Di lain pihak, negara-negara berpenduduk besar – Cina, India, Indonesia, dan Amerika Serikat – belum termasuk tim yang menjadi favorit di laga-laga berkelas dunia.

Pada sisi lain, sepakbola juga tidak berhubungan dengan tingkat kemajuan ekonomi. Bahkan, lebih sering terjadi hal kontras dalam sejarah persepakbolaan dunia.

Negara-negara dengan sistem modern – ekonomi, sosial, demokrasi – yang matang hampir dipastikan memiliki kesebelasan tangguh. Juga dapat dilihat dari negeri-negeri dengan sejarah peradaban panjang. Iran, Irak, Jepang, Yunani, Italia, Prancis, Inggris, Mexico, misalnya.

Namun, negara-negara miskin – sebagian bahkan minim demokrasi – juga bisa melahirkan kesebelasan kuat. Negara-negara di benua Afrika dan Amerika Latin, contohnya.

Melihat kasus-kasus tersebut, inti dari sepakbola adalah individualitas. Bukan kolektivitas. Gabungan individu-individu yang tangguhlah yang bisa membangun sebuah tim yang tangguh.

Walau dimainkan oleh satu kelompok orang – pemain inti 11 orang tambah sekian pemain cadangan – sepakbola sejatinya permainan yang mengandalkan ketrampilan, kemampuan, dan ketangguhan individual.

Dengan motif berbeda, setiap anak manusia, di tengah kesulitan dan kelebihan komunitasnya masing-masing; memiliki motif berbeda untuk maju dalam hal sepakbola.

Seorang anak miskin di Amerika Latin atau Afrika, tidak memiliki jalan yang banyak untuk keluar dari impitan ekonomi dan deraan hidup, keculai sepakbola.

Bagi anak-anak Eropa (Barat), Korea, dan Jepang, sepakbola dapat mewujudkan cita-citanya menjadi termasyhur, mengarungi pergaulan internasional. Termasuk menjadi faktor inti dalam industri sepakbola dan menyumbang secara signifikan pada perputaran uang skala besar di jantung kapitalisme mondial.

Secara umum, seorang individu semisal Didier Drogba, Samuel Eto’o, Khalid Boulahrouz, Thiery Henry, Robinho, Christiano Ronaldo, Ruud van Nistelrooy, Michael Ballack, Park Ji Sung, dan lainnya, bukan sekadar atlet. Mereka melompat dari pemain di kampung menjadi aktor peradaban global.

Mereka bisa memasuki panggung dunia, menjadi duta bangsa, mempromosikan negara. Selain menjadi kaya yang langsung berimpilikasi pada kemakmuran dirinya, dan keluarga, bahkan masyarakat di sekitarnya.

Jika olahraga perseorangan – golf, tenis, catur, tinju, balap (motor, mobil, sepeda), misalnya – hanya memerlukan ketrampilan, kemampuan teknis, serta ketangguhan semangat juang atlet tersebut, sendirian. Pada sepakbola, segenap kemampuan perseorangan masing-masing individu, diramu dengan kesediaan kerjasama, dan dipayungi oleh strategi serta pola yang dibangun secara kolektif oleh pelatih atau manajer tim.

Tradisi setiap bangsa yang mampu membangun secara konseptual sebuah kesebelasan berbeda satu sama lain. Ketersediaan sumberdaya kebudayaan dan tradisi masing-masing bangsa, ditangan individu – pelatih atau konseptor strategi persepakbolaan – dalam berbagai kasus, bisa menjadi energi maksimal.

Kembali ke pokok soal kita; bagaimana menemukan calon-calon aktor peradaban tersebut di negeri kita? Bagaimana menggelorakan individualitas mereka? Bagaimana menemukan konsep sepakbola yang akurat?

Penulis adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah RI

Belajar dari van der Sar


www.inilah.com

CELAH 11/06/2008 11:07

Belajar dari van der Sar

M. Ichsan Loulembah

SETELAH menyelesaikan pertandingan Selasa dinihari (10/6), kesebelasan Belanda seperti telah menyelesaikan separuh tugas di Piala Eropa 2008.

Menekuk 3-0 juara dunia Italia, bukan soal sepele. Tidak pula sekadar soal kuantitatif perolehan gol. Lebih. Kemenangan tersebut seakan melepaskan beban 30 tahun selalu terkalahkan menghadapi tim Azzuri. Italia seakan kutukan bagi Belanda, selain Jerman (Barat).

Ke atas lagi, seakan catenaccio Italia hampir diyakini para pengamat sebagai antitesis total football Belanda. Mungkin, tersingkir di babak II pun kelak, Belanda tidak peduli.

Memang tim manager Marco van Basten pernah menjanjikan – saat menerima tampuk kepelatihan 4 tahun lalu – ia mengejar target 4 tahun kemudian. Memang, 2 tahun sebagai pelatih, berintikan pemain debutan baru, Belanda di tangan van Basten ibarat pasukan yang baru terusir dari koloninya.

Setelah ditangani para pelatih Frank Rijkaard, Louis van Gaal, hingga Dick Advocaat pada periode 1998-2004, Tim Oranye tidak lolos untuk masuk putaran final Piala Dunia 2002. Van Basten hanya bisa mengangkatnya sampai babak II Piala Dunia 2006.

Padahal tim ini pernah runner up dua kali Piala Dunia. Pertandingan final mereka melawan Jerman Barat di tahun 1974 dan menghadapi Argentina di 1978, nyaris jadi tontonan klasik.

Keunikan lain tim ini, tidak sekali mereka memiliki pemain bersaudara – minimal nama keluarganya sama. Ada abang-adik Rene dan Willy van de Kerkhof di tahun 70-an. Paruh 80-an mereka punya Rob dan Richard Witschge. 1990-an ada Frank dan Ronald de Boer.

Kembali ke pertandingan Italia-Belanda tersebut. Selain Marco van Basten, pelatih dan manajer tim, kiper cum kapten kesebelasan Erwin van der Sar kunci kemenangan tersebut. Apa pula istimewanya jangkung kelahiran 29 Oktober 1970 ini?

Belanda pernah memiliki kiper legendaris Jan Jongbloed; mengawal jala tahun 1962 hingga 70-an. Di 80-an, ada Hans van Breukelen berwajah bintang film. Mereka pernah pula menjadi kapten, sekaligus pemain tertua di kesebelasannya.

Dunia pun pernah mengenal para legenda penjaga gawang: Lev Yashin, Dino Zoff, Jan Tomaszweski, Ramon Quiroga, Peter Shilton, Sepp Maier, dan sebagainya.

Menurut hemat saya, kelebihan van der Sar, pertama; kemampuan teknisnya yang tidak sekadar rata-rata. Kredibilitas dan penghormatan rekan-rekannya di lapangan, pertama kali pasti datang dari pengakuan mereka atas kerja keras dan kemampuan teknis van der Sar yang tak sekadar rata-rata.

Bukan hanya pada pertandingan historis dengan Italia itu saja. Saat bersama Ajax, Fulham, Juventus, dan Manchester United, juga bisa terlihat. Final Liga Champions Eropa sebulan lalu, van der Sar kunci kemenangan dramatis MU lewat adu penalti melawan Chelsea.

Kedua; ketenangannya dalam segala situasi. Tetap awas walau timnya sedang merangsek pertahanan lawan. Tidak panik saat lawan datang menggempur.

Ketiga; proporsionalitas. Dia tidak terlihat berlebihan jika berhasil melakukan sebuah penyelamatan gawangnya. Juga tidak terlampau terlihat down jika gawangnya bobol.

Keempat; kepercayaan dirinya yang memadai. Sebagai leader, ia mafhum, sebuah pertandingan dimenangkan justru saat terbangun keyakinan bahwa kita bisa melakukannya. Namun tidak meloncat menjadi jumawa.

Terakhir; rileks dan spontan. Setiap gol tercipta di gawang lawan, Erwin van der Sar akan kegirangan. Seusai pertandingan ia akan menyalami, merangkul, menepuk bahu, memegang pipi atau kepala kawan ataupun lawannya. Mudah dibaca: ia tulus.

Pada sektor, profesi, dan tingkatan apa pun; kita bisa belajar dari van der Sar.

Penulis adalah Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI

Sunday, June 8, 2008

Drama Indonesia


www.inilah.com

CELAH 04/06/2008 17:08

Drama Indonesia

M Ichsan Loulembah


Drama 1 (lokasi: Monumen Nasional, Jakarta)

Minggu (01/06/08), sekelompok orang mengejar kelompok lain. Kemarahan nampak di wajah penyerang. Takut, pucat pasi, kelompok yang diserang mengerang, tunggang-langgang.

Penyerang dan yang mengerang memakai warna putih dominan. Dada dan punggung penyerang tertera tulisan Front Pembela Islam (FPI). Yang mengerang memakai nama Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB).

Jurnalis senior Doktor Muhammad Syafii Anwar, intelektual Ahmad Suaedy, aktivis Muhammad Guntur Romli, dan sejumlah korban lain dirawat di berbagai rumah sakit.


Drama 2 (lokasi: berbagai tempat di Jakarta)

Minggu (01/06/08), malam, televisi menyiarkan pernyataan berbagai tokoh. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sedianya akan hadir di Lapangan Monas mengeluarkan kecaman.

Eseis Goenawan Mohamad, salah satu yang hadir namun tidak terkena kekerasan, menjelaskan rangkaian peristiwa sambil mengeluarkan penyesalan.

Kepala Kepolisian Resor Jakarta Pusat menyampaikan pernyataan, aksi di Monas tidak berkoordinasi dengan mereka.

Politisi muda yang juga Koordinator Bidang Keagamaan DPP Partai Golkar Nusron Wahid menyampaikan kecaman dalam running text di Metro TV.


Drama 3 (lokasi: berbagai kantor pemerintah)

Senin (02/06/08), di kantor Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Presiden Yudhoyono muncul di layar. Berbalut jas gelap plus dasi berwarna lembut, menyampaikan pernyataan pertama pemerintah. Sambil menahan geram, Presiden mengecam aksi kekerasan itu. Wakil Presiden Kalla, tenang namun terus terang, menyatakan bahwa demonstrasi adalah bagian dari demokrasi, anarkisme bukan.

Di kantor Kepolisian RI, sejumlah tokoh mengadu ke Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI, Komjen Polisi Bambang Hendarso Danuri. Satu-dua politisi memberikan pernyataan mengecam.


Drama 4 (lokasi: Cirebon, Jawa Barat).

Senin (02/06/08), malam, sejumlah massa dari keluarga besar dan kaum muda Nahdlatul Ulama, yang marah atas terlukanya Kiai Maman Imanulhaq, kiai asal daerah itu, merobohkan papan nama FPI.

Tergolek di ranjang rumah sakit berbalut perban, Kiai Maman mengimbau para pengikut dan simpatisannya tidak berlaku anarki, menjauhi main hakim/polisi sendiri.


Drama 5 (lokasi: Petamburan, Jakarta Barat)

Senin (02/06/08), malam, sejumlah tokoh FPI, Laskar pembela Islam dan Komando Laskar Islam, dipimpin Habib Rizieq Shihab memberikan keterangan pers. Di sejumlah media tersiar pernyataan bernada ultimatum dari Sekretaris jenderal Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor), Malik Haramain, jika pemerintah tidak menyelesaikan, GP Ansor dan segenap elemennya akan melakukan sendiri.


Drama 6 (lokasi: Markas Besar Kepolisian RI)

Selasa (03/06/08), siang, pimpinan FPI beserta para anggota, dan penasihat hukumnya, memberikan setumpuk dokumen disertai pelaporan atas tindakan yang dianggap melanggar hukum para tokoh demonstrasi di Monas.

Habib Rizieq Shihab memegang sebuah lembaran berisi nama-nama yang beriklan di berbagai media nasional. Ia menyebut antara lain Abdurrahman Wahid, Goenawan Mohamad dan Adnan Buyung Nasution sebagai aktor di balik terjadinya insiden Monas.

Politisi yang mengeluarkan kecaman makin banyak, dan meluas ke tokoh-tokoh masyarakat lainnya.


Drama 7 (lokasi: Jember, Jawa Timur)

Selasa (03/06/08), malam, Habib Abubakar, setelah berdialog dengan tokoh-tokoh Garda Bangsa PKB dan Barisan Serbaguna (Banser) Ansor NU, membubarkan FPI Kabupaten Jember secara sukarela. Sembari memohon maaf kepada masyarakat Indonesia, khususnya para korban insiden Monas, juga kepada Gus Dur.

Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi, meminta agar NU tidak dibawa-bawa dalam soal itu. Ia juga menyesalkan pemakaian nama NU secara konotatif dalam demonstrasi AKKB di Monas.


Drama 8 (lokasi: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur)

Selasa (03/06/08), malam, markas-markas FPI di Jawa didatangi keluarga besar NU dan PKB agar FPI dibubarkan.

Kapolda Meto Jaya Inspektur Jenderal Polisi Adang Firman mengeluarkan ultimatum agar FPI menyerahkan sejumlah nama yang dianggap terlibat tindak kekerasan.

Di Parung, Bogor, Habib Assegaf, pimpinan pesantren Al Ashriyyah Nurul Iman, penuh wibawa menyiapkan barisan rapi ribuan laskar untuk membentengi Gus Dur, NU dan PKB.


Drama 9 (lokasi: Petamburan, Jakarta Barat)

Rabu (04/06/08), pagi, sekitar 56-58 aktivis FPI dicokok petugas. Sekitar 1.500-2.000 polisi berderap memasuki Jalan Petamburan III. Berbeda dengan perkiraan banyak pihak, pengangkapan itu berlangsung mulus. Tak satupun letusan menyapu kesenyapan pagi itu.

Entahlah, itu klimaks atau antiklimaks? Entahlah, itu panggung Indonesia yang sebenarnya, atau hanya fatamorgana? Entahlah, apakah mereka patut menjadi musuh di antara sesama? Entahlah, apakah kita, bangsa yang besar ini, sudah tepat merumuskan musuh yang sebenarnya.

Layar Indonesia ditutup. Untuk sementara.

Penulis adalah Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI

Thursday, June 5, 2008

Nyali Bang Ali


www.inilah.com

CELAH 27/05/2008 19:22

Nyali Bang Ali

M Ichsan Loulembah

SELAIN para bintara, tamtama, dan perwira itu – kebanyakan dari Korps Marinir Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut berbalut pakaian dinas upacara lengkap (PDUL) – nampak puluhan tokoh dan ribuan anggota masyarakat.

Itulah pemandangan saat mobil saya perlahan melewati tempat pemakaman umum itu.

Mereka memberi penghormatan terakhir pada almarhum Letnan Jenderal Purnawirawan (Marinir) Ali Sadikin. Bang Ali, sebutannya setelah menjadi Gubernur DKI Jakarta pada 1966-1977, wafat di Singapura pada 20 Mei 2008.

Bang Ali memang Tokoh; dengan T besar. Takdirnya pun mengantarkan ia wafat di hari Kebangkitan Nasional.

Konsistensi pemikiran dan sikap kerakyatannya terjaga hingga ke tempat pemakaman, di Tanah Kusir. Jasadnya dimakamkan di liang yang sama dengan Nani Sadikin, istri pertamanya. Dekat dengan rakyat yang pernah dipimpinnya. Konsisten dengan seruannya saat menjadi gubernur; lahan Jakarta sempit.

Seruan kebajikan sering keluar dari deretan tokoh. Baik di masa lalu, maupun kini. Namun, minim yang mau melaksanakan ungkapan retorik mereka sendiri. Ibarat seruan hanya bagi khalayak ramai, tabu diberlakukan bagi mereka yang menggenggam privilese sosial. Bang Ali berbeda.

Pada hari-hari pertama masa pemerintahannya – dilantik usia 39 tahun – putra Sumedang ini bergabung peluh dengan masyarakat dalam bus kota untuk menanyai dan merasakan problem transportasi umum.

Purnawirawan marinir – dulu KKO – ini memang gubernur yang keras, dan disiplin. Namun, walau diangkat oleh Bung Karno – yang sering menyebutnya koppig (keras kepala) – dia menjalani kepemimpinan justru paling lama di zaman Pak Harto.

Ini menjelaskan dengan mudah bahwa, menjadi pemimpin yang bisa bertahan dalam segala cuaca politik tidak harus menjilat. Juga tidak perlu menyesuaikan dengan ritme atasan atau ABS. Sikap yang makin jarang kita saksikan.

Bang Ali juga pemimpin paripurna. Memang ia membangun sarana transportasi; pernah mengadakan 500 bus kota, membangun jalan yang dulu penuh lubang menganga. Ia juga merapikan kampung-kampung Jakarta dengan proyek Muhammad Husni Thamrin yang diganjar penghargaan internasional Aga Khan Award.

Bukan cuma dalam bidang fisik. Di era kepemimpinannya juga dibangun Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki. Di dalamnya ada ruang bagi berkesenian, lahir sekolah kesenian (LPKJ, lalu berubah menjadi IKJ), juga planetarium.

Untuk kaum muda, ia memerintahkan pembangunan Gelanggang Remaja bagi aktivitas kesenian dan olahraga di lima daerah Jakarta yang hingga kini masih berdiri.

Visinya lengkap. Perhatiannya tidak semata pada sektor pemerintahan. Jauh sebelum gerakan masyarakat menjadi trend, ia menyokong proyek aneh waktu itu; mendirikan lembaga yang mengurusi keadilan masyarakat yakni Lembaga Bantuan Hukum (LBH).

Masih dalam konteks mengimbangi kekuasaan pemerintah, ia memerintahkan Ciputra – pengusaha kelahiran Parigi, Sulawesi Tengah – yang memimpin PT Pembangunan Jaya membantu sejumlah jurnalis muda menerbitkan majalah Tempo.

LBH dan Tempo, bukan belakangan hari, namun di awal kegiatannya justru banyak mengritik proses pembangunan Jakarta, terarah pada implikasi dan kelemahan-kelemahannya di lapangan.

Menurut hemat saya, hampir tidak mungkin kita mendapati pemimpin mau menciptakan institusi ibarat ”senjata” yang juga menembak dirinya sendiri.

Dan paling mengejutkan, keberaniannya berdebat dengan kalangan ulama yang memprotes perjudian. Padahal masa itu judi dilegalkan. Namun jarang ada yang berani menyentuhnya. Selain takut berhadapan dengan tokoh agama, para pejabat juga takut tidak populer.

Tentu saja Bang Ali tetap menghormati para ulama. Namun ia tulus, membangun infrastruktur bagi masyarakat. Sekaligus realistis karena anggaran pemerintah memang tak ada. Sentuhannya pada pembangunan Jakarta tetap terasa.

Belajar dari almarhum; selain gagasan strategis, ia juga punya keyakinan dan nyali. Untuk bangkit, negeri ini membutuhkan pemimpin dengan nyali Bang Ali.

Penulis adalah Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI [L1]

Batik Gates


www.inilah.com

CELAH 14/05/2008 22:23

Batik Gates

M. Ichsan Loulembah

LELAKI itu tidak selesai kuliah. Waktu muda tubuhnya kerempeng, dan ringkih. Kini pengaruhnya amat besar bagi dunia. Namanya sering menempati urutan teratas orang terkaya di dunia. Paling sial dia berada di urutan ketiga.

Bill Gates, Chairman Microsoft Corp, datang memberikan ceramah yang diminati banyak segmen di masyarakat. Bukan untuk menjelaskan mengapa perusahaannya terus berupaya 'menelan' icon dunia internet seperti Hotmail dan Yahoo! yang masih jadi pembicaraan.

Jumat itu (09/05/08), Gates datang untuk sebuah pemaparan tentang masa depan internet dan manfaatnya bagi sebuah komunitas, pengelolaan negara, bangsa, bahkan dunia. Namun, bukan itu yang menjadi fokus artikel pendek ini.

Pakaian yang membalut tubuh pria berkacamata itu yang justru menarik perhatian saya. Bill Gates memakai batik!

Wajah seriusnya nampak padu dengan pilihan batik bercorak padat. Pemakaian batik itu ternyata inisiatif para pengurus Kamar Dagang dan Industri (KADIN). Sebuah tindakan yang penting, strategis, dan sadar pemasaran.

Peristiwa Gates berbatik dapat dilihat dari beberapa sudut. Pertama; walaupun
pernah juga digunakan para pemimpin APEC beberapa tahun lalu, Gates tetaplah icon penting. Bahkan jauh melampaui pengaruh para pemimpin formal tersebut.

Dia diperhatikan, bahkan menjadi teladan segala usia. Sehingga foto salah satu figur penting di sektor teknologi informasi ini segera terpampang di dunia maya. Dan akan mengalami reproduksi berlipat-lipat.

Kedua; karena backbone generasi internet adalah anak muda, tentu sebuah
kampanye yang menarik. Para praktisi pemasaran tentu amat mafhum bahwa anak muda adalah segmen pasar yang sangat atraktif, dan dinamis.

Bukan itu saja, selain terus bertumbuh, anak muda sering menjadi penentu kecenderungan. Bahkan bagi pasar dewasa sekalipun.

Gates, menambah deretan pesohor dunia, setelah Nelson Mandela dan batiknya. Walau berkarakter beda, keduanya pesohor dengan pengagum melintasi batas apapun.

Ketiga; seharusnya momentum 'Gates' pakai batik tidak lewat begitu saja seperti pemimpin APEC dan Mandela pakai batik, tempo hari. Justru harus dijadikan sebuah momentum untuk gerakan yang lebih besar. Sebuah gerakan pemasaran atau promosi perdagangan internasional.

Pemerintah - dalam hal ini kementerian perdagangan - merumuskan sebuah proyek pemasaran dengan cara yang tidak biasa. Karena selama ini cara berpromosi kita terlampau biasa; pameran, eksibisi, pertunjukan, dengan tulang punggung pelaksana para staf KBRI plus birokrat Departemen Perdagangan.

Keempat; walaupun memiliki banyak kekayaan budaya yang dapat dijadikan komoditas, batik paling layak dijadikan prioritas. Karena sebagai busana, batik bisa menjadi produk massal. Juga mewakili keragaman corak berdasarkan etnisitas bangsa kita.

Bayangkan, pemakaian batik sekarang jauh lebih meriah dan massal dibanding satu dekade yang lalu. Ada lagi bedanya; dulu lebih sering dipakai pada acara formal, sebagian bahkan 'setengah kewajiban'.

Kini, batik secara sukarela menjadi bagian dari mode segala lapisan ekonomi, sosial, dan usia. Bahkan kafe dan diskotik pun tak kuasa menahan laju batik.

Sudah waktunya batik dipakai oleh semua pejabat dan birokrat pada garis depan pergaulan dunia. Mulai dari para diplomat kita diberbagai belahan bumi.

Sampai utusan resmi kenegaraan pada setiap agenda bilateral, multilateral, perundingan politik, negosiasi dagang, dan konferensi penyelamatan lingkungan.

Bangsa-bangsa lain, jamak melakukannya. Utusan resmi India, Pakistan, bahkan Filipina, apalagi negara-negara Afrika, kerap menggunakan busana nasional di setiap forum internasional yang mereka ikuti.

Selagi menuntaskan kolom ini, mata saya tertumbuk pada dua gambar. Yang satu memuat foto Bill Gates berbalut batik bercorak pisang Bali. Satunya lagi memuat tampang Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik tersenyum lebar dengan jas lengkap dalam iklan Visit Indonesia Year 2008.

Penulis adalah Anggota Dewan Perwakilan Daerah [L1]

Saturday, May 10, 2008

Tol Bobol


www.inilah.com

CELAH

08/05/2008 16:17 WIB

Tol Bobol

M. Ichsan Loulembah


SELAMA dua hari ini, berbagai media menyiarkan gambar yang baru tapi lama. Baru, karena peristiwanya memang berlangsung sekarang. Lama, karena gambar seperti itu kita lihat berulang selama bertahun-tahun.

Gambar dan peristiwa dimaksud adalah beberapa mobil sedang berupaya lolos dari 'sungai' jelmaan jalan tol. Dan jalan tol dimaksud adalah penghubung utama menuju bandar udara internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng, gerbang penting masuk-keluar negeri ini.

Peristiwa ini tentu tidak bisa dianggap sepele. Walaupun mungkin bagi sebagian kita, seperti peristiwa rutin. Bahkan membuat kita seperti imun, laiknya menunggu datangnya musim duku atau rambutan.

Pertama, bandar udara Soekarno-Hatta terletak di ibukota negara. Bandara ini – selain pintu masuk utama negeri ini – juga harus dilihat sebagai etalase penting yang menunjukkan wajah kita di dunia internasional.

Bayangkan, bukan pertama kali jalan tol tersebut terendam banjir. Bahkan, sejak akhir tahun 90-an akses penting tersebut sering terendam air sampai ketinggian yang bisa menelan mobil jenis sedan.

Kedua, setiap kita menuju bandara, acap kali terlihat aktivitas yang menunjukkan sedang terjadi perbaikan di sebagian ruas jalan tersebut. Pertanyaannya, apa gerangan yang diperbaiki selama ini jikalau hujan sejenak saja mampu mengubah fungsi jalan tersebut menjadi sungai baru?

Apakah cara khas kita mengatasi masalah, yakni secara tambal sulam, masih gemar kita lakukan? Apakah cara pandang kita yang jangka pendek masih berlaku? Apakah pendekatan sektoral juga terjadi dalam penanganan problem krusial ini?

Apakah project approach terus menerus diberlakukan dalam menyelesaikan masalah yang sebenarnya harus diselesaikan secara terintegrasi?

Masih banyak pertanyaan yang layak dan mudah diluncurkan, karena soal yang sebenarnya terang benderang. Menurut hemat saya, sudah saatnya segenap otoritas terkait memikirkan dan menyelesaikan masalah tersebut bukan sebagai soal biasa, atau nomal. Apalagi masalah yang dianggap sepele.

Mulai dari menghilangkan ego sektoral, sampai peluang cuci-tangan atau bersembunyi sambil melemparkan tanggung jawab kepada satu instansi saja.

Pemerintah daerah – dalam hal ini DKI Jakarta dan Banten — harus mengambil inisiatif, duduk bersama mencari pangkal masalah. Karena banjir di jalan tol menuju bandara, harus dilihat sebagai masalah hilir, yang hulunya harus ditelusuri secara seksama. Sekaranglah waktu nya semboyan kampanye pilkada dulu untuk dibuktikan.

Sebab, soal ini bukan pula disebabkan satu faktor saja; misalnya sekadar ketinggian jalan tol yang terus dinaikkan karena dipandang rendah. Jika itu, bukankah ruas jalan tol rawan banjir tersebut sudah ditinggikan berkali-kali? Mengapa tidak menelusuri kemungkinan posisi jalan tol tersebut menjadi lebih rendah dari permukaan laut?

Departemen Pekerjaan Umum, dalam hal ini yang bertanggung jawab atas semua jenis infrastruktur dari Sabang-Merauke, sebaliknya tidak pula pasif. Justru, kementerian inilah yang harus tampil sebagai inisiator dan leading sector untuk mengatasi problem – yang memang menjadi tanggungjawab pokoknya. Karena untuk itulah departemen itu diadakan, bukan?

Yang juga tak kalah penting adalah peran operator jalan tol. Pada situasi seperti ini ia harus membuktikan sebagai institusi yang tidak hanya rajin dan lantang saat menaikkan tarif. Namun terdengar sayup saat pelayanannya menurun. Agar bobolnya tol di lokasi yang teramat penting, bukan lagi menjadi kegentingan yang berulang.

Penulis adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah RI

Saturday, May 3, 2008

Artis Politik


www.inilah.com

CELAH

30/04/2008 18:45 WIB

Artis Politik

M. Ichsan Loulembah

RANO Karno terpilih sebagai wakil bupati Tangerang, Banten. Dede Yusuf menjadi Wakil Gubernur Jawa Barat. Marissa Haque gagal dalam perjalanannya menjadi wakil gubernur Banten. Saiful Jamil ingin jadi wakil walikota Serang.

Paragraf itu bisa dibaca dengan banyak makna. Pertama; kemeriahan proses demokrasi makin semarak dan berwarna. Kehadiran para pesohor (celebrities) dari dunia seni dan hiburan menyuntikkan nuansa baru di panggung politik Indonesia. Walaupun sebenarnya, bukan hal baru.

Dalam sejarah keparlemenan kita pernah ada beberapa nama yang berkiprah. Di antara sedikit nama, kita tentu ingat aktor Sophan Sophiaan - satu nama yang menonjol hampir dua dekade di Dewan Perwakilan Rakyat. Di masa Orde Lama, Djamaluddin Malik, tokoh perfilman, mengisi kursi parlemen mewakili Partai Nahdlatul Ulama.

Dalam kadar berbeda, pemilihan umum Orde Baru melibatkan pengail suara (vote getter) dari industri hiburan. Termasuk menjadikan mereka anggota MPR mewakili unsur seniman, budayawan, pelaku industri hiburan.

Kedua; ketiga nama yang saya sebutkan dalam paragraf awal kolom ini, masih ditempatkan 'sekadar' sebatas menjadi wakil saja. Tentu ini bukan sebuah penyusutan makna; baik jabatan wakil gubernur atau wakil bupati, juga bukan mengecilkan para politisi yang berasal dari industri hiburan itu.

Menurut hemat saya, fenomena ini memang belum bisa diputuskan secara definitif sebagai kenyataan politik di era pemilihan langsung. Masih layak diuji apakah jika mereka dicalonkan sebagai gubernur/walikota/bupati, akankah mendapatkan apresiasi yang sama.

Apakah publik - dalam hal ini pemilih - sekadar memilih tanpa pretensi dan preferensi yang lebih logis; sekadar keterkenalan semata?

Ketiga; fenomena ini pun bukan soal baru dalam tradisi demokrasi di belahan dunia lain. Clint Eastwood pernah menjadi Walikota Carmel, California, AS.

Ronald Reagan, mengalahkan arsitek pertemuan Camp David, Jimmy Carter yang incumbent. Reagan menjabat dua periode, dan tetap dikenang sebagai jago dalam debat televisi yang ketat. Selain tangguh di layar perak, ia juga mengagumkan dalam lakon selaku politisi.

Mengawali keanggotaan di Partai Demokrat, lantas hijrah ke Partai Republik pada 1962. Menjadi gubernur California, sebuah negara bagian besar selama dua periode.

Mencoba peruntungan sebagai kandidat presiden dari Partai Republik pada 1976. Namun hadangannya gagal. Sang incumbent, Gerald Ford tetap melaju sebagai calon, namun dikalahkan Jimmy Carter dari Partai Demokrat.

Namun, Reagan tak tertahan. Jimmy Carter hanya bisa menggenggam satu periode sebelum akhirnya ditumbangkan Ronald Reagan lewat kemampuan berdebatnya yang efektif, mematikan, sekaligus menawan.

Di Filipina, Joseph Estrada menjadi presiden Filipina menggantikan Fidel Ramos setelah era tokoh-tokoh revolusi EDSA: Corazon Aquino, Fidel Ramos, dan Salvador Laurel.

1984, di India, Amitabh Bachhan, atas ajakan Rajiv Gandhi menduduki majelis tinggi dengan perolehan suara 68,2%. Kendati akhirnya dia mengakhiri karir politik; meninggalkan adu pendapat politik di layar kaca, kembali beradu akting di layar perak.

Di Pakistan, selain Benazir Bhutto, publik internasional juga mengenal Imran Khan. Walaupun profesinya pemain kriket, dia adalah pesohor kelas dunia. Memang olahraga itu amat digemari di Inggris dan negara-negara Persemakmuran.

Namun, Khan mendapatkan sorotan media juga karena kehidupan pribadinya. Terutama setelah ia menikahi Jemima Goldsmith; putri dari Sir James Goldsmith, miliuner berpengaruh di Inggris dan Prancis.

Akhirulkalam, fenomena yang terjadi akhir-akhir ini bukan hal baru di panggung politik. Harus dilihat sebagai gejala biasa. Dan normal.

Belajar dari Amitabh Bachchan, Ronald Reagan, Sophan Sophiaan, keartisan serta keterkenalan mereka di dunia hiburan, semata harus dilihat sebagai modal awal. Bisa pula dianggap sebagai asal profesi saja.

Sama dan sebangun dengan politisi yang melangkah ke dunia politik namun awalnya mereka dikenal sebagai arsitek, pengacara, jaksa, dokter, insinyur, tentara, polisi, birokrat, petani, pengusaha, bankir, aktivis sosial, jurnalis, dsb.

Yang terpenting; saat memasuki dunia politik, mereka harus menyiapkan diri, mengasah ketrampilan manajemen birokrasi, membaca dan membuat produk legislasi. Dan hal-hal lain yang dibutuhkan seorang politisi; mental maupun intelektual.

Penulis adalah anggota DPD-RI

Gubernur Nagabonar


www.inilah.com

CELAH
22/04/2008 20:57 WIB

Gubernur Nagabonar

M. Ichsan Loulembah

RABU (16/4) menjelang Maghrib, beberapa teman, sebagian dari Medan, menelepon. Selain mengabarkan, yang lain seperti meledek. "Syampurno menang dalam quick count. Apalagi ulasan dan alasanmu? Beda dari 'Hade' yang segar, dan ganteng, Syampurno kan tidak?"

Memang, dua LSI (Lingkaran Survei Indonesia dan Lembaga Survei Indonesia), serta JIP (Jaringan Isu Publik) petang itu melansir hasil penghitungan cepat mereka. Pasangan Syampurno (Syamsul Arifin-Gatot Pujokusumo) unggul dengan kisaran suara 29%. Di bawahnya ada Tritamtomo-Benny Pasaribu (Triben), Ali Umri-Maratua Simajuntak (Umma) serta Wahab Dalimunthe-Syafii (Waras) dan RE Siahaan-Suherdi (Pass).

Kembali ke pertanyaan bernada gugatan beberapa penelepon; bagaimana kita membaca hasil tersebut dari kacamata komunikasi politik?

Pertama; banyaknya pasangan yang bertarung, dengan komposisi mirip (Melayu/Jawa, Islam/Kristen, Jawa/Batak, Kristen/Islam) membuat petarungan berlangsung ketat. Zona tradisional masing-masing kandidat amat tipis, jika tak dikatakan berhimpit.

Meminjam strategi sepakbola; tak cukup zonal marking. Harus man to man marking campur total football. Plus cattenaccio menggrendel agar wilayah tradisional terjaga.

Kedua; istilah 'mesin politik' hanyalah mitos belaka. Juga absurd; kecuali untuk satu-dua partai yang amat disiplin, solid, tidak memiliki friksi dan faksionalisasi yang keras.

PDIP, misalnya. Energi politik mereka terkuras saat menentukan pasangan kandidat. Secara formal, memang tak terlihat gangguan berarti. Namun, di balik panggung, konflik tersebut pasti membelah lapisan kader mereka. Partai Golkar lebih terang lagi problemnya. Tiga calon gubernur (Ali Umri, Wahab Dalimunthe, Syamsul Arifin) notabene tokoh Golkar daerah tersebut.

Dalam penampilan berbeda, "pembelahan nonformal" terjadi dalam pilkada Jawa Barat. Mudah ditebak; selain menimbulkan kebingungan, pemilih juga mencari jalan 'aman', tak mau pusing.

Ketiga; seperti juga terjadi di Jawa Barat, membaca secara tepat suasana di masyarakat, menyuntikkan strategi komunikasi yang jitu, dan orisinal.

Di Jawa Barat yang menang mengunakan Hade — dalam bahasa Sunda kira-kira berarti baik/bagus — sebagai semboyan, singkatan nama kandidat, dan branding strategy.

Dibanding Triben, Umma, Waras, Pass, misalnya; Syampurno lebih bunyi, akrab, mudah diingat, enteng, punya konotasi baik, serta mengikat dua nama yang berbeda secara etnis (Syamsul Arifin/Melayu-Gatot Pujokusumo/Jawa).

Namun di atas sekadar branding strategy, orisinalitas karakter yang muncul dalam ingatan publik menjadi soal utama. Coba lihat pernyataan Syamsul Arifin di berbagai kesempatan.

"Aku ini kan jelek, makanya cucuk (tusuk, coblos) saja."

"Rakyat jangan lapar, harus punya masa depan, program pertanian bukan sekadar menambah lahan."

"Pemimpin bodoh kalah dari yang pintar, tapi yang pintar kalah menghadapi yang licik. Kalau aku ini pemimpin bertuah, tak kuat dilawan si licik."

Pilihan kalimatnya lugas sekaligus lurus. Tahu, sekaligus tidak takut dikatakan kurang tampan. Kejelekan — jika istilah ini tega dipakai — dan kekurangan bukannya disembunyikan, malah dipakai dengan selera humor yang bernas. Terukur dan tak pula mengeksploitasinya. Termasuk masa lalunya sebagai penjual kue.

Ada cerita saat kampanye. Panggung megah sudah tersedia, namun Syamsul Arifin tidak menaikinya. Dia menerobos kerumunan, berdialog langsung, tanpa basa-basi, dengan bahasa sehari-hari. Posisi tubuhnya — hal tidak sepele dalam semua jenis komunikasi —ditempatkan sejajar, bukan atas-bawah, dengan publiknya.

Penghormatan pada orang tua juga luar biasa. Hampir semua etape penting kampanyenya dilakukan dekat makam Tengku Rizal Nurdin, Gubernur Sumut yang wafat dalam tugas. Namun bahasa tubuhnya tidak terlihat pengkultusan.

Belakangan saya dengar cerita, dia pernah koma. Mungkin itu yang membuatnya tangguh, tak ingin menyia-nyiakan kesempatan hidup. Sekaligus tanpa beban mengarunginya.

Termasuk saat mengagungkan dirinya sebagai anak emak, "aku ini mau jadi Gubenur karena disuruh emak." Seperti Nagabonar, Syamsul Arifin memiliki orisinalitas dalam kepemimpinan serta street smartness.

Penulis adalah anggota DPD

Thursday, April 24, 2008

Hidup Persib, eh, Hade!


www.inilah.com

CELAH

14/04/2008 09:32 WIB

Hidup Persib, eh, Hade!

M. Ichsan Loulembah

Memang, ini belum hasil resmi total penghitungan suara Komisi Pemilihan Umum Daerah Jawa Barat. Namun kemenangan pasangan Ahmad Heryaman (PKS) dan Yusuf Macan Effendi alias Dede Yusuf (PAN) hasil penghitungan cepat bukan peristiwa politik sepele.

Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) mengumumkan bahwa Danny Setiawan-Iwan Sulanjana (Da’i) memperoleh 26,85%, Agum Gumelar-Nu’man (Aman) 32,38%, dan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf (Hade) 40,8%.

Litbang Kompas menghitung: Da’i 24,19%, Aman 35,34%, dan Hade 40,47%. Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menyajikan data: Da’i 20,47%, Aman 26,46%, dan Hade 39,87%. Sementara Pos Penghitungan Suara Hade mencatat: Da’i 26,14%, Aman 35,39% dan Hade 38,82% hingga pukul 16.30 WIB Minggu (13/04/08).

Bagaimana membaca kemenangan ini dari sudut strategi komunikasi?

Menurut saya, tidak terlampau mengejutkan. Pertama; dari sudut kekalahan incumbent. Kecenderungan kekalahan calon yang sedang menjabat terjadi pada berbagai pemilihan kepala daerah. Bahkan sejumlah daerah penting yang secara tradisional dikuasai partai-partai besar. Baik di kabupaten, kota, maupun provinsi.

Biasanya yang kalah adalah incumbent dengan prestasi terlampau biasa dalam program pembangunan, dipersepsikan publik memiliki masalah hukum, miskin imajinasi dan kreasi dalam kepemimpinan, serta kurang memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dan alamiah.

Kedua; pemilih cenderung kurang suka pertarungan yang terlampau keras dan diametral. Dalam beberapa pilkada, pertarungan yang teramat ketat – apalagi oleh dua kandidat yang dipersepsikan sama oleh publik (biasanya negatif; orang lama, kandidat kaya, dan seterusnya) – pemilih mencari alternatif.

Berbagai kasus pilkada menunjukkan calon alternatif dipilih akibat terlampau kerasnya pertarungan – bahkan sesekali disertai kampanye negatif – antara dua kandidat kuat. Inilah cara pemilih menghindari instabilitas seandainya salah satu kandidat high-profile tersebut terpilih.

Jangan lupa, dengan tingkat pendidikan yang lebih memadai, masyarakat Jawa Barat pasti memantau perkembangan konflik menegangkan hasil pilkada di berbagai daerah lain.

Ketiga; sebagaimana jamak dilakukan para pengatur strategi komunikasi pemasaran di perusahaan-perusahaan; berkampanye bukan berarti semata royal membanjiri jumlah atribut, outlet dan media.

Kampanye yang terlampau banjir, alih-alih mendatangkan simpati, justru menimbulkan inflasi. Bahkan antipati. Apalagi jika campaign tools semisal eksekusi artistik, tag-line, keywords, positioning statement, strategic differentiation, gimmick, bahkan pemilihan foto pasangan kandidat, kurang kuat.

Hade memiliki berbagai keuntungan tersebut dan melakukannya secara tepat, sambil para kandidat -- yang dipersepsikan orang lama-favorit-kuat-kaya itu – melakukan hal sebaliknya.

Da’i dan Aman tentu saja bukan istilah yang buruk. Namun digunakan secara salah. Da’i bukan istilah yang kompatibel untuk memilih seorang gubernur. Selain, kedua orang yang namanya disingkat tersebut memang bukan, tidak pernah, dan bukan seorang da’i.

Sementara Aman bukan problem prioritas di sana. Juga salah timing. Karena secara umum Jawa Barat aman-aman saja. Ancaman keamanan berarti nyaris tidak ada. Bahkan ribuan orang mengalir ke sana tiap akhir pekan untuk cucimata dan belanja.

Slogan ‘Hade pisan euy!’ terkesan ringan namun intim, bersahaja, low profile, gaul, dan kental warna lokal.

Foto resmi pasangan Da’i dan Aman sama-sama menggunakan kopiah; semakin menuakan dan memformalkan penampilan mereka. Tanpa kopiah, pasangan Hade terlihat berbeda, lebih informal, dan segar.

Kampanye televisi pasangan Aman terkesan terlalu pamer artis dan selebritis. Alih-alih membujuk, jadinya berjarak. Apalagi para selebritis itu sudah jadi orang Jakarta, menyusut ke-Jabar-annya.

Sementara iklan televisi pasangan Hade jauh lebih mengesankan, memakai talent orang-orang biasa, terasa dekat dan intim, serta menggunakan stok gambar outdoor. Terbalik dengan pasangan Da’i yang hanya memakai setting studio plus sedikit permainan grafik komputer. Walaupun dari segi frekwensi pengudaraan lebih banyak.

Di atas semua itu, tentu saja kemampuan membentuk tim kampanye solid, jaringan yang berantai, plus militansi anggota partai-partai pendukung adalah tulang punggung kemenangan Persib, eh, pasangan Hade.*

*Penulis adalah Anggota DPD RI