Friday, August 20, 2010

Berawal dari Kompetisi


Jika ada kuis, mana yang lebih kuat juara dunia sepakbola antar negara atau sebuah klub papan atas di liga-liga utama Eropa. Apa jawaban Anda?

Sebelum dijawab, coba kita ingat nama-nama ini. Chelsea, Manchester United, Liverpool, Arsenal dari Inggris. Barcelona, Real Madrid, Valencia, Athletico Madrid dari Spanyol. Internazionale Milan, AC Milan, Juventus dari Italia. Bayern Munich, Borussia Dortmund, FC Schalke 04, FC Stuttgart dari Jerman. Ajax, Feyenoord, PSV Eindhoven dari Belanda. FC Porto dan Benfica dari Portugal.

Nama-nama itu bukan sekadar nama klub. Bukan pula sekadar gaya hidup. Bahkan melampaui sekadar merek atau industri. Tapi telah menjelma ibarat ideologi yang menjadi bagian hidup sehari-hari.

Hampir tiap pekan, nama-nama tersebut menerobos memasuki ruang-ruang pribadi. Aneka pertandingan, berita tentang cedera pemain, transfer antar klub sampai gossip kehidupan percintaan pemain dikonsumsi seluruh dunia. Melintasi batas miskin-kaya.

Kembali ke pertanyaan iseng diatas; manakah lebih kuat Arsenal atau tim nasional Inggris, AC Milan atau Italia, Real Madrid atau Spanyol, Bayern Munich atau Jerman, Ajax atau Belanda? Bisa juga disilang klub dan negaranya.

Walau masih didasari asumsi, akal sehat kita nampaknya akan mengunggulkan klub ketimbang tim nasional negara tesebut. Mungkin pertimbangan kita sederhana saja; klub-klub raksasa tersebut berintikan pemain terbaik yang dikontrak dari berbagai belahan dunia. Bahkan melintasi benua, agama dan warna kulit.

Para pemain yang amat bhinneka tersebut bermain ibarat membela sesuatu yang teramat penting. Bahkan jika dibandingkan pembelaan atas nama negaranya sendiri. Jamak terdengar, beberapa manajer tim nasional marah karena sebagaian pemain andalannya masih mengisi pertandingan membela klub saat dia harus main membela negaranya.

Tidak mengherankan, jika ada pendapat bahwa FIFA World Cup, sebutan lanjutan dari Jules Rimet Trophy, semata arena promosi dan pemasaran. Sebagai ruang untuk memamerkan diri agar dilirik klub-klub kaya, terutama dari negara-negara Eropa.

Eropa memang memiliki kompetisi yang ketat. Jika di Amerika Latin dan Afrika, sepakbola ibarat perjuangan meningkatkan taraf hidup pemain dan keluarga besarnya. Di Eropa, sepakbola disatukan dengan segenap derap industri beserta berbagai kerumitan dan peluangnya yang sering menakjubkan.

Menjadikannya industri disertai kerumitan kompetisi yang ketat menjadikan Eropa sebagai benua yang paling menonjol sepakbolanya.

Memang Brazil merupakan Negara paling sering memenangkan Piala Dunia. Betul, Argentina amat menonjol dan selalu jadi tim unggulan. Demikian pula Meksiko, Peru, ataupun Uruguay yang selalu dijadikan bahan analisa para komentator.

Namun, Eropa selalu menampilkan tim terbanyak dalam setiap babak lanjutan di perhelatan Piala Dunia. Bahkan kejuaraan Piala Eropa nyaris hanya berada serambut dibawah Piala Dunia; baik sebagai tontonan, kualitas pertandingan, maupun secara komersial.

Sederhana saja, hampir semua negara di Eropa amat layak dan berimbang jadi peserta Piala Dunia. Bayangkan, Swedia, Norwegia, Finlandia, Irlandia Utara, Republik Irlandia, Wales, Skotlandia, Rusia, Ceko, Bosnia Herzegovina, Uzbekistan, yang absen di Afrika Selatan kali ini. Bandingkan dengan benua lain.

Kompetisi yang amat ketat di Eropa, disertai penanganan yang amat profesional, membuat siapapun bisa menjadi pemain sepakbola handal disana. Amat mudah kita melihat pemain dari macam-macam ras pendatang berlaga di berbagai tim Eropa; klub ataupun tim nasional.

Anak-anak imigran –biasanya dari negeri bekas koloni—menonjol, bahkan tidak sedikit menjulang sebagai bintang hingga kapten kesebelasan tim nasional. Suatu fakta yang sulit kita bandingkan jika anak-anak eks koloni tersebut masih tinggal dan bermain sepakbola di negeri asalnya.

Apa pelajarannya bagi kita? Semua orang berbakat bermain sepak bola, dan bisa jadi pemain bintang. Syaratnya sederhana; bikin kompetisi sebaik dan sebersih mungkin. Pemain akan tumbuh ibarat cendawan di musim hujan. Insya Allah dari 238 juta penduduk Nusantara kita bisa membentuk satu tim nasional yang membanggakan.

Thursday, May 6, 2010

Politik Baliho


M. Ichsan Loulembah

Entah siapa yang memulai, baliho tiba-tiba begitu sentral dalam politik Indonesia. Tiba-tiba saja hampir di setiap sudut negeri, terpampang wajah politisi dalam aneka gaya dan posisi. Semua penuh aksi.

Sebagai sarana media luar ruang, billboard --asal mula istilah baliho-- memang punya kelebihan. Sejak lama, baliho sebatas sarana promosi bagi rokok, motor, sampai minyak rambut. Pendek kata, hanya untuk produk niaga semata.

Menampilkan gambar dalam ukuran ekstrem yang menarik perhatian. Titik penempatan sebuah baliho membuat jumlah pasang mata yang melihatnya bisa dihitung, minimal diperkirakan. Dan, biasanya below the line media ini harus bersisian dengan penggunaan media yang above the line.

Namun, dalam praktek sehari-hari, baliho tidak menjadi pengganti istilah billboard. Karena baliho politik –istilah untuk untuk tulisan ini —tidak seketat billboard yang jamak dikenal kalangan dunia usaha.

Jika billboard dipasang pada titik strategis. Melewati perizinan ketat. Tidak boleh disembarang tempat. Dan ditempatkan dengan jumlah yang tidak seenaknya. Tentu tidak gratis. Baliho politik bisa sebaliknya. Bahkan sesukanya.

Bisa dipasang dimana saja para pemasang mau. Estetika kota tidak jadi petimbangan. Suka-suka pula mau pasang berapa lama. Biasanya yang akan menertibkan badan atau panitia pengawas pemilu. Urusan pajak? Mana ada.

Reformasi politik yang meratakan jalan bagi kompetisi terbuka dalam perebutan jabatan-jabatan publik membuat baliho ditengok. Terutama pada saat pemilihan anggota legislatif dan perebutan jabatan eksekutif. Pasar politik menjadi begitu terbuka untuk segenap ikhtiar berkomunikasi dalam skala massal dan kecepatan tinggi.

Mudah dipahami jika para ahli strategi, konsultan, dan sekondan politik menjadikan baliho sebagai sarana kampanye. Pertama, baliho lebih murah dan mudah. Kalau billboard untuk kepentingan promosi produk ditentukan materialnya, baliho politik bisa memakai apa saja. Semampu kandidat atau partai bersangkutan. Ukurannya pun tergantung kocek.

Kedua, kecenderungan masyarakat kita yang menyukai budaya visual, selain lisan. Metode komunikasi yang paling mudah ini memang masih merupakan tumpuan mayoritas masyarakat yang menjadi basis pemilih dalam semua jenis kontestasi politik negeri ini.

Ketiga, tidak seperti iklan pada umumnya yang melibatkan tenaga profesional menangani setiap detil, sehingga dikerjakan dalam tingkat akurasi yang tinggi. Baliho politik biasanya merupakan sumbangan atau “jasa baik” seseorang atau satu pihak yang merasa perlu menyokong seseorang kandidat atau partai. Apakah karena sesama daerah, rekan satu almamater; pokoknya bikin tim sukses, lantik tim relawan, sumbang baliho semampunya. Pun diyakini jumlah baliho terkait dengan pamor dan citra partai atau seorang kandidat. Lebih banyak, lebih baik.

Kuantitas baliho terasa lebih penting, bukan kualitas penyajian artistiknya. Tidak heran, baliho politik sering mengundang senyum, bahkan tertawaan; lebih sering terasa sebagai lelucon daripada sebuah pesan politik dalam tagline menantang dari sepasang calon yang digadang.

Keempat, tingkat penetrasi media yang amat terbatas jumlahnya. Apalagi dalam skala lokal. Memang ada pertumbuhan jumlah suratkabar, tabloid, majalah, radio dan televisi lokal. Namun tidak berarti dibandingkan jumlah penduduk serta lokasi persebaran yang teramat longgar. Sehingga penggunaan media konvensional tidak dipilih. Juga disebabkan tingkat eksekusi kreatif dan estetik yang membutuhkan keahlian tersendiri; baik dalam desain visual maupun penggunaan teks iklan yang bernas.

Dan, baliho bisa meringkas seluruh kerepotan itu. Masalahnya, apakah baliho bisa dibiarkan meringkas segenap problem politik?

Bukan sekadar demokrasi dan tetek-bengek penyelenggaraannya, politik intinya merumuskan program legislasi serta menjalankan pemerintahan. Program legislasi yang berkualitas, di pusat mnaupun daerah, tentu teramat penting. Kekuasaan eksekutif, secara teknis disebut administrasi, membutuhkan ketrampilan manajemen yang, jika tak menguasai rincian, namun mengetahui akar masalah.

Untuk menjadi seorang politisi yang berkeinginan mengisi jabatan legislasi dan pucuk pimpinan eksekutif membutuhkan jam terbang, pengetahuan, serta sentuhan manajerial. Jika tidak, reformasi dan liberalisasi politik yang kita nikmati sebagai salah satu negara demokratis besar akan disederhanakan sebagai politik baliho. Politik yang hanya mengandalkan kejar-kejaran popularitas dengan tebaran baliho dipojok-pojok negeri.

Padahal politik yang kita butuhkan bukan sekadar ditentukan satu hari di bilik suara, namun lima tahun menjalankannya.

Thursday, February 11, 2010

Garda Demokrasi


M. Ichsan Loulembah

Sering disingkat GD, Gus Dur atau Abdurrahman Wahid bisa disebut sebagai apa saja. Ia menggemari seni ketoprak hingga komposisi musik klasik berselera tinggi. Pemahamannya atas seni Timur Tengah, Jawa Tengah, Eropa abad pertengahan, sampai Wina nyaris sepadan. Gus Dur bahkan menghapal lagu-lagu yang sulit ditemukan di laci para penggemar biasa. Tidak heran ia bisa mengulas berbagai bentuk kesenian dengan amat rinci. Demikian halnya dalam bidang kesusteraan.

Tapi, putra Wahid Hasyim ini juga penggemar berat aneka makanan. Lehernya amat dimanjakan untuk berbagai jenis kuliner, walau sambil bersembunyi dari pandangan Sinta Nuriyah, isterinya. Jika para tamunya membawakan makanan, ia akan antusias menyantapnya sambil sesekali mengisahkan hal-hal ringan terkait kelezatan hidangan itu.

Jangan salah, mantan ketua PB NU ini juga penggila sepakbola. Sebelum penglihatannya menurun, ia hapal nama-nama pemain. Bahkan bisa menyodorkan analisa pertandingan lengkap dan setajam komentator profesional.

Dalam dunia tulis-menulis, apalagi. Jauh sebelum menjadi aktivis politik dan mengurusi NU, cucu Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari ini kolumnis rajin. Jalan pikirannya tertulis dalam alur yang bening. Konon, ia bisa mendatangi sebuah kantor penerbitan koran atau majalah, meminjam mesin ketik milik wartawan, ketak-ketik sebentar; sebuah kolom bernas kelar.

Artikelnya bisa menjangkau topik apa saja. Daya jangkau gagasannya kadang membuat banyak pihak terperanjat. Apa yang dipikirkannya selalu mengagetkan. Jika hal kecil yang ditulisnya, artikel itu berbunyi nyaring karena ditulis dari sudut yang baru. Jika menulis hal-hal besar dan esensial, sistematikanya terjaga sembari lincah menjelajahi sudut topik.

Walau kurang becus menjalani kedisiplinan sekolah, isu-isu berat dalam bidang sosial, politik, sejarah, filsafat dan agama seperti disampaikan seorang profesor jika ia yang menyajikan ceramahnya. Ibarat, terlalu banyak ruang dalam otaknya yang luas.

Jejak mantan Presiden RI ini paling kuat dalam perkara demokrasi. Untuk soal pokok ini, dia tidak pernah main-main. Bahkan, seingkali ia berdiri tegak ditengah badai yang dipandangnya langsung atau tersembunyi mengancam demokrasi.

Bagi dia, orang sering mudah mengucapkan demokrasi, namun gentar menyelenggarakan hal-hal pokok yang menjadi tiang utamanya. Isu-isu disekitar persamaan hak, hak asasi manusia, kebhinekaan, diyakininya sebagai fondasi berdirinya rumah Indonesia. Dan, keyakinan itu dipertebal oleh keyakinan agamanya yang menyimpan dasar-dasar berlakunya demokrasi tersebut secara esensial.

Walau terlihat sering berbelok cepat saat menjadi politisi, sejatinya Gus Dur tetap menjaga pokok keyakinannya. Ibarat memainkan sebuah komposisi musik, ketaatan pada partitur tidak mengurungnya dari kemungkinan improvisasi. Inilah yang sering menjadikannya bahan salah pengertian. Baik itu datang dari para pembedanya, sampai khalayak pembelanya.

Ditambah lagi pergaulannya yang nyaris tak bertepi. Mulai dari kiai dari sudut kampung paling pelosok, hingga pemimpin politik di ujung dunia. Sering menjadikannya sulit dikenali sebagai apa.

Itulah mungkin yang menjadikannya begitu mendalami dalam keyakinan paling dasar, apa itu toleransi. Seiring dengan itu, kata toleransi selayaknya tak berdiri sendiri. Kesadaran terhadapnya harus bangun dari sebuah pengalaman atas kesamaan pandangan pada aspek-aspek luhur dan universal.

Sebuah kesejajaran dalam kehidupan dan praktek sosial antar kelompok, harus disertai topangan keyakinan masing-masing. Perbedaan dan kesadaran atasnya, disertai kebersamaan yang berdiri saling bersisian. Toleransi dan keragaman, termasuk dalam soal keberagamaan, nyaris berhimpit dengan keyakinan. Inilah, warisan paling berat yang harus dipikul oleh generasi belakangan pada Gus Dur. Saya menyebut ia, Garda Demokrasi!