Thursday, October 2, 2008

Pulang ke Kebhinekaan


CELAH inilah.com 01/10/2008 12:09

Pulang ke Kebhinekaan

M. Ichsan Loulembah

SEORANG wartawan televisi sedang live reporting dari pelabuhan Merak, Banten. Reporter lain berada di Terminal Bus Pulogadung. Gambar kendaraan bermotor bersesakan ada di laporan lainnya.

Situasi arus pulang kampung menghiasi media massa mulai H-7 hingga H+7 setiap mengakhiri Ramadhan hingga sepekan bulan Syawal. Setiap tahun. Di hampir semua jenis media.

Mudik (satu kata pengganti tradisi pulang kampung) nyaris menjadi 'peribadatan' melengkapi bulan puasa.

Kini, bahkan lebih semarak. Pemilu 2009 beserta masa kampanye yang panjang, membuat situasi mudik juga terisi gempita politik. Partai-partai politik peserta pemilihan umum berpikir keras mengkreasi aneka trik untuk terlibat.

Ada yang muncul secara halus, canggih, dan tak langsung. Tak sedikit yang secara terang-terangan. Jamak pula yang membagikan aneka penganan sekadar bekal dalam perjalanan. Ratusan hingga ribuan atribut partai terpampang di sepanjang jalur gemuk yang dilewati para pemudik.

Tak terbatas di Jawa, arus mudik dari berbagai kota besar di pulau-pulau lain pun menjadi pemandangan jamak. Apakah ini gejala kontemporer?

Pertama, pulang kampung bukan tradisi baru sama sekali. Kini begitu terasa karena lonjakan kaum urban yang terus berlipat. Terutama setelah modernisasi menjadi semacam strategi budaya (ekonomi dan politik) resmi pemerintahan Orde Baru, yang tidak seluruhnya salah.

Pertumbuhan beragam institusi sosial-ekonomi- budaya modern penyerta perkembangan kota-kota, menyedot kaum rural. Memoles penampilan dari agraris menjadi kosmopolit.

Peluang mengisi instrumen-instrumen 'baru' dalam skenario perkotaan mengikuti hukum permintaan-pengisia n (supply-demand) . Gerak mobilitas sosial/vertikal yang jamak dalam sejarah sosial berbagai negara.

Kedua, liputan media massa, terutama setelah perumbuhan industri media dengan audiens massal (televisi dan radio) di seluruh penjuru Tanah Air, menjelang jatuhnya Orde Baru hingga pascareformasi.

Efek media ini membentuk, bahkan dalam kapasitas tertentu, turut melipatgandakan (inikah terjemahan tepat bagi boosting?) kesadaran 'baru' dalam kecenderungan permudikan kini. Siaran langsung di televisi dan radio, gambar serta cerita di halaman muka koran, menghadirkan drama Indonesia tanpa kamuflase.

Ketiga, histeria modernisasi, pembangunan dan pertumbuhan aneka sektor tidak sekadar berderap. Selain bergairah, seringkali tidak ramah. Tidak hanya menghasilkan pemenang, banyak pula yang kalah.

Namun, yang 'menang' dan 'kalah' sama-sama merasa terasing (minimal sesekali, jika tak sering). Alienasi yang perlahan terstrukturkan membutuhkan mudik sebagai penyaluran.

Dalam konteks masyarakat kita yang guyub (persekutuan, persyarikatan, komunitas), mudik bersama dan massal, amat menggairahkan. Berhimpitan dalam bus, kereta, kapal laut; menjelma dari menekan menjadi ritual mengasyikkan.

Antrian panjang di terminal penumpang bandar udara, macet berpuluh-puluh jam, selain menghadirkan peluh dan keluh, karena dialami bersamaan menjadi begitu menggetarkan.

Keempat, agenda tahunan ini dapat pula dibaca sebagai jeda setelah hampir sepanjang tahun kita mengalami proses memusat (pusat, nasional, Jakarta, kota). Gerakan memusat tersedia sejak dari proses politik, kegiatan ekonomi hingga wajah kultural yang teringkas di media bertenaga serta ruang-ruang publik lainnya.

Pinggiran, bukan saja sebuah isu geografis. Pemusatan, selain terlampau perkasa pada perlombaan di pasar ekonomi dan pembentukan wajah budaya. Juga dalam strategi pembangunan dan pilihan kebijakan.

Akhirul kalam, menurut hemat saya, mudik akhirnya adalah sebuah pematang. Jalan kecil untuk pulang. Rute berbalik, kembali ke kebhinekaan kita masing-masing. Sebuah Indonesia yang beraneka, dan tak asing.

* Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI [L1]

http://www.inilah. com/berita/ celah/2008/ 10/01/52620/ pulang-ke- kebhinekaan/