Tuesday, October 23, 2007

Menuju Waktu Indonesia Satu


Media Indonesia - Selasa, 23 Oktober 2007

Menuju Waktu Indonesia Satu

Oleh: M. Ichsan Loulembah, Anggota DPD RI

Asumsi bahwa pembagian waktu menjadi Waktu Indonesia Barat (WIB),
Waktu Indonesia Tengah (WITA), dan Waktu Indonesia Timur (WIT)
seperti diberlakukan sejak 1 Januari 1988 sebagai sesuatu yang taken
for granted tidaklah benar. Sejarah Indonesia pasca kolonialisme
menunjukkan, pada tahun 1950 Indonesia memiliki 6 (enam) wilayah
waktu. Masing-masing berbeda 30 menit.

Melalui Keppres Nomor 243 tahun 1963, Indonesia terbagi menjadi tiga
waktu tolok, merujuk pada kota-kota utama. Melalui Keppres Nomor 41
tahun 1987, Indonesia kembali hanya memiliki tiga wilayah waktu (WIB,
WITA, WIT). Dari sini jelas pembagian waktu adalah domain kekuasaan.
Para politisi dan keputusan politiklah yang menentukan waktu, bukan
para ilmuwan.

Penjelasan berikut bisa membantu memahami soal ini. Ketentuan beda
waktu untuk satu jam dengan perhitungan secara ilmiah = 15 derajat
busur, kata A. Sony Nursutan Hotama, tidak dipenuhi dalam penetapan
penunjukan waktu pada ketiga wilayah waktu di Indonesia tersebut.
Singapura dan Malaysia yang letaknya lebih barat daripada Pulau Jawa
memiliki ketentuan wilayah waktu yang sama dengan WITA.

Negara-negara tetangga Indonesia terletak dalam garis bujur dan
lintang yang relatif hampir sama dengan Indonesia. Karena itu
terdapat peluang penyesuaian kembali wilayah waktu dan penunjukan
waktu saat ini mengacu kepada wilayah waktu negara-negara tetangga
tersebut. Wilayah waktu Indonesia seharusnya berada di antara wilayah
penunjukan waktu Indonesia Tengah dan wilayah penunjukan waktu di
Papua Niugini. Ini berarti terdapat kemungkinan untuk menggeser
penunjukan waktu sebanyak satu jam ke depan pada wilayah waktu di
Indonesia (Dr. A. Sony Nursutan Hotama: 2005).

Pembagian waktu menjadi tiga membawa berderet konsekuensi dan
implikasi penting. PLN tak sanggup memenuhi kebutuhan listrik
nasional karena masyarakat lebih sedikit memanfaatkan sinar matahari
dan lebih lama berada di dalam rumah. Artinya, masyarakat lebih lama
mengonsumsi listrik. Sementara itu, konsumsi listrik di malam hari
kian banyak karena semua stasiun TV besar ada di wilayah WIB. Merujuk
pada patokan waktu WIB, acara prime time pukul 17:30 sampai 22: 30.

Konsekuensinya, masyarakat di wilayah Indonesia Timur (WITA dan WIT)
harus menonton acara TV satu-dua jam lebih lambat dari Indonesia
Barat. Ini aneh, meski mereka menyalakan listrik lebih dulu, tapi
tidurnya lebih lambat, dan sebaliknya bangun lebih cepat ketimbang
mereka yang ada di WIB. Anak-anak yang ingin menyaksikan bintang
idola mereka harus menunggu hingga larut malam—saat kantuk mulai
menyergap. Esok paginya mereka harus bangun lebih cepat agar tak
terlambat masuk sekolah.

Konsentrasi belajar pastilah tidak sebaik mereka yang menikmati tidur
cukup. Mungkin salah satu penyebab tak meratanya prestasi belajar
atau kesenjangan prestasi dan informasi (di kalangan siswa) di
Indonesia, bisa jadi berpangkal dari soal sederhana: tak seragamnya
mereka memulai aktivitas. Sebaliknya, industri televisi tidak
akan ”kehilangan” 1-2 jam dari prime time mereka.

Sementara itu, pola konsumsi listrik masyarakat, khususnya malam
hari, melahirkan beban puncak penggunaan listrik. Karena alasan
penghematan energi, negara-negara dengan empat musim dikenal Daylight
Saving Time (DST). Sekitar 95 negara atau negara bagian menerapkan
DST ini. Dengan memutar jarum jam mundur satu jam saat musim panas
(di negara dengan empat musim), konsumsi listrik bisa dihemat dalam
jumlah besar. Selandia Baru bisa menekan konsumsi energi listrik 3,5%
serta mengurangi konsumsi saat beban puncak 5% (M. Ashari: 2005).

Pengaruh pembagian waktu langsung dirasakan industri pariwisata dan
penerbangan. Bali lebih menarik wisatawan karena waktunya sama dengan
dari negara-negara asal wisatawan tersebut. Jepang adalah penyumbang
turis yang cukup signifikan, sementara Singapura adalah pintu masuk
yang teramat penting untuk disepelakan. Seperti kita tahu, semula
Bali masuk WIB, tapi melalui keputusan politik pemerintah pusat,
tahun 1987 waktu Bali digeser ke WITA.

Para pengusaha, profesional, pejabat publik dan pembicara seminar
laris tidak perlu tergesa-gesa dan bergegas ke bandara dinihari untuk
mengejar penerbangan ke salah satu kota di wilayah yang masuk WITA
dan WIT kini. Segala aktivitas bisa dilakukan satu hari dan bisa
kembali ke pusat-pusat ekonomi dan pusat-pusat pengambilan keputusan
politik di pulau Jawa tak terlalu larut malam.


ASEAN Common Time

Pembagian waktu menjadi tiga tersebut turut mendorong inefisiensi di
sektor produksi, jasa, pemerintahan, industri penerbangan dan
transportasi, perbankan, telekomunikasi dan pariwisata. Perusahaan-
perusahaan yang berkantor pusat di Jakarta (WIB) dan beroperasi di
Indonesia Timur, misalnya, merupakan salah satu pihak yang merasakan
dampak dari kebijakan pembagian waktu ini.

Ketika kantor mereka di wilayah WIB belum buka, kantor-kantor mereka
di Indonesia Timur sudah lebih dulu buka. Sebaliknya ketika kantor
mereka di Indonesia Timur sudah tutup, kantor pusat mereka malah
masih buka. Bayangkan, satu perusahaan memiliki ritme kerja yang tak
sama. Hasilnya? Inefisiensi dan terputusnya komunikasi.

Kuncinya ternyata ada di sini: perbedaan waktu dalam memulai
aktivitas yang menyebabkan produktivitas dan daya saing nasional
tidak optimal, inefisiensi, stabilitas moneter, krisis energi,
kebodohan, kemiskinan. Alasan-alasan ini pula yang mendorong Cina
meyatukan waktunya dari lima menjadi satu waktu tunggal. Padahal luas
negeri tirai bambu ini lebih besar ketimbang Indonesia.

Dalam konteks ini, ide penyatuan waktu yang sempat bergema beberapa
waktu lalu patut dihidupkan kembali. Penyatuan waktu akan
berimplikasi pada efektivitas kerja, efisiensi sumberdaya dan daya
saing nasional. Salah satu rekomendasi Seminar Nasional “Dampak
Pembagian Waktu di Indonesia terhadap Pola Konsumsi Energi dan
Kegiatan Ekonomi Nasional”, 8 Juni 2005 silam: meminta pemerintah
mengambil keputusan memajukan satu jam Waktu Indonesia Barat (WIB)
agar sama dengan Waktu Indonesia Tengah (WITA).

Di ASEAN, sejak tahun 1995 gagasan ini juga pernah didengungkan
melalui ASEAN Common Time (ACT). Intinya, mempertimbangkan
kemungkinan pernyatuan waktu antarnegara ASEAN atau ibukota negara-
negara ASEAN agar memudahkan kegiatan ekonomi, budaya, politik, dan
lain-lain.

Usulan ini mendapat respons positif dari kepala negara anggota ASEAN,
tapi pembahasan di level bawah belum menghasilkan kesepakatan. Krisis
moneter datang bergelombang pada tahun 1998, isu ACT tenggelam. Tahun
2004, Malaysia meminta agar ACT bisa kembali dibahas.

Jika penyatuan waktu mampu mendongkrak produktivitas dan daya saing
kita di tingkat global serta menggerus inefisiensi di banyak sektor,
mengapa pemerintah tidak segera menerapkannya? Merujuk pada
penggeseran Bali dari WIB ke WITA dan penyatuan waktu di RRC tempo
dulu: bukan ilmuwan yang menentukan pembagian waktu, tapi keputusan
politik.

Monday, October 22, 2007

Fathia Syarif: Antara Minyak dan Buku Sejarah

Jurnal Nasional - Kamis, 11 Okt 2007

Anggota Dewan Perwakilan Daerah Ichsan Loulembah menulis di blog-nya tentang perubahan yang terjadi pada diri sahabatnya Hamid Basyaib. Ichsan mengamati, aktivis Jaringan Islam Liberal itu begitu berubah ketika mengenal seorang perempuan bernama Fathia Syarif.

Tak seperti sebelumnya, Ichsan mencatat, setelah berkenalan dengan Fathia, sulit menemukan Hamid berbincang-bincang sambil tak henti-hentinya memencet tuts telepon selulernya, membalas pesan pendek, yang belakangan diketahuinya, karena sedang berdebat dengan Fathia.

Sambil "memaksa" penulis artikel "Negara Madinah dan Sekularisme" ini agar segera mengambil langkah-langkah cepat, Ichsan menginterogasinya perihal: siapa perempuan yang membuatnya amat berubah itu? Dengan antusias Hamid lalu menceritakan sosok perempuan ini.

Hamid mendeskripsikan gadis pujaannya itu: mandiri - dalam banyak hal, matang, memiliki tanggung jawab pekerjaan yang tidak remeh, modern dalam penampilan maupun cara berpikir, lugas, tidak mudah menyetujui pendapat seseorang tanpa mengejarnya lagi, tidak menabukan kehidupan malam untuk menghibur diri, tahu banyak tempat makan enak, punya banyak buku, dan "ramai".

Sedangkan kepada sahabatnya yang lain, Nong Darol Mahmada, Hamid menilai Fathia sebagai berikut," Dia itu JIL (Jaringan Islam Liberal) banget loh. Pokoknya keren deh." Begitulah pengakuan Hamid yang ditulis Nong dalam blog-nya.

Hamid dan Fathia pun menikah April lalu, setelah perkenalan mereka yang seumur jagung. Teman-teman Hamid banyak yang kaget, karena banyak yang menduga, perkawinan bukan hal penting bagi pria 40-an tahun ini. Tak kurang dari budayawan Nirwan Dewanto pun terkejut dengan langkah peneliti Freedom Institut ini.

Dalam kolom kawin yang diterbitkan pas hari pernikahan keduanya, Nirwan menulis bahwa dirinya kaget mendapat pesan pendek dari Hamid, karena isinya permintaan mengawal untuk melamar Fathia di rumah orangnya, di Kemang, Jakarta Selatan.

Fathia yang dibicarakan ini tak lain adalah Manajer Komunikasi Korporat PT Shell Indonesia. Pantas saja ketika ditanya Jurnal Nasional awal pekan lalu di Jakarta , apakah suaminya berasal dari lingkungannya, Fathia menggeleng dan tertawa keras. "Apa sih maksud," katanya balik bertanya sembari tersenyum.

Fathia memang enak diajak mengobrol. Dia bercerita tentang kesukaannya untuk travelling. Perjalanan bagaimana yang paling disukainya? "Tentu sama suami dong," ucapnya, lagi-lagi sembari tersenyum.

Untuk tujuan relaksasi, Fathia suka pergi ke Bali. Kalau temanya petualangan, lain lagi. "Saya pernah ke (puncak Gunung) Ijen," ujarnya. Ah, puncak itu kan bisa ditempuh dengan naik mobil. "Yee, aku jalan kaki," ucapnya bangga.

Kebanggaan yang sama diungkapkan ketika ditanya, bagaimana rasanya bekerja di perusahaan perminyakan terbesar kedua di dunia saat ini. "Bagaimana ya...saya tak pernah bekerja di perusahaan kecil sih," katanya, lagi-lagi sembari tertawa.

Fathia memang tidak ngecap. Selepas lulus dari Jurusan Sastra Prancis, Universitas Indonesia pada 1999, dia langsung bekerja di perusahaan multinasional, Johnson & Johnson sebagai asisten manajer pengembangan pelanggan. Cukup setahun di perusahaan ini, Fathia langsung menclok di Hilton, sebagai Manager Public Relations and Communications.

Lagi-lagi di perusahaan perhotelan berjaringan internasional itu, Fathia juga hanya bertahan setahun. Perusahaan besar asuransi asal Jerman, Allianz, menjadi tempat hinggap berikut baginya, dengan posisi yang sama. Setahun kemudian, Fathia terbang lagi. Kali ini mendarat di American Express. Posisinya tetap sama. Cukup lama Fathia di perusahaan asal Amerika Serikat ini.

Tiga tahun kemudian, pada 2005, datanglah kesempatan bergabung dengan PT Shell Indonesia. Sampai sekarang, Fathia menjadi juru bicara bagi perusahaan minyak dan gas asal Belanda dan Inggris ini. Seringnya berpindah-pindah pekerjaan, bagi Fathia adalah untuk mencari tantangan atau pengalaman baru, walaupun pekerjaannya tetap sebagai humas. "Sebagai humas, kami turut membangun perusahaan, baik dari segi bisnis maupun citra," ucapnya memberi alasan.
Fathia mengaku senang bekerja di perusahaan yang mungkin menjadi idaman banyak orang.

Shell dinilainya menjunjung tinggi kejujuran dan integritas, dan sangat memperhatikan karyawannya. Semua nilai itu berguna bagi penerapan di kehidupan sehari-hari saya. "Saya jadi lebih berusaha menghargai orang sekitar," ucapnya.

Tentang masuknya perusahaan asing di sektor hilir dunia perminyakan, Fathia menilai banyak segi positifnya bagi konsumen di Indonesia. Kini masyarakat jadi punya pembanding pom bensin selain yang dikelola Pertamina, setelah Shell dan Petronas juga diperkenankan membuka SPBU. "Apapun bidang bisnisnya, kalau ada kompetisi, maka perusahaan akan berlomba-lomba memanjakan konsumen."

Apakah pekerjaannya itu membuat dia super sibuk? Tidak juga. Intensitas pekerjaannya naik turun. "Ya kalau lagi pas ada acara sibuk banget, kalau tidak ya imbanglah," ujar Fathia. Karena itu dia masih bisa menyalurkan hobinya berolah raga. Berenang, squash, rafting adalah beberapa jenis olah raga yang disukainya.

Membaca adalah hobinya yang lain. Dia suka buku cerita dan sejarah. Mungkin karena saking banyaknya buku yang dibaca, sehingga Fathia bingung menyebut pengarang favoritnya. "Banyak sekali yang saya suka," tuturnya. Dia sadar hobinya ini tak ada kaitan dengan pekerjaan yang digelutinya. Tapi hobinya itu membuat dia paham konteks ketika menjalankan pekerjaannya, terutama jika berhubungan dengan masyarakat.

Intensitas pekerjaan yang tak melulu tinggi pun membuat Fathia masih bisa membagi waktu untuk mengurus suami, yang disebutnya sebagai seseorang dengan karakter yang lebih besar dari karakter yang pernah ditulis pengarang-pengarang klasik kelas dunia. "Aku kan masih hitungan bulan, Mas nikahnya,' ucapnya sembari tersenyum.

Thonthowi Dj

Ahmad Thonthowi Djauhari

Friday, October 5, 2007

Keragaman, Kesatuan, dan Kemakmuran


Suara Karya - Jumat, 04 Agustus 2006

Keragaman, Kesatuan, dan Kemakmuran

Oleh M Ichsan Loulembah

Pluralitas suku, agama, ras, dan budaya merupakan kenyataan hidup yang tidak bisa ditampik. Keragaman adalah hukum alam yang tidak bisa diubah. Karena itu, alih-alih menampiknya, kita justru harus bisa hidup dalam pluralitas --apa pun bentuknya-- secara damai dan beradab. Untuk bisa hidup damai dan beradab dalam keragaman, dibutuhkan toleransi dan penghormatan terhadap yang lain (the others).

Kesadaran akan keragaman, kesadaran akan pluralisme ini sejatinya telah menjadi kesadaran bersama para pendiri bangsa Indonesia di masa lalu. Kesadaran ini juga menjadi sumber inspirasi para pendiri dan pengalaman hidup bangsa Amerika Serikat.

Seperti kita, Amerika Serikat juga sebuah melting pot raksasa. Tak mengherankan jika hal-hal pokok menyangkut eksistensi serta dasar-dasar negara antara RI dan negeri adidaya tersebut tidak banyak berbeda. Ini menjelaskan betapa para pendiri negeri kita memiliki pemikiran yang luas, punya banyak sumber inspirasi, terbuka dan toleran.

Namun, sejarah perjalanan bangsa ini tak sepenuhnya se-jalan dengan gagasan dan cita-cita para pendiri bangsa. Ada kalanya penguasa berobsesi untuk menyatukan negeri dengan mengharamkan keragaman pendapat dan memenjarakan orang yang berbeda paham.

Bahkan, dalam banyak penggalan sejarah terlihat upaya mewujudkan persatuan dalam wujud negatif, yakni penyeragaman, menggunakan pola koersif pula, sembari menenggelamkan keragaman. Di sisi lain, sejarah kita di masa lalu juga mengajarkan, orientasi yang kuat pada semangat keseragaman atau ketunggalan (tunggal ika) justru potensial mengaborsi munculnya persatuan yang kukuh-kuat antarsesama anak bangsa.

Sebaliknya, pengakuan adanya pluralitas (bhinneka) budaya bangsa dan membiarkan kebhinekaan hidup justru lebih menjamin persatuan. Memang, dalam keragaman kita menemukan banyak potensi konflik. Pada titik ini pula, bangsa kita diuji untuk bisa hidup dalam keragaman secara damai (peace co- existence). Dan, inilah ujian hidup bagi sebuah bangsa yang sedang melayari bahtera dunia.

Dalam khazanah sejarah bangsa-bangsa, banyak yang menjadi besar setelah
mengalami ujian yang berat, panjang dan melelahkan. Bangsa ini memang harus melewati gelombang tersebut tanpa harus memutar kembali jarum sejarah dengan mengeksklusi potensi keragaman bangsa ini.

Berbagai kekerasan, ketegangan, bahkan konflik horizontal yang mengiringi perjalanan sejarah bangsa ini, baik konflik yang memakai simbol keagamaan, perbedaan pilihan politik, atau berbau kedaerahan dan etnisitas, menunjukkan betapa krusialnya persoalan ini.

Padahal, kemampuan hidup secara damai di tengah kemajemukan, merupakan salah satu pertanda atau karakter penting masyarakat yang modern. Dalam konteks itu, penyebaran ideologi multikulturalisme menemukan relevansi dan arti pentingnya.

Multikulturalisme adalah konsep yang ingin mengantarkan masyarakat dalam kerukunan dan perdamaian, tanpa ada konflik dan kekerasan, meski banyak perbedaan. Serta terjauhkan dari kemungkinan adanya ancaman baik berupa teror, kekerasan, intimidasi, dan semacamnya.

Petaka datang jika sikap-sikap dasar tersebut tercerabut. Untuk itu, multikulturalisme harus menjadi basis kewargaan dan panduan bagi kehidupan bersama demi terwujudnya kebajikan hidup bersama.

Peringatan Arthur M Schlesinger Jr (1992) penting untuk disimak. Menurut dia, banyak negara di dunia pecah karena gagal memberikan alasan-alasan yang kuat kepada orang-orang dari berbagai latar belakang etnis untuk melihat diri mereka sebagai bagian dari negara yang sama.

Pengalaman historis kita juga menegaskan, ketidaksanggupan mengelola pluralitas -- apa pun bentuknya -- hanya akan melahirkan disintegrasi sosial dan konflik horizontal. Dengan semangat yang sama, masyarakat juga harus memiliki sikap terbuka. Suatu sikap hormat terhadap pendapat dan pengalaman baru, yang amat mungkin berbeda dengan pengalaman bahkan keyakinannya.

Keterbukaan ini merupakan karakteristik masyarakat modern, beradab, dan berkeadaban. Ke sanalah kini gerak maju bangsa harus diarahkan. Persoalan kita hari ini, di mana titik simpul yang mampu merekatkan persatuan di tengah keragaman tersebut? Tidak ada jalan lain kecuali kemakmuran.

Pemulihan dan penyebaran pertumbuhan ekonomi sebagai tugas konstitusional pemerintah harus menjadi kenyataan. Sebab, banyak pengalaman di mana negeri yang mengalami goncangan sosial-politik sebagai bagian dari transisi demokrasi, akan semakin parah jika tidak mampu mengatasi problem ekonomi.

Banyak pula negeri yang sekian lama menjadi pelanggan konflik dan kekerasan secara perlahan mengalami stabilitas sosial-politik, saat ekonominya membaik. Mumpung pemerintah akan melakukan konsolidasi Badan usaha milik negara (BUMN), sebaiknya langkah kecil segera dilakukan, yakni melakukan semacam desentralisasi BUMN.

Dengan menyebarkan kantor-kantor pusat BUMN secara merata ke berbagai daerah, tentu saja sesuai karakter setiap daerah. Maka pepatah: sebarkanlah gula, maka semut akan menyertainya, secara perlahan akan menimbulkan efek berantai dan pertumbuhan ekonomi daerah yang cukup berarti. Pola ini juga sekaligus dapat menyelesaikan soal persebaran penduduk bagi keseimbangan demografis dan geografis.

Cara lain bisa dimulai dengan menyeragamkan sistem waktu kita yang selama ini terbagi menjadi tiga (barat, tengah dan timur) yang di banyak negara telah lama disatukan dengan alasan ekonomi dan produktivitas. Tentu saja itu hanya beberapa cara. Kita bisa menjejalkan banyak cara lain.

Yang terpenting bukan mendiskusikannya secara berlama-lama. Bukan pula mencatatnya menjadi dokumen tebal berisi daftar hal-hal ideal, namun bingung mulai dari mana untuk mewujudkannya. Yang terpenting adalah merencanakan beberapa hal yang masuk akal, lalu mengerjakannya secara cepat dan terukur.

Sebab, ibarat neraca, jika bandul ekonomi merosot maka suhu politik yang akan memanas. Sebaliknya, jika bandul ekonomi perlahan menanjak, suhu politik akan mengalami keseimbangan pula. Hanya kemakmuran yang mampu menjaga persatuan sekaligus merawat keragaman.

*** Penulis adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah RI (DPD-RI), asal Sulawesi Tengah

Thursday, October 4, 2007

Anggota DPD M Ichsan Loulembah

Suara Karya - Senin, 13 Agustus 2007

Dari Jurnalis ke Senator Tangguh

Senator asal Palu, Sulawesi Tengah kelahiran 23 April 1966 ini semula dikenal sebagai seorang pemalu. Karena itu, semasa sekolah, M Ichsan Loulembah takut tampil di depan publik. Dan ia akhirnya baru bisa beradaptasi saat masuk kuliah.

Dengan mengambil jurusan sosiologi FISIP Universitas Tadulako, Palu telah membawanya berani unjuk diri di muka umum dan mulai aktif dalam organisasi formal dan nonformal di berbagai kesempatan.

Ketertarikannya pada dunia media massa mendorongya untuk mendirikan stasiun Radio Nebula FM yang saat ini masih tetap eksis. Tak hanya sampai di situ, selama menjadi mahasiswa kesibukannya juga diisi dengan menjadi redaktur di Tabloid Suluh Nasional.

Tahun 1990 setelah lulus kuliah, Ichsan mulai menjajal kariernya sebagai jurnalis di Jakarta. Bermula dari editor & copy writer di sebuah perusahaan komunikasi, ia juga pernah menjajal sebagai produser eksekutif dan sempat pula menjabat direktur berita di stasiun radio nasional
terkemuka, Trijaya FM.

Atas saran beberapa teman yang mendesaknya ikut dalam Pemilihan Umum 2004 sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Ichsan membulatkan tekadnya untuk mulai masuk dalam kancah politik.

Pengetahuannya di bidang politik dan ekonomi tak bisa dianggap remeh, karena Ichsan sempat
menimba banyak ilmu ekonomi-politik sebagai direktur di Pusat Kajian Komunikasi Bisnis dan Politik (Puskakom). Pintu masuk ke dunia politik seolah terbuka lebar saat ia terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah mewakili Sulawesi Tengah 2004-2009.

Kesibukannya di dunia politik sebagai anggota DPD seolah tak pernah habis. Kini Ichsan menjadi Koordinator Kaukus Daerah Pasca Konflik DPD dan Sekretaris Kelompok DPD di MPR. Bukan itu saja, ia juga dipercaya menjadi penanggung jawab Kelompok Kerja (Pokja) Opini Publik DPD dan tercatat sebagai anggota panitia Ad Hoc IV yang mengurusi masalah anggaran (APBN).

Tak hanya aktif sebagai anggota dewan, di berbagai lembaga pendidikan juga masih sempat
digelutinya yaitu sebagai anggota dewan pendiri YHB Indonesia serta lembaga riset SIGI Indonesia dan juga pendiri Pusat Data Kawasan Tertinggal (PDKT).

Kemampuannya di bidang komunikasi dan politik juga membawa kesibukan baru sebagai konsultan dan redaktur ahli beberapa media serta sering menjadi pembicara masalah komunikasi dan sosial-politik di berbagai kesempatan. Bahkan, sisa waktu luangnya masih disempatkan pula untuk menulis kolom masalah sosial politik di sejumlah media massa dan sempat pula menerbitkan beberapa buku.

Kecewa
Saat ini, Ichsan mengaku kecewa melihat kondisi DPD. Karena, dengan kewenangan yang terbatas DPD tak mungkin bisa bekerja maksimal sehingga muncul kesan bahwa DPD hanya menghamburkan uang negara saja.

Melihat luasnya negara kepulauan Indonesia dan memiliki penduduk yang sangat plural,
diyakininya tak bisa hanya diwakili melalui anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saja.

Kehadiran DPD yang mengusung semangat reformasi dan otonomi daerah yang mengubah sistem sentralistik menjadi desentralisasi seharusnya semakin bisa memperkuat kewenangan DPD sebagai suatu lembaga yang bisa disejajarkan dengan DPR. Fungsi kedua lembaga ini, menurut dia, semestinya harus saling melengkapi.

Semua proses untuk penguatan fungsi DPD pun tak menjadi jalan yang mudah yang lantas bisa
diterima oleh banyak pihak sebagaimana sekarang dicoba diusulkan melalui amandemen kelima UUD 1945.

Meski demikian dengan menyatukan kekuatan yang ada DPD terus memperjuangkan kepentingan penguatan fungsinya untuk bisa berperan maksimal bagi kemaslahatan masyarakat daerah. "Politik itu perjuangan yang harus dihadapi sebagai dinamika. Tak ada keberhasilan yang bisa diperoleh hanya dengan tidur-tiduran," kata Ichsan. (Rully)

Aktivis Perempuan Indonesia Timur Terima Saparinah Sadli Award

Media Indonesia Online - Sabtu, 25 Agustus 2007 12:15 WIB

JAKARTA--MIOL: Dua aktivis perempuan asal Indonesia timur menerima penghargaan Saparinah Sadli Award.Mereka adalah Aleta Ba'un aktivis lingkungan masyarakat adat asal Soe Nusa Tenggara Timur dan Mutmainah Korona pendorong partisipasi politik perempuan dan penerapan anggaran pro rakyat miskin asal Palu. Terpilihnya dua aktivis ini antara lain terkait upaya mereka mendorong pencapaian Millenium Development Goals (MDGs).

"Kedua perempuan ini dipilih karena mereka, yang awalnya namanya bahkan tidak kami kenal ini, berjuang dalam medan yang berat dan menempuh perjuangan struktural yang sangat sulit ditembus. Semuanya untuk perbaikan nasib masyarakat sekitarnya terutama para perempuan," ujar Ketua Dewan Juri Saparinah Sadli Award Melanie Budianta, Jumat (24/8).

Saparinah Sadli sendiri adalah adalah seorang akademisi yang sempat memimpin Komnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan pada era Presiden Habibie.

Aleta Ba'un, salah satu penerima penghargaan ini, sejak 1993 bersama suku adat Molo giat melindungi sumber daya alam kabupaten Soe dari pencemaran pertambangan pualam. Sebelumnya perempuan asal Timor Barat ini pernah dinominasikan untuk Women's Nobel Prize for Peace.

Sementara Mutmainah Korona yang juga meraih penghargaan ini merupakan Direktur Komunitas Peduli Perempuan dan Anak Palu. Ia ikut aktif merancang substansi Perda tentang pemenuhan hak anak Sulawesi Tengah yang sedang digodok di DPRD setempat serta ikut menyusun naskah akademik Perda anti perdagangan perempuan dan anak Sulawesi Tengah. Selain membuat rumah singgah bagi anak-anak yang trauma dan termarjinalkan, Mutmainah juga menggagas konsep masyarakat melek gender.

Dewan juri yang terdiri dari Ery Seda, Kristi Purwandari, Maria Ulfah Anshor, Hermandari Kartowisastro, Ichsan Loulembah, dan Nurul Arifin ini awalnya sempat kesulitan menentukan penerima penghargaan Saparinah Sadli tahun ini.

Pasalnya banyak nama yang dianggap memenuhi kriteria dasar antara lain menunjukkan kepedulian terhadap perjuangan keadilan dan pemberdayaan bagi perempuan, menapaki jalur karir yang menunjukkan komitmen untuk perubahan dan pembangunan, mendapat pengakuan dari lingkungan, melakukan kiprah nyata yang menunjukkan fokus pada peningkatan kapasitas masyarakat terutama perempuan dan menujunjung tinggi prinsip keadilan dan demokrasi.

"Awalnya kami punya lebih dari 100 nama yang memenuhi kriteria ini namun kami fokus pada menjadikan MDGs sebagai kerangka untuk memilih, juga kami tahun ini memprioritaskan memberi penghargaan pada tokoh-tokoh perempuan di daerah," kata Melani.

Fokus terhadap MDGs diambil karena keprihatinan akan besarnya masalah gizi buruk dan minimnya kesetaraan gender yang masih menimpa Indonesia. Untuk itu penerima penghargaan kali ini merupakan orang-orang yang berhasil melalui perjuangan dan medan yang sulit di daerah untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan dan anak-anak.

Menerima penghargaan Saparinah Sadli, Aleta Ba'un menyatakan kebahagiaannya atas masih tingginya perhatian masyarakat adat di daerah. "Saya akan terus berjuang atas nasib masyarakat adat dan bumi tempat kami bernaung. Daerah kami adalah sumber utama mata air dan penghasil pangan untuk Kupang, Dili, dan Atambua. Dengan adanya pertambangan, hutan jadi rusak, air tercemar, tempat ritual adat jadi hilang. Saya tidak akan berhenti berjuang meski terus diteror untuk dibunuh karena menentang," tuturnya.

Sementara Mutmainah Korona merasa terkejut dirinya meraih penghargaan ini. "Saya tidak merasa yang saya lakukan ini berharga. Awalnya saya hanya prihatin dengan angka kemiskinan di Donggala yang sangat tinggi karena korupsi. Saya pikir kemajuan harus dimulai dengan mencerdaskan perempuan-perempuan di daerah. Saya senang ada kepedulian terhadap mereka." (DI/OL-03)
---------Sumber: Media Indonesia Online

FHM: Fathia & Hamid Menikah


Banyak sebutan untuk Hamid Basyaib. Ada yang menyebutnya ensikplopedia berjalan. Teman yang lain mengatakan, “si Hamid itu nulis apa aja koq gurih ya...”. Sohib lainnya memuji dengan nada bertanya, “semua soal bisa dikomentarinya, Hamid itu bacaannya apa aja ya?”.

Saya sendiri menganggap Hamid sebagai saudara – lebih dari sekadar sahabat, apalagi cuma teman. Mungkin karena sama-sama punya pengalaman merantau di usia belia. Bisa juga karena sama-sama gila film dan musik: kami bisa bercerita tentang kegilaan ini sampai dinihari, termasuk lewat telepon atau sms.

Istri saya, Dessy, yang juga dikenal Hamid berkomentar, “ternyata laki-laki tuh doyan ngerumpi juga ya...”. Pada saat lain Dessy dengan nada heran bertanya, “apa aja sih yang kalian obrolkan?”.

Jika ketemu, sebelum membahas berbagai soal bangsa (ehm..ehm), kami pasti berlomba menceritakan film atau musik yang baru kami dengar. Dan, yang agak “menjengkelkan” saya: Hamid selalu tahu musisi, sineas, aktor-aktris, bahkan sampai ilustrator musik sebuah film – lengkap dengan sejarah, pun genre musiknya.

Kadang saya “dendam”, kapan bisa membuat dia tidak berkomentar tentang film atau musik yang saya koleksi. Sebuah dendam yang belum pernah terbalaskan.

Dalam beberapa topik obrolan, kami berada pada posisi sejajar: sama-sama pernah/sedang mengalami soal yang dibahas. Namun, tidak berlaku pada topik perkawinan beserta berbagai dinamika, kombinasi serta suka-dukanya. Sebab, Hamid belum mengalami peristiwa penyambung peradaban tersebut (istilah ini juga saya pinjam dari dia).

Menurut Hamid, perkawinan – selain berbagai soal yang menyertainya – haruslah berujung pada pertemuan plus persetujuan dua manusia melanjutkan peradaban dengan jalan memiliki keturunan. Sebuah kesimpulan yang juga saya amini.

Entah kenapa, dia selalu tergila-gila dengan topik anak. Hamid selalu semangat bertemu ketiga putra-putri saya. Dan, dia tetap menyediakan kecermatan pengamatannya: deskripsinya tentang karakter ketiga anak saya dirumuskannya dengan cepat, dan tepat. Dia juga selalu bersemangat bercerita tentang keponakannya yang cerdas tapi bandel – atau bandel tapi cerdas:-)

Menurut saya, dalam konteks itulah dia akhirnya mau melaksanakan perkawinan dengan Fathia: secara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Tapi jangan salah, ternyata bukan karena ingin memiliki keturunan itu benar yang menjadi pokok soalnya: siapa yang harus menjadi ibunya ternyata amat menentukan. Itu yang menjelaskan mengapa Hamid “agak terlambat” memasuki institusi perkawinan ini.

Seperti saat mengomentari banyak soal, dia juga amat cerewet, kritis, bahkan gampang kecewa jika ekspektasinya terhadap seorang perempuan roboh di “babak penyisihan”.

Teramat sering dia datang ke kantor saya, dengan wajah berseri-seri sambil menceritakan seorang perempuan yang sedang dekat atau sedang didekatinya. Pada hari-hari berikutnya, selalu saja, saat saya menanyakan dengan bersemangat tentang kisah perempuan itu, dia malah melempem. Entah kenapa, semangatnya selalu cepat pudar.

Saya kadangkala jengkel, menghadiahinya khutbah kecil, “Mid, perkawinan itu tidak perlu dipersiapkan, tak ada yang ideal. Yang penting kawin saja dulu, nanti prosesnya akan kau nikmati”.

Memang, perkawinan selalu saja tidak punya rumus bahkan pola yang bisa dijadikan patokan umum. Ada pasangan yang berpacaran diatas lima tahun, cuma seumur jagung mampu mempertahan perkawinannya. Ada yang pesta perkawinannya amat megah dan menjadi buah bibir, begitu pula kisah tamatnya. Banyak yang menikah meminjam kesakralan tanah suci, begitu bubar justru saling membenci.

Karena itu, saya sering mendesaknya dengan pengalaman saya sendiri bahwa, “kawin mah kawin aja lah, Mid. Nggak usah banyak syarat dan upacara”. Karena dimata saya, perkawinan itu bukan sebuah kontrak mati.

Karena jika itu diibaratkan sebuah kontrak mati atau hanya maut yang memisahkan, yang terjadi justru sebaliknya: jangankan mati, berselisih soal siapa yang harus mengambil raport anak saja bisa jadi pertikaian.

Perkawinan hanyalah sebuah traktat biasa antara dua manusia. Bedanya, isi traktat minimal saja, nanti kita maksimalkan sambil jalan, beserta segenap perubahan dan negosiasi atasnya. Istilah yang sering saya gunakan dalam perbincangan dengannya: kawinlah secara rileks.

Fathia Factor

Tanpa dia katakan, kini saya baru tahu bahwa saudara saya ini ternyata mengincar perempuan dengan standar yang tinggi. Tidak seperti saat dia menyampaikan pertimbangan untuk menentukan pemenang Ahmad Bakrie Award, Hamid tidak pernah menyatakan apa saja standar “penilaian” tersebut.

Namun, dalam tiga bulan terakhir ini, saya menemukan beberapa kriteria tersebut: keren, modern, suka wine, clubbing oke, diskusi tak mudah nyerah, punya koleksi buku berkelas, mandiri (seperti juga dia), dan cerdas! Kesimpulan itu saya berani tarik karena telah dikenalkan dan berbincang beberapa saat – waktu yang cukup untuk mengamati dan menyimpulkan – dengan Fathia Isfandiari Syarif.

Saat berkenalan dengan Fathia-lah, Hamid jadi begitu berubah. Jarang sekali dia sulit “diakses”. Hampir tidak pernah jika kami bertemu dia tidak berkonsentrasi pada topik sambil menatap lawan bicaranya. Sulit menemukan Hamid berbincang sambil tak henti-hentinya memencet tuts, membalas sms – belakangan saya tahu, mereka berdua sedang berdebat tentang sebuah topik.

Sambil “memaksa” dia agar segera mengambil langkah-langkah cepat, saya menginterogasinya perihal: siapa perempuan yang membuatnya amat berubah itu? Dengan antusias dia menceritakan sosok perempuan yang amat digilainya beberapa bulan ini.

Begini dia mendeskripsikan gadis itu: mandiri – dalam banyak hal, matang, memiliki tanggungjawab pekerjaan yang tidak remeh, modern dalam penampilan maupun cara berpikir, lugas, tidak mudah menyetujui pendapat seseorang tanpa mengejarnya lagi, tidak menabukan kehidupan malam untuk menghibur diri, tahu banyak tempat makan enak, punya banyak buku, dan ”rame”.

Wah, menurut saya, tidak rugi Hamid terlambat menikah – dibanding kami para sahabat dekatnya – karena bertemu perempuan yang nyaris lengkap itu. Sama dan sebangun, tidak rugi pula Fathia berani menerima lamaran Hamid, seseorang yang dikenalnya seumur jagung.

Namun kembali ke pokok soal disekitar institusi ini: tidak ada pola, rumus, preseden, yang bisa diberlakukan bagi perkawinan kelak. Pola, rumus, preseden, akan kalian bentuk sendiri dalam perjalanan membangun rumahtangga.

Buat Fathia dan Hamid, tidak ada kata yang lebih tepat untuk menyambut peristiwa akbar ini selain: welcome to the club! :-)

Tuesday, October 2, 2007

Saling Pengertian


Bagi Ichsan Loulembah, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Sulawesi Tengah ini, negara kesatuan sudah menjadi harga mati bagi Republik ini. Alasannya, Indonesia adalah negara kepulauan yang dipisahkan oleh laut-laut yang dalam. Kalau negara kepulauan ini menganut sistem federal, bukan tidak mungkin akan cepat bubar.

Pria yang biasa dipanggil Ichan dan lahir di Palu pada 23 April 1966 ini berpandangan, elemen dari sebuah negara kesatuan adalah pengintegrasian di mana hal itu harus dibarengi dengan membuat struktur pemerintahan yang bisa menyerap kepentingan-kepentingan di masyarakat.

Bagi Ichan, selama ini elite di Indonesia terlalu memaksakan penyatuan dalam kerangka stabilisasi politik. Padahal, stabilitasi politik yang terlalu keras justru akan mematikan heterogenitas.

DPD, katanya, merupakan jawaban minimal atas disparitas antara pusat dan daerah serta antar-daerah. Visinya adalah membangun suasana saling pengertian akan kebhinekaan dalam kerangka kebangsaan. Sedangkan misinya memperjuangkan kepentingan daerah dalam program pembangunan nasional. Namun, lemahnya wewenang dan fungsi DPD, kata Ichan, merupakan tantangan yang harus dihadapinya.

Menurut pengagum Bill Gates kekhawatiran bahwa menguatnya DPD akan memperlemah DPR, jelas kesimpulan yang keliru. "Ini bukan teori bandul, ini justru menyesuaikan saja. Kalau cuma hanya memberikan pertimbangan, DPD hanya akan menjadi ornamen demokrasi," kata Koordinator Kaukus Daerah Pasca Konflik DPD itu. (suara karya/M Kardeni)