Wednesday, November 19, 2008

Aloha, Obama!


inilah.com

CELAH 06/11/2008 01:09

Aloha, Obama!

M. Ichsan Loulembah

SIAPA bilang posisi Obama enak? Bagi kalangan African-American, dia dianggap 'kurang hitam', karena punya kakek dan ibu berkulit putih: Stanley Armour Dunham dan Ann Dunham. Dalam pandangan orang kulit putih, dia tetaplah putra seorang berkulit hitam, warga Kenya, Barrack Hussein Obama Sr. Muslim pula.

Jika ia tidak memiliki bakat yang luar biasa. Dia pasti sudah terjepit dalam dua pandangan yang peka ini. Sebab, sebagaimana terjadi di pelosok dunia lainnya; isu warna kulit, etnis dan agama, selalu memiliki komplikasi dalam pilihan politik.

Berbagai sentimen yang berpangkal pada rasa itu punya dua karakter utama. Pertama: lebih sering dibicarakan tertutup dan informal, ketimbang sebaliknya. Akan dianggap kurang beradab seseorang jika masih membicarakan soal-soal 'primitif' seperti itu.

Kedua: jika pun seseorang terpaksa harus menjawab, keterangan verbal akan mudah terbalut dengan 'suara dari dalam diri'. Seseorang akan cenderung berbohong, atau minimal menyembunyikan kecenderungan subjektifnya.

Itulah dilema, awal hingga perhitungan suara yang saya rasakan membaca dan menonton berbagai analisis dan komentar menjelang pemilihan presiden Amerika Serikat.

Bradley effect! Itulah yang ditakuti para sekondan politik, tokoh-tokoh senior Partai Demokrat, pemilih, bahkan seluruh penjuru dunia yang memang seperti gemuruh mendukung Barack Obama Jr.

Selain karena muda dan dikenal jago debat sejak mahasiswa; mengapa Obama menang?

Pertama: Obama tulus. Sulit menangkap sekejap pun bahasa tubuh, komentar, jawaban pada konferensi pers, atau dalam debat terbuka yang jauh dari ketulusan. Ini bisa disebut sebagai bakat lahir karena tidak ada sekolah yang dengan baik meluluskan seseorang dalam perkara ketulusan ini.

Dalam komunikasi, itu amat penting. Jangan sepelekan pemilih. Mereka secara cermat menikam seorang kandidat dengan tatapan rinci ke seluruh tubuh. Dipelajari mudah, dilakukan susah.

Buat orang-orang yang merasa jauh di atas para pemilihnya, sulit sekali mempraktekkan soal 'kecil' ini. Obama, mampu menyejajarkan dirinya setara pemilih tanpa terjerembab terlalu ke bawah. Sulit pula membuktikan dia pura-pura.

Mungkin tema-tema kampanye yang teknis dan panjang-lebar tidak mampu mereka kunyah. Namun, ketulusan, mudah dicerna. Dan itu berlaku universal. Ada semacam koor kecerdasan publik untuk soal teramat mendasar ini.

Kedua: Obama otentik. Otentisitas amat kuat dalam genggamannya. Jika, sebagian orang menganggap 'tidak hitam, tidak putih' sebagai kelemahan, bahkan penghalang. Obama justru menjadikannya sebagai peluang, sekaligus kelebihan.

Walau terus dijepit oleh berbagai serangan kubu Republik pada soal-soal peka (muslim, sekolah di madrasah, berteman dengan radikal muslim Amerika, dll), mantan siswa SD Besuki ini terus menggeliat.

Lahir dari keluarga campuran, 'hitam-putih', justru ia jadikan tumpuan keotentikannya akan isu-isu diskriminasi, persatuan, kebersamaan. Dia otentik, dan secara trampil mengolahnya menjadi modal politik yang kuat; justru karena dia berada di dua kutub tersebut.

Ketiga: Obama memiliki momentum. Semua orang di negeri Paman Sam merasakan pemerintah Bush yang tidak pintar, boros dan gemar perang. Seluruh dunia pun (apalagi berbagai pelosok dunia yang terkena imbas kebijakan bodoh Bush) memberi dukungan; diam-diam, ataupun terang-terangan.

Apalagi beberapa bulan menjelang pemungutan suara, krisis keuangan AS terasakan begitu menyakitkan.

Menurut hemat saya, seluruh rakyat AS, bahkan seluruh dunia, akan berseru seperti nenek Obama dari pihak ibu, Madelyn Dunham, yang wafat beberapa hari lalu di Hawai: Aloha, Obama!

Penulis adalah Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI [L1]

The Smiling Corruptor


CELAH 19/10/2008 09:45

The Smiling Corruptor

M. Ichsan Loulembah

"DIA pernah asyik main golf hingga terlambat sampai di airport," kisah seorang hakim di luar sidang. "Tapi pesawat yang sudah lepas landas selama lebih lima menit ternyata kembali mendarat untuk menjemput Budiadji". (Tempo, 16 April 1977.

Di kalangan bekas tetangga-tetangganya, Endang Widjaja dikenal sebagai warga yang cukup dermawan. "Dia selalu menyumbang uang dalam jumlah besar kalau RW mengadakan ulangtahun Jakarta misalnya. Malah juga ada beberapa artis terkenal yang diundangnya," kata seorang bekas tetangganya.

Selain perkara Pertamina, korupsi Rp7,6 miliar yang digasak Budiadji (kala diperiksa berusia 39) selaku Kepala Depot Logistik (Kadolog) Kalimantan Timur amat menyedot perhatian.

Adapun 'saingan terdekat' Budiadji dalam ketersohoran dengan soal serupa, tak lain Endang Wijaya alias Yap Eng Kui alias A Tjai, yang menggaruk miliaran rupiah dalam kasus Pluit.

Budiadji adalah organ negara, dalam tugas 'suci' menyalurkan dan mengantarkan beras, ke rumah-rumah rakyat. Namun, tindak-tanduknya terbalik. Penampilannya ibarat pengusaha minyak tempo dulu, atau pemilik tambang batubara dan kebun kelapa sawit di masa kini.

Selain menyelewengkan HPB (hasil penjualan beras) dan pemalsuan DO (delivery order), sejak 1973, Budiadji juga 'kreatif'. Dia menciptakan istilah OPS (order pemindahan stok), sesuatu yang tak dikenal dalam perdokumenan Badan Urusan Logistik (Bulog), waktu itu.

Sedemikian kuatnya, hingga, pesawat terbang rela kembali ke bandara jika Budiadji tertinggal.

Endang Widaja, hanyalah seorang pengusaha 'melarat' ketika pada 1970 menginjakkan kaki untuk mengadu nasib di Jakarta, dari Medan. Namun, setelah 'berinteraksi' dengan beberapa pejabat di Pemerintah Daerah DKI Jakarta, hidupnya langsung gemerlap.

Selain royal dalam kegiatan di lingkungannya, A Tjai juga rajin 'menghibur' para pejabat yang melancarkan kegiatan usahanya.

Tak heran, ia dipercaya sebagai kontraktor tunggal oleh Badan Pelaksana Otorita (BPO) Pluit sejak 1971. Sehingga kredit macet yang dibikinnya pun megah, yakni Rp18,9 miliar di Bank Bumi Daya (BBD).

Itu kisah dua koruptor, dari banyak 'pesta korupsi' lain di masa Orde Baru. Bagaimana dengan kisah koruptor di era Reformasi? Sekilas sama saja.

Pertama, lingkungan jarang kritis, cenderung toleran. Tidak sedikit malah nyaman, pura-pura tidak tahu, jika seorang yang mereka kenal tiba-tiba meroket kekayaannya.

Kini, banyak kisah (abdi negara, politisi, pejabat publik, kontraktor pemerintah) di pusat dan daerah, dielu-elukan, justru karena cepat kaya, serta banyak sumbangannya.

Kedua, korupsi selalu melibatkan banyak pihak. Perkara A Tjai memensiunkan 10 pegawai BBD, 17 diberhentikan, sebagian turun pangkat.

Tak berbeda. Artalyta Suryani alias A Yin punya counter part jaksa Urip Tri Gunawan, Sekretaris Daerah Bintan Azirwan punya anggota parlemen Al Amin Nasution, dan banyak lagi kisah kerjasama lainnya.

Ketiga, dahulu korupsi besar juga tak kuasa ditangani satu lembaga permanen saja. Operasi sukses, jika melibatkan semacam checks and balances antarlembaga.

Korupsi orang-orang kuat ditangani gabungan Kejaksaan Agung dan Operasi Penertiban Pusat (Opstibpus), sebuah institusi ad hoc ciptaan Orde Baru.

Kini, ada Komisi Pemberantasa Korupsi sebagai lembaga ad hoc yang memperkuat Kejaksaan dan Kepolisian.

Terakhir, para korputor, dulu dan kini, selalu terlihat necis saat di pengadilan. Senyum mereka tetap mengembang saat diwawancarai door stop setelah diadili. Bahkan ada yang nyengir saat mendengarkan hasil sadapan percakapan yang sebetulnya memalukan diri, dan keluarganya.

Jika di negara-negara lain sebuah tuduhan, bahkan berita media tentang skandal korupsi berakhir dengan pengunduran. Di sini malah bersikukuh bertahan.

Bila di Jepang, ada pejabat yang dituduh korupsi tak kuasa menghadapi publik dan langsung harakiri. Di sini, coba liat di layar televisi, malah melempar senyum dan bersolekdiri.

* Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI [L1]