Friday, August 20, 2010

Berawal dari Kompetisi


Jika ada kuis, mana yang lebih kuat juara dunia sepakbola antar negara atau sebuah klub papan atas di liga-liga utama Eropa. Apa jawaban Anda?

Sebelum dijawab, coba kita ingat nama-nama ini. Chelsea, Manchester United, Liverpool, Arsenal dari Inggris. Barcelona, Real Madrid, Valencia, Athletico Madrid dari Spanyol. Internazionale Milan, AC Milan, Juventus dari Italia. Bayern Munich, Borussia Dortmund, FC Schalke 04, FC Stuttgart dari Jerman. Ajax, Feyenoord, PSV Eindhoven dari Belanda. FC Porto dan Benfica dari Portugal.

Nama-nama itu bukan sekadar nama klub. Bukan pula sekadar gaya hidup. Bahkan melampaui sekadar merek atau industri. Tapi telah menjelma ibarat ideologi yang menjadi bagian hidup sehari-hari.

Hampir tiap pekan, nama-nama tersebut menerobos memasuki ruang-ruang pribadi. Aneka pertandingan, berita tentang cedera pemain, transfer antar klub sampai gossip kehidupan percintaan pemain dikonsumsi seluruh dunia. Melintasi batas miskin-kaya.

Kembali ke pertanyaan iseng diatas; manakah lebih kuat Arsenal atau tim nasional Inggris, AC Milan atau Italia, Real Madrid atau Spanyol, Bayern Munich atau Jerman, Ajax atau Belanda? Bisa juga disilang klub dan negaranya.

Walau masih didasari asumsi, akal sehat kita nampaknya akan mengunggulkan klub ketimbang tim nasional negara tesebut. Mungkin pertimbangan kita sederhana saja; klub-klub raksasa tersebut berintikan pemain terbaik yang dikontrak dari berbagai belahan dunia. Bahkan melintasi benua, agama dan warna kulit.

Para pemain yang amat bhinneka tersebut bermain ibarat membela sesuatu yang teramat penting. Bahkan jika dibandingkan pembelaan atas nama negaranya sendiri. Jamak terdengar, beberapa manajer tim nasional marah karena sebagaian pemain andalannya masih mengisi pertandingan membela klub saat dia harus main membela negaranya.

Tidak mengherankan, jika ada pendapat bahwa FIFA World Cup, sebutan lanjutan dari Jules Rimet Trophy, semata arena promosi dan pemasaran. Sebagai ruang untuk memamerkan diri agar dilirik klub-klub kaya, terutama dari negara-negara Eropa.

Eropa memang memiliki kompetisi yang ketat. Jika di Amerika Latin dan Afrika, sepakbola ibarat perjuangan meningkatkan taraf hidup pemain dan keluarga besarnya. Di Eropa, sepakbola disatukan dengan segenap derap industri beserta berbagai kerumitan dan peluangnya yang sering menakjubkan.

Menjadikannya industri disertai kerumitan kompetisi yang ketat menjadikan Eropa sebagai benua yang paling menonjol sepakbolanya.

Memang Brazil merupakan Negara paling sering memenangkan Piala Dunia. Betul, Argentina amat menonjol dan selalu jadi tim unggulan. Demikian pula Meksiko, Peru, ataupun Uruguay yang selalu dijadikan bahan analisa para komentator.

Namun, Eropa selalu menampilkan tim terbanyak dalam setiap babak lanjutan di perhelatan Piala Dunia. Bahkan kejuaraan Piala Eropa nyaris hanya berada serambut dibawah Piala Dunia; baik sebagai tontonan, kualitas pertandingan, maupun secara komersial.

Sederhana saja, hampir semua negara di Eropa amat layak dan berimbang jadi peserta Piala Dunia. Bayangkan, Swedia, Norwegia, Finlandia, Irlandia Utara, Republik Irlandia, Wales, Skotlandia, Rusia, Ceko, Bosnia Herzegovina, Uzbekistan, yang absen di Afrika Selatan kali ini. Bandingkan dengan benua lain.

Kompetisi yang amat ketat di Eropa, disertai penanganan yang amat profesional, membuat siapapun bisa menjadi pemain sepakbola handal disana. Amat mudah kita melihat pemain dari macam-macam ras pendatang berlaga di berbagai tim Eropa; klub ataupun tim nasional.

Anak-anak imigran –biasanya dari negeri bekas koloni—menonjol, bahkan tidak sedikit menjulang sebagai bintang hingga kapten kesebelasan tim nasional. Suatu fakta yang sulit kita bandingkan jika anak-anak eks koloni tersebut masih tinggal dan bermain sepakbola di negeri asalnya.

Apa pelajarannya bagi kita? Semua orang berbakat bermain sepak bola, dan bisa jadi pemain bintang. Syaratnya sederhana; bikin kompetisi sebaik dan sebersih mungkin. Pemain akan tumbuh ibarat cendawan di musim hujan. Insya Allah dari 238 juta penduduk Nusantara kita bisa membentuk satu tim nasional yang membanggakan.

Thursday, May 6, 2010

Politik Baliho


M. Ichsan Loulembah

Entah siapa yang memulai, baliho tiba-tiba begitu sentral dalam politik Indonesia. Tiba-tiba saja hampir di setiap sudut negeri, terpampang wajah politisi dalam aneka gaya dan posisi. Semua penuh aksi.

Sebagai sarana media luar ruang, billboard --asal mula istilah baliho-- memang punya kelebihan. Sejak lama, baliho sebatas sarana promosi bagi rokok, motor, sampai minyak rambut. Pendek kata, hanya untuk produk niaga semata.

Menampilkan gambar dalam ukuran ekstrem yang menarik perhatian. Titik penempatan sebuah baliho membuat jumlah pasang mata yang melihatnya bisa dihitung, minimal diperkirakan. Dan, biasanya below the line media ini harus bersisian dengan penggunaan media yang above the line.

Namun, dalam praktek sehari-hari, baliho tidak menjadi pengganti istilah billboard. Karena baliho politik –istilah untuk untuk tulisan ini —tidak seketat billboard yang jamak dikenal kalangan dunia usaha.

Jika billboard dipasang pada titik strategis. Melewati perizinan ketat. Tidak boleh disembarang tempat. Dan ditempatkan dengan jumlah yang tidak seenaknya. Tentu tidak gratis. Baliho politik bisa sebaliknya. Bahkan sesukanya.

Bisa dipasang dimana saja para pemasang mau. Estetika kota tidak jadi petimbangan. Suka-suka pula mau pasang berapa lama. Biasanya yang akan menertibkan badan atau panitia pengawas pemilu. Urusan pajak? Mana ada.

Reformasi politik yang meratakan jalan bagi kompetisi terbuka dalam perebutan jabatan-jabatan publik membuat baliho ditengok. Terutama pada saat pemilihan anggota legislatif dan perebutan jabatan eksekutif. Pasar politik menjadi begitu terbuka untuk segenap ikhtiar berkomunikasi dalam skala massal dan kecepatan tinggi.

Mudah dipahami jika para ahli strategi, konsultan, dan sekondan politik menjadikan baliho sebagai sarana kampanye. Pertama, baliho lebih murah dan mudah. Kalau billboard untuk kepentingan promosi produk ditentukan materialnya, baliho politik bisa memakai apa saja. Semampu kandidat atau partai bersangkutan. Ukurannya pun tergantung kocek.

Kedua, kecenderungan masyarakat kita yang menyukai budaya visual, selain lisan. Metode komunikasi yang paling mudah ini memang masih merupakan tumpuan mayoritas masyarakat yang menjadi basis pemilih dalam semua jenis kontestasi politik negeri ini.

Ketiga, tidak seperti iklan pada umumnya yang melibatkan tenaga profesional menangani setiap detil, sehingga dikerjakan dalam tingkat akurasi yang tinggi. Baliho politik biasanya merupakan sumbangan atau “jasa baik” seseorang atau satu pihak yang merasa perlu menyokong seseorang kandidat atau partai. Apakah karena sesama daerah, rekan satu almamater; pokoknya bikin tim sukses, lantik tim relawan, sumbang baliho semampunya. Pun diyakini jumlah baliho terkait dengan pamor dan citra partai atau seorang kandidat. Lebih banyak, lebih baik.

Kuantitas baliho terasa lebih penting, bukan kualitas penyajian artistiknya. Tidak heran, baliho politik sering mengundang senyum, bahkan tertawaan; lebih sering terasa sebagai lelucon daripada sebuah pesan politik dalam tagline menantang dari sepasang calon yang digadang.

Keempat, tingkat penetrasi media yang amat terbatas jumlahnya. Apalagi dalam skala lokal. Memang ada pertumbuhan jumlah suratkabar, tabloid, majalah, radio dan televisi lokal. Namun tidak berarti dibandingkan jumlah penduduk serta lokasi persebaran yang teramat longgar. Sehingga penggunaan media konvensional tidak dipilih. Juga disebabkan tingkat eksekusi kreatif dan estetik yang membutuhkan keahlian tersendiri; baik dalam desain visual maupun penggunaan teks iklan yang bernas.

Dan, baliho bisa meringkas seluruh kerepotan itu. Masalahnya, apakah baliho bisa dibiarkan meringkas segenap problem politik?

Bukan sekadar demokrasi dan tetek-bengek penyelenggaraannya, politik intinya merumuskan program legislasi serta menjalankan pemerintahan. Program legislasi yang berkualitas, di pusat mnaupun daerah, tentu teramat penting. Kekuasaan eksekutif, secara teknis disebut administrasi, membutuhkan ketrampilan manajemen yang, jika tak menguasai rincian, namun mengetahui akar masalah.

Untuk menjadi seorang politisi yang berkeinginan mengisi jabatan legislasi dan pucuk pimpinan eksekutif membutuhkan jam terbang, pengetahuan, serta sentuhan manajerial. Jika tidak, reformasi dan liberalisasi politik yang kita nikmati sebagai salah satu negara demokratis besar akan disederhanakan sebagai politik baliho. Politik yang hanya mengandalkan kejar-kejaran popularitas dengan tebaran baliho dipojok-pojok negeri.

Padahal politik yang kita butuhkan bukan sekadar ditentukan satu hari di bilik suara, namun lima tahun menjalankannya.

Thursday, February 11, 2010

Garda Demokrasi


M. Ichsan Loulembah

Sering disingkat GD, Gus Dur atau Abdurrahman Wahid bisa disebut sebagai apa saja. Ia menggemari seni ketoprak hingga komposisi musik klasik berselera tinggi. Pemahamannya atas seni Timur Tengah, Jawa Tengah, Eropa abad pertengahan, sampai Wina nyaris sepadan. Gus Dur bahkan menghapal lagu-lagu yang sulit ditemukan di laci para penggemar biasa. Tidak heran ia bisa mengulas berbagai bentuk kesenian dengan amat rinci. Demikian halnya dalam bidang kesusteraan.

Tapi, putra Wahid Hasyim ini juga penggemar berat aneka makanan. Lehernya amat dimanjakan untuk berbagai jenis kuliner, walau sambil bersembunyi dari pandangan Sinta Nuriyah, isterinya. Jika para tamunya membawakan makanan, ia akan antusias menyantapnya sambil sesekali mengisahkan hal-hal ringan terkait kelezatan hidangan itu.

Jangan salah, mantan ketua PB NU ini juga penggila sepakbola. Sebelum penglihatannya menurun, ia hapal nama-nama pemain. Bahkan bisa menyodorkan analisa pertandingan lengkap dan setajam komentator profesional.

Dalam dunia tulis-menulis, apalagi. Jauh sebelum menjadi aktivis politik dan mengurusi NU, cucu Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari ini kolumnis rajin. Jalan pikirannya tertulis dalam alur yang bening. Konon, ia bisa mendatangi sebuah kantor penerbitan koran atau majalah, meminjam mesin ketik milik wartawan, ketak-ketik sebentar; sebuah kolom bernas kelar.

Artikelnya bisa menjangkau topik apa saja. Daya jangkau gagasannya kadang membuat banyak pihak terperanjat. Apa yang dipikirkannya selalu mengagetkan. Jika hal kecil yang ditulisnya, artikel itu berbunyi nyaring karena ditulis dari sudut yang baru. Jika menulis hal-hal besar dan esensial, sistematikanya terjaga sembari lincah menjelajahi sudut topik.

Walau kurang becus menjalani kedisiplinan sekolah, isu-isu berat dalam bidang sosial, politik, sejarah, filsafat dan agama seperti disampaikan seorang profesor jika ia yang menyajikan ceramahnya. Ibarat, terlalu banyak ruang dalam otaknya yang luas.

Jejak mantan Presiden RI ini paling kuat dalam perkara demokrasi. Untuk soal pokok ini, dia tidak pernah main-main. Bahkan, seingkali ia berdiri tegak ditengah badai yang dipandangnya langsung atau tersembunyi mengancam demokrasi.

Bagi dia, orang sering mudah mengucapkan demokrasi, namun gentar menyelenggarakan hal-hal pokok yang menjadi tiang utamanya. Isu-isu disekitar persamaan hak, hak asasi manusia, kebhinekaan, diyakininya sebagai fondasi berdirinya rumah Indonesia. Dan, keyakinan itu dipertebal oleh keyakinan agamanya yang menyimpan dasar-dasar berlakunya demokrasi tersebut secara esensial.

Walau terlihat sering berbelok cepat saat menjadi politisi, sejatinya Gus Dur tetap menjaga pokok keyakinannya. Ibarat memainkan sebuah komposisi musik, ketaatan pada partitur tidak mengurungnya dari kemungkinan improvisasi. Inilah yang sering menjadikannya bahan salah pengertian. Baik itu datang dari para pembedanya, sampai khalayak pembelanya.

Ditambah lagi pergaulannya yang nyaris tak bertepi. Mulai dari kiai dari sudut kampung paling pelosok, hingga pemimpin politik di ujung dunia. Sering menjadikannya sulit dikenali sebagai apa.

Itulah mungkin yang menjadikannya begitu mendalami dalam keyakinan paling dasar, apa itu toleransi. Seiring dengan itu, kata toleransi selayaknya tak berdiri sendiri. Kesadaran terhadapnya harus bangun dari sebuah pengalaman atas kesamaan pandangan pada aspek-aspek luhur dan universal.

Sebuah kesejajaran dalam kehidupan dan praktek sosial antar kelompok, harus disertai topangan keyakinan masing-masing. Perbedaan dan kesadaran atasnya, disertai kebersamaan yang berdiri saling bersisian. Toleransi dan keragaman, termasuk dalam soal keberagamaan, nyaris berhimpit dengan keyakinan. Inilah, warisan paling berat yang harus dipikul oleh generasi belakangan pada Gus Dur. Saya menyebut ia, Garda Demokrasi!

Monday, April 6, 2009

Beda SBY dan JK


CELAH

inilah.com - 08/03/2009 - 15:45

Beda SBY dan JK

M. Ichsan Loulembah

SERIUS atau tidak? Itu adalah pertanyaan utama menanggapi pernyataan Muhammad Jusuf Kalla (JK) yang siap menjadi calon presiden (capres) beberapa pekan silam. Nyaris menjalari segala lapisan masyarakat, pertanyaan itu bahkan diucapkan berkali-kali.

Masuk akal. Mengapa? Pertama; bukan sekadar menanggapi sergapan pertanyaan para wartawan, sikap itu disampaikan dalam sebuah konferensi pers. Lebih terencana. Dan, jauh dari kalimat panjang, tersamar dan berkelok, sikap itu disampaikan secara lugas. Sebuah pembalikan yang mengejutkan.

Kedua; bersama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pasangan SBY-JK tetap teratas jika dipertandingkan dengan sejumlah kombinasi pasangan lain, dalam simulasi sejumlah jajak pendapat.

Hanya di kota dan kelompok terdidik prestasi mereka dipertanyakan. Bagi lapisan bawah piramida pemilih, program-program jangka pendek mereka dirasakan.

Ketiga; JK yang menonjolkan kegesitan, serasi bersanding dengan SBY yang mengagungkan kehati-hatian. Ibarat chief operating officer (COO) dalam sebuah perusahaan, JK yang taktis, amat trampil meratakan sejumlah masalah dalam day-to-day politics.

Sementara SBY ibarat seorang chief executive officer (CEO) yang memberi koridor strategis dan menjaga bobot kenegaraannya.

Tidak perlu heran jika selesai JK membereskan sejumlah masalah krusial, SBY hadir di panggung untuk 'meresmikannya'. Coba kita ingat rangkaian fakta setelah masalah Aceh dan Poso mendapatkan sentuhan JK.

Bukan hanya itu, JK bahkan bisa mengomandani 'pasukan pemerintah' dalam menghadapi sejumlah serangan serta berbagai ganjalan politik di parlemen. Pasukan intinya pun fraksi Partai Golkar (PG) yang ia pimpin.

Keempat; tak kurang JK sendiri yang secara konsisten tetap 'menjaga kelasnya' sekadar jadi wapres/cawapres saja. Sebuah sikap yang realistis dan logis saat dihadapkan dengan populasi pemilih di Jawa yang amat besar.

Tentu mengejutkan saat JK memilih jalan berpisah, dengan intonasi politik yang menggelegar pula. Pertanyaannya, bagaimana masa depan JK dan SBY setelah tidak bersama?

Apakah sikap keras JK hanya kemarahan akibat pernyataan Ahmad Mubarok tidak santun dan ceroboh? Ataukah ini akumulasi dari 'ketegangan dalam rumah tangga' politik pasangan itu?

Pertama; relasi JK dan SBY berhulu pada gaya kepemimpinan dan pilihan kebijakan yang mereka yakini. Jika JK memilih jurus-jurus cepat untuk menyingkat penyelesaian soal-soal menimbun. SBY justru menempuh langkah-langkah panjang, menebalkan beragam pertimbangan serta mengukur harmoni.

Gaya ini secara taktis dan jangka pendek dapat bersisian, namun secara strategis dan jangka panjang bisa bertubrukan. Mudah diingat gradasi penurunan kehangatan hubungan keduanya menyusut perlahan mulai saat pelantikan hingga masa menjalankan pemerintahan.

Kedua; relasi JK dan SBY bukan semata hubungan dua aktor politik. Keduanya telah menjelma menjadi sebuah bangunan politik yang kompleks; walau dengan karakter berbeda.

JK memimpin Partai Golkar yang, seperti ia ucapkan, ibarat sebuah perusahaan terbuka dengan shareholders tersebar; tak ada yang memiliki saham amat mayoritas. Tugas pemimpinnya semata mengelola berbagai pendapat, pikiran, bahkan perasaan dan kemarahan para pemegang saham yang tersebar itu (baca: Dewan Pimpinan Daerah partai tersebut).

SBY, sebaliknya. Walau Partai Demokrat (PD) secara formal berideologi terbuka, lebih ibarat perusahaan yang belum sepenuhnya listed company. Ibarat perusahaan keluarga; ada pemegang saham mayoritas/dominan.

Jika SBY selaku chairman harus mengendalikan PD yang kemampuan personalianya terbatas dan struktur 'kepemilikan' tak merata; ibarat saat Lee Iacocca dulu membopong Chrysler bertempur dalam medan persaingan ketat.

Sementara JK harus memamerkan ketangkasannya mengelola PG; ibarat Akio Toyoda mengelola Toyota yang telah memimpin pasar, memiliki personalia kuat namun dengan struktur kepemilikan yang (lebih/telah) tersebar.

Penulis adalah Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI dan pendiri SIGI Indonesia [L1]

Merampok Konsumen


CELAH

inilah.com - 21/01/2009 - 09:54

Merampok Konsumen

M. Ichsan Loulembah

JEDA dari sebuah diskusi politik serius, saya mencari celah menikmati udara pantai. Di tengah kota Makassar yang makin rapi. Menjelang akhir tahun lalu, saya duduk di bibir pantai Losari yang sibuk.


Di sebuah kedai, saya memesan semangkuk bakso, sepiring otak-otak (hidangan dari ikan tenggiri) dan segelas es teler khas kedai itu.

Aneka hidangan itu tentu lezat. Namun, kolom ini tidak sedang mengantar pembaca ke sebuah petualangan kuliner atau wisata bahari.

Inti tulisan ini justru dimulai saat saya akan membayar. Sambil mendatangi sang kasir, saya menyerahkan sejumlah uang. Dia menerimanya sambil memencet tombol-tombol cash register. Tak menatap saya sama sekali.

"Pak, punya uang logam seratusan? Kembalian uang bapak empat ratus rupiah, saya tidak punya. Kalo bapak punya seratus, saya akan kembalikan lima ratus rupiah," katanya. "Wah, saya tidak punya," jawab saya.

Lebih banyak memelototi alat hitungnya, dia memberikan uang kembalian. Tentu kurang empat ratus rupiah.

Di Jakarta, di sebuah restoran cepat saji, saya menerima uang kembalian yang kurang dua ratus lima puluh rupiah. Alasannya; idem ditto dengan kasus di atas.

Ada lagi, setelah menuntaskan transaksi di sebuah mini market dekat kompleks perumahan, saya menerima kembalian yang tidak cocok dengan kwitansi.

Nominal dari berbagai transaksi tadi memang kecil. Tapi, coba kita bayangkan; berapa ribu, bahkan juta, transaksi berlangsung setiap hari. Di seluruh penjuru negeri.

Anehnya, hal-hal itu tak jamak di warung-warung kecil dan kedai makan tradisional (bukan sekadar sajian makanannya tradisional, namun tata cara bertransaksinya pun masih konvensional).

Dalam kelompok kasus pertama, pricing policy menerakan angka-angka yang tak bulat. Ekornya ada imbuhan pecahan di bawah lima ratusan. Dan mereka tak punya uang kembalian. Di laci cash register mereka hanya tersedia uang pecahan terkecil lima ratus rupiah.

Sementara itu, pada kelompok warung sederhana, nilai harga ditetapkan dalam bulatan. Atau, seandainya harga setiap jenis makanan atau barang imbuhannya ratusan, para pedagang kecil itu tak ragu memberikan kembalian yang pasti pas!

Itu baru kasus sederhana. Coba kita perhatikan, berapa kali kita membayar jasa parkir tanpa mendapatkan bukti pembayaran. Tentu dengan harga zona (zoning) yang seenaknya ditetapkan sang tukang parkir.

Jika kita meminta bukti pembayaran, sang pemarkir (lebih terasa sebagai pemalak, sebenarnya) akan mengumpat. Atau minimal ngedumel. Lebih parah lagi, pengendara lain akan membunyikan klakson sambil berteriak agar kita segera bergerak.

Saya pernah menanyakan secara serius, ke mana saja uang tersebut disetorkan. Dengan sistematis si tukang parkir akan merinci keberbagai dinas, instansi, dan oknum pejabat setempat. Pengantar setoran; seorang yang disebutnya sebagai 'bos'.

Di sebuah daerah kabupaten di Jawa Barat, pemerintah daerah meminta jasa konsultan pajak. Pasalnya, sejumlah pegawai negeri sipil (PNS) daerah itu menelisik jumlah sebenarnya potongan pajak penghasilan mereka.

Karena gaji mereka dibayar tanpa akurasi yang rigid. Jumlah PNS langsung diambil rata-rata dengan angka average.

Setelah diperiksa oleh konsultan pajak, yang harus dibayarkan tahunan ternyata hanya separuh dari jumlah selama ini. Dan itu berarti miliaran rupiah.

Belum lagi saat menerima gaji (jika tanpa melalui transfer), setiap PNS akan menghadapi juru bayar yang tidak menyediakan 'uang kecil'. Karena, setelah potongan wajib sana-sini, setiap PNS mendapatkan jumlah gaji dan tunjangannya diekori angka tak bulat. Para PNS itu malu atau mengentengkan masalah tersebut.

Mari kita bayangkan. Berbagai 'kejadian kecil' di atas telah bertahun-tahun. Terjadi pada banyak sektor dan jenis transaksi. Apakah berlebihan jika kita menyebutnya: merampok konsumen secara massal?

Penulis adalah Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI [L1]

Kebebasan bukan Keberingasan!


CELAH

inilah.com - 13/02/2009 - 10:45

Kebebasan bukan Keberingasan!

M. Ichsan Loulembah

HAJI Abdul Aziz Angkat telah mangkat. Namun kematiannya di tengah para demonstran penganjur pemekaran Provinsi Tapanuli harus terus kita ingat.

Pertama; sebagai ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatra Utara, almarhum adalah simbol daerah, negara, dan rakyat di daerahnya. Sulit dimengerti, seorang pimpinan lembaga perwakilan politik, yang harus dibaca sebagai simbol berdaulatnya rakyat di daerah, harus menerima perlakuan sebrutal itu.

Apapun alasannya, secara formal; negara memang seharusnya dilihat dan diselenggarakan dengan cara-cara formal; seorang Ketua DPRD adalah wajah daulat rakyat.

Kedua; demonstrasi bukanlah demokrasi. Demonstrasi; jika diselenggarakan dengan keliaran dan brutal; sesungguhnya menginjak-injak demokrasi. Karena, selain mengajarkan kebebasan mengekspresikan pendapat (berbeda maupun sejajar), demokrasi juga menganjurkan teknik, prosedur, dan mekanisme yang beradab serta menghormati perbedaan pendapat. Bahkan itulah inti demokrasi.

Apalagi saat terjadi perhadapan antara lembaga perwakilan rakyat formal (yang terpilih lewat prosedur dan tata cara demokratis) berhadapan dengan intitusi dan kumpulan orang-per-orang yang keterwakilannya partikelir.

Memang, demonstrasi sering menjadi terobosan di tengah mekanisme demokrasi yang terlalu prosedural (dalam banyak kasus bahkan terjerembab menjadi birokratis). Namun, itu bukan alasan untuk memilih jalan liar.

Ketiga; lembaga-lembaga yang dibentuk untuk memenuhi syarat-syarat terbangunnya arsitektur demokrasi selayaknya diperlakukan secara terhormat. Salah satu caranya: perlu jaminan protokoler dan pengamanan yang patut. Bahkan ketat, jika perlu.

Bukan saja pada kasus DPRD Sumatra Utara; terlalu banyak kejadian di berbagai penjuru negeri yang menggambarkan demonstrasi meluncur menjadi anarkisme di berbagai kantor DPRD Provinsi, Kabupaten, dan Kota. Ingatkah kita berapa kali pagar Kompleks Parlemen (tempat berkantor DPR, DPD, MPR) diganti karena dirobohkan demonstran?

Di berbagai sudut dunia, jika mengunjungi kantor lembaga sejenis, kita harus memenuhi sejumlah prosedur ketat. Termasuk saat menyampaikan aspirasi dan pendapat (perorangan atau berkelompok) sebagai hak demokratis.

Bahkan, di berbagai tempat disyaratkan semacam dress code. Para asisten serta staf Anggota Parlemen harus menggunakan standar busana yang disyaratkan. Hal yang juga berlaku bagi para jurnalis yang sehari-hari meliput di sana, termasuk para pengunjung dan pengunjuk aspirasi. Seingat saya, di negeri ini, hanya kantor Presiden dan Wakil Presiden yang tanpa kompromi memberlakukannya.

Pasti segenap perangkat protokoler itu bukan dimaksudkan agar lembaga-lembaga negara berjarak dengan rakyatnya. Juga bukan untuk membatasi.

Itulah cara memulai pembangunan budaya politik. Itu pula awal membangun dan memperkuat peradaban demokrasi. Dan, itu bisa (sekali lagi, hanya bisa) dimulai dari cara-cara 'sederhana' tersebut.

Sesederhana contoh di mana hampir semua aktivitas kemasyarakatan dan kekeluargaan (arisan, khitanan, pengajian, kebaktian, pernikahan sampai perkabungan) kita menggunakan pakaian yang pantas serta sesuai dengan karakter masing-masing kegiatan tersebut? Kita melakukannya sebagai penghormatan kepada penyelenggara. Termasuk didalamnya, penghargaan kepada diri kita sendiri.

Menurut hemat saya, demokrasi substansial hanya bisa digapai jika kita mendakinya dengan penghormatan pada hal-hal kecil dan prosedural. Dan, jika tidak dilakukan secara procedural dan beradab, demonstrasi bukanlah cara merawat demokrasi.

Di atas segalanya, keberingasan bukanlah kawan dari kebebasan. Itulah cara kita belajar dan memberi penghormatan pada wafatnya Haji Abdul Aziz Angkat.

* Penulis adalah Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI

Sharon, Palestina, Kita


Celah

inilah.com - 08/01/2009 - 07:54

Sharon, Palestina, Kita

M. Ichsan Loulembah

ARIEL Sharon adalah figur banyak muka. Dia pernah di Partai Likud, partai garis keras Israel. Selaku perdana menteri, ia yang menarik pasukan dan pemukim Yahudi dari Jalur Ghaza, dan Tepi Barat.

Namun, jenderal berbadan tambun ini pula yang pernah menyuruh agar rakyat Israel membanjiri sejumlah wilayah Palestina. Bahkan, hingga ke puncak-puncak bukitnya.

Pemimpin sebuah komite imigran Yahudi asal Rusia/Uni Soviet (ibunya lebih lancar berbahasa Rusia ketimbang Ibrani), bahkan ditakuti bukan hanya saat menjadi tentara. Sharon buas bahkan saat menjadi Menteri Perumahan. Dialah yang dengan brutal menggusur perumahan rakyat Palestina dan menggantikannya dengan pemukiman kaum Yahudi.

Menteri tanpa Portofolio (1983-1984), Menteri Perdagangan dan Industri (1984-1990) ini juga bergabung di kabinet Benyamin 'Bibi' Netanyahu sebagai Menteri Infrastruktur nasional (1996-1998), dan Menteri Luar Negeri (1998-1999).

Bengis! Pers internasional bahkan punya istilah banyak (dan semuanya seram) bagi veteran perang Yom Kippur ini: Jenderal Haus Darah, Pahlawan Hitam, Awan Kelabu Bagi Timur Tengah, Zionis Berdarah Panas, Kreator Ladang Pembantaian, Sang Kontroversial, dan Sang Jagal.

Selain Moshe Dayan, Ariel Sharon adalah figur yang paling diingat publik internasional. Dayan karena sebelah matanya ditutup ala bajak laut, Sharon karena badannya yang gempal ibarat buldoser.

Buldoser! Kata itu tepat menggambarkan Sharon saat memimpin pembantaian di Shabra dan Shatilla, kamp pengungsi Palestina di Beirut barat, Lebanon. Shabra & Shatilla Massacre, istilah generik untuk peristiwa itu, memang eksekutor lapangannya Bashir Gemayel dan milisi Falangis, Lebanon.

Tapi dunia tak bisa dikibuli! Pembersihan etnik 16 September 1982 yang membunuh 500-an orang tak berdosa itu dikendalikan Ariel Sharon selaku Menteri Pertahanan di kabinet Menachem Begin, famili jauhnya. Bahkan, rencana itu disusun secara rahasia tanpa sepengetahuan Knesset.

Kepala batu! Sewaktu mengambil-alih kepemimpinan Partai Likud, ia menentang berbagai upaya perdamaian yang digagas Ehud Barak, Perdana Menteri (1999-2001) dari Partai Buruh. Tentangannya dilakukan secara demonstratif dengan melakukan kunjungan kontroversial ke Masjidil Aqsa (Al-Haram Al-Sharf) dalam kawalan ketat 1.000 tentara Israel siap tempur. Lebih mendekati kunjugan ke medan laga ketimbang ke tempat berdoa!

Sewaktu menjadi perwira muda pun, ia, dengan Unit 101 (bentukannya pada 1950) bahkan membangkang dari strategi Menteri Pertahanan Moshe Dayan.

Ia menerjunkan pasukan di Malta Pasha, Semenanjung Sinai, dekat Terusan Suez, tanpa sepengetahuan Moshe Dayan. Sebanyak 38 anak buah dari pasukan elit korban itu tewas, 120 lainnya luka-luka.

Pasukan bergelar pasukan kepala batu ini bahkan menerobos wilayah kedaulatan Yordania. Di perkampungan Gibya, pasukannya membantai 69 warga Arab; kebanyakan anak-anak dan perempuan. Entah untuk apa pasukan kekar terlatih itu membunuh manusia yang tak bias berperang, bahkan sekadar bertahan itu.

Komplikatif dan tak terduga! Ibarat tikungan tak terduga, Sharon berbalik arah. Ia meninggalkan Likud (partai garis keras Yahudi) dan membentuk partai baru Kadima yang berideologi kiri-tengah. Partai ini memenangkan pemilu dan membentuk pemerintahan pada 2006 dengan dukungan partai Buruh dan sejumlah partai kecil lainnya.

Dengan partai baru ini pulalah, Ariel Sharon tampil dengan muka beda. Ia bahkan datang ke Red Sea Summit di Aqaba, Yordania, untuk berunding dengan Mahmoud Abbas, presiden Palestina.

Bengis, buldoser dan kepala batu! Itulah aneka muka Ariel Sharon. Itu pula wajah Israel.

Komplikatif dan tak terduga! Itulah peta soal di Palestina yang mewarnai sekujur wilayah Timur Tengah.

Di negeri kita, aneka protes, demonstrasi dan bantuan digelorakan. Sebagian pejabat dan pengamat mewanti-wanti agar isu Gaza dan Palestina tidak dilihat sebagai isu keagamaan.

Karena di Indonesia yang rajin berdemo mayoritas komunitas Islam. Karena di Palestina juga ada orang yang bukan Islam. Karena di tanah Palestina bahkan lahir Nabi Isa. Karena Suha Daoud Tawil, istri mendiang Yasser 'Abu Ammar' Arafat, penganut Kristen yang lahir di Tepi Barat, dan besar di Nablus dan Ramallah.

Soalnya di sini; tidak terasa kegiatan politik, protes dan demonstrasi jalanan yang dilakukan dengan tema kebangsaan. Waktunya untuk memberikan dukungan bagi rakyat Palestina, melintasi pagar-pagar politik dan keyakinan keagamaan.

Itu, jika Palestina kita ingin lihat sebagai tragedi kemanusiaan, dan kedaulatan kebangsaan.

Penulis adalah Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI [L1]

Thursday, February 26, 2009

Mengabdi Tak Harus di Parlemen


Sinar Harapan - Selasa, 24 Februari 2009

PEMILU 2009

Ichsan Loulembah: Mengabdi Tak Harus di Parlemen

JAKARTA - Ketika orang ramai-ramai mencalonkan diri untuk duduk di
parlemen, justru sikap yang sebaliknya diambil anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) Ichsan Loulembah. Dia memilih untuk tidak
maju baik sebagai calon DPR maupun DPD.

"Untuk berbuat atau mengabdi itu tidak harus di parlemen, kita bisa
mengabdi sebagai profesional, " tutur Ichsan kepada SH.

Memang, papar Ichsan, ada banyak pihak yang kecewa karena dirinya
tidak maju lagi sebagai calon DPD. Tapi, dunia belum kiamat jika
tidak duduk di parlemen. Sebab, niat untuk mengabdi itu bisa
dilakukan dengan berbagai cara.

"Saya besar di dunia profesional, " ujar anggota DPD dari Sulawesi
Tengah ini.

Dia mengatakan, sesungguhnya peluang untuk menjadi caleg, tidak cukup
hanya karena ada demokratisasi yang memungkinkan untuk itu. Tapi,
juga membutuhkan persiapan yang matang sebagai politisi.

"Tidak cukup hanya populer, tapi juga perlu berpengetahuan, memiliki nyali untuk isu sensitif. Jadi, perlu persiapan matang untuk itu,"
katanya.

Satu hal lagi, Ichsan melihat kalau energi publik habis tersedot
untuk persoalan politik. Padahal, energi itu masih dibutuhkan
persoalan yang lebih penting.

"Sekarang ini, masyarakat hanya membicarakan, caleg, politik dan
pemilu. Itu terjadi di ruang publik. Ini perlu diimbangi dengan
kegiatan di luar politik. Energi terlalu besar untuk politik," tutur
Ichsan.

Pria kelahiran Palu tahun 1966 ini, mengatakan, ada fenomena yang
belakangan ini terjadi, di mana semua calon bertarung habis-habisan
untuk menang dalam pemilu. Padahal, keputusan untuk habis-habisan itu
harus dilakukan ketika memperjuangkan kepentingan masyarakat di
parlemen.

"Kalau habis-habisan untuk menang, maka nanti kalau sudah menang,
tidak bisa lagi habis-habisan. Justru, akan memulihkan tenaga dan
mungkin dana yang sudah keluar," kata alumnus Universitas Tadulako
Palu ini.

Mengenai perjuangan DPD ke depan, Ichsan menuturkan, tentu berharap
DPD lebih baik lagi. Namun, dengan adanya orang parpol masuk di DPD,
diharapkan akan menjadi jembatan daerah dan proses politik nasional.
Dia juga berharap hal itu akan melancarkan upaya menyempurnakan UUD
1945.

"Tapi, saya melihat, kita tidak bisa menerapkan bikameral seperti
di negara lain. Saya kira, kehadiran parpol memang harus diposisikan
sebagai pilar utama demokrasi, terlepas dari berbagai kritik kita
kepada parpol," paparnya. (daniel tagukawi)

Thursday, December 18, 2008

Hospital tanpa Hospitality


inilah.com

CELAH

18/12/2008 18:54

Hospital tanpa Hospitality

M. Ichsan Loulembah

DALAM tiga bulan belakangan, saya mondar-mandir ke sejumlah rumah sakit. Di Palu, ayah saya dirawat beberapa waktu, hingga akhirnya ia minta dikeluarkan dari rumah sakit utama milik pemerintah, menjelang Lebaran tahun ini.

Di Jakarta, tiga kerabat dekat (adik ipar perempuan, mertua laki-laki dan mertua perempuan) dan putri bungsu, membuat saya memiliki cukup waktu mengamati denyut berbagai rumah sakit. Berikut sekadar catatan dan kesan saya.

Pertama, secara medik, para dokter dan paramedis kita kemampuannya telah lumayan. Terbukti, putri saya berangsur pulih setelah ditangani oleh para juru rawat beserta dokter spesialis.

Di berbagai rumah sakit bahkan diadakan simposium, workshop, seminar, diskusi sampai talk show terkait perkembangan metode dan teknologi kesehatan mutakhir.

Kedua, penataan ruang (baik interior maupun exterior, termasuk berbagai fasilitas penunjang) masih terlalu kaku. Ini meneguhkan kesan angker. Dan, penataan ruang dan wajah arsitektural kaku serta seadanya (untuk tidak menggunakan kata sembarangan) bertalian dengan peluang sehat atau tidaknya penderita.

Betapa sempitnya ruang-ruang di rumah sakit. Toilet (kecuali di beberapa rumah sakit swasta mahal), baik untuk umum maupun kamar rawat inap, tidak terurus secara optimal. Lift yang kusam. Tempat parkir yang ruwet. Tempat penjual minuman, makanan, atau penganan yang penataannya menjauhi estetika.

Ketiga, komersialisasi berlebihan yang memanfaatkan keawaman pasien dan keluarganya. Petugas medis dan staf nonmedis jamak memberikan pilihan memojokkan.

Alih-alih mencari jalan keluar yang efektif, apatah lagi efisien; keluarga pasien lebih merasa ditakut-takuti ketimbang dinasihati. Rentetan nasihat mereka lebih terdengar sebagai jalan buntu ketimbang jalan keluar. Bahkan, ada rumah sakit yang melarang keluarga pasien membawa perlengkapan tidur saat menjaga; karena mereka menyewakannya.

Yang disajikan sejumlah kemungkinan berujung pada aneka jenis layanan (medik ataupun nonmedik), ujungnya terkait dengan naiknya pembiayaan. Jika keluarga pasien terlihat menimbang-nimbang, mereka tak segan menjelaskan aspek-aspek yang menakutkan jika saran tersebut tidak diambil. Sambil menutupnya dengan kalimat, "Kami tidak bertanggung jawab jika situasinya memburuk lho!".

Sekilas, apa yang mereka paparkan terkesan membantu dan bertanggung jawab. Namun, jika dilihat dari sudut keluarga pasien, hal itu gabungan antara lepas tangan dan pemojokan. Kemungkinan dalam kemampuan membayar akan ditelisik dengan rincian yang terlatih dan sempurna.

Rangkaian proses administrasi (bisa dibaca sebagai aktivitas bayar-membayar) berlangsung dalam nuansa transaksi yang kering dan ketat. Sulit membedakannya dengan transaksi di sektor perdagangan atau jasa lainnya.

Terkait dengan kenyataan itu, poin keempat dari kondisi faktual rumah sakit kita adalah merosotnya derajat ketulusan dan keramahan.

Betapa kering senyum mereka (bahkan ketus bagi penghuni kamar rawat murah) saat memeriksa tekanan darah, menanamkan/menyabut jarum infus, memberi obat, dsb. Di beberapa tempat, jika menegur pengunjung, bagian pengamanan segalak satpam bank.

Padahal, inti dari pengelolaan rumah sakit adalah ketulusan dan keramahan. Bukankah proses penyembuhan dan penyehatan tidak semata ditentukan oleh obat, ketrampilan, dan teknologi medis? Apa jadinya hospital tanpa hospitality?

Penulis adalah Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI [L1]

Balada Marcella


inilah.com

CELAH

10/12/2008 01:09

Balada Marcella

M. Ichsan Loulembah

SELAIN kasus kekerasan, Marcella juga sedang menjadi berita karena penolakan sekelompok masyarakat atas pengambilan gambar film Lastri yang diproduserinya. Putri artis 1980-an Tetty Liz Indriaty ini ditahan bersama sejumlah rekannya.

Masalah ini menjadi konsumsi publik karena melibatkan sejumlah nama terkenal. Pembalap berkelas internasional Ananda Mikola dan adiknya Moreno (belakangan dilepaskan karena kurang bukti keterlibatan). Dan jangan lupa, Tinton Soeprapto (ayah Ananda) juga tersohor. Pembalap terkenal pada zamannya ini masih figur penting dan promotor di dunia balap negeri ini. Dunia yang juga kerap dicitrakan glamour.

Pesohor (publik kita lebih sering dijejali istilah selebriti, terjemahan langsung dari celebrity) dan ketersohoran memang seperti hidup dalam akuarium. Segala tindak-tanduk mereka diamati, bahkan ditunggu beritanya. Berita baik, apatah lagi kabar buruk. Doyok, Polo, Derry, Roy Marten, Ahmad Albar, dan sederet lagi nama lain, pernah merasakan lembabnya bui.

Kembali ke Ananda dan Marcella, situasi makin memojokkan mereka. Opini publik lebih memihak ke Agung Setiawan, korban aksi main hakim sendiri mereka. Saat kolom ini ditulis, sekitar ribuan pengacara (dari berbagai asosiasi) dikabarkan berdiri di belakang Agung, desainer interior kantor Marcella.

Bahwa belakangan sejumlah fakta miring di masa lalu Agung mencuat ke permukaan, tentu tak bisa membiarkan anak-anak muda terkenal dan menjadi panutan generasinya itu main kekerasan.

Mengapa mereka enteng dan kurang kontrol diri dalam aktivitas yang harus menggunakan prosedur hukum?

Pertama, saya kira ini ujian bagi kepolisian untuk membuktikan; jika sebuah perkara dibawa ke hadapan mereka, masalah akan selesai dengan singkat. Bukan sebaliknya. Juga bagi aparat hukum lain.

Pengetahuan umum di masyarakat; urusan kita akan jadi berat, rumit dan lama jika melibatkan aparat resmi. Jangan heran aparat 'nonnegara' yang menawarkan jasa menangani sengketa antar warga, bermekaran. Sebagian tetap menjalin hubungan dengan institusi yang semestinya.

Kedua; kita, masyarakat, harus berhenti memanjakan para pesohor. Memanjakan mereka, kita membuat mereka terlena. Berapa banyak tayangan televisi cuma memberitakan hal remeh-temeh di sekitar kehidupan para pesohor. Belanja di mana dan akhir pekan ke mana, anaknya ulang tahun menyewa badut di mana, harus diberitakan.

Seakan itu semua layak dan dibutuhkan masyarakat. Padahal, tayangan itu menggunakan public domain bernama frekwensi yang diberikan negara pada para pengelola siaran. Bukan pada tayangan di pay tv atau cable tv.

Saking banyaknya kebutuhan berita selebritas, konon sejumlah isu sengaja diciptakan untuk mendongkrak atau menahan popularitas seorang artis atau sebuah karya.

Atau, para pesohor yang merebut jam-jam penting siaran televisi dan halaman muka media cetak saat menghadapi hukum. Secara singkat mereka kembali mengunjungi kamar-kamar kita dengan aneka tayangan; bukan lagi sebagai pesakitan, namun bintang utama sebuah pertunjukan.

Marcella, seperti banyak pesohor lain di muka bumi ini, memang harus menerima nasib sebagai milik publik. Tak ada yang luput dari mata, telinga bahkan emosi publik. Tatapan publik yang sama, berubah cepat; dari mengelus menjadi menggilas.

* Penulis adalah Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI [L1]

Mahasiswa, Kata, Batubata


inilah.com

CELAH

19/11/2008 15:09

Mahasiswa, Kata, Batubata

M. Ichsan Loulembah

ALIH-ALIH rajin membuat sarasehan, mahasiswa kini lebih gemar tawuran. Di banyak sudut negeri, setiap hari adegan kekerasan yang jauh dari sportivitas itu kita saksikan.

Kekerasan bahkan terjadi saat mereka memprotes sebuah kebijakan. Yang anehnya, walau terjadi di berbagai tempat dan kampus berbeda, mereka kompak memilih jenis kegiatan ini. Jika urusannya unjuk rasa, maka sentuhan akhirnya adalah bakar ban bekas.

Entah apa kelebihan, kekuatan, apalagi keistimewaan aksi ini; selain memacetkan jalanan yang digunakan publik, merusak jalan yang dibangun dengan anggaran tak sedikit, bakuhantam dengan aparat keamanan. Bahkan, dalam beberapa kasus, mereka berhadapan dengan masyarakat yang masygul.

Sedihnya, atas nama publik pula seringkali kegiatan itu dilakukan. Padahal tema yang diprotes baik dan layak diprotes: harga berbagai barang dan jasa primer naik, biaya sekolah memberatkan, hingga penggusuran warga dan pelanggaran hak asasi manusia. Niat baik berakhir dengan cara sebaliknya.

Itu kalau mereka unjuk rasa memprotes sebuah kebijakan. Lain lagi jika terjadi perselisihan antarmereka.

Beberapa hal patut dicatat jika terjadi perselisihan antar para insan yang ada di balik tembok akademis ini.

Pertama, tawuran atau perkelahian secara rombongan jadi pilihan penyelesaian perkara. Apakah antarkampus, sesama almamater tapi beda fakultas sampai perkelahian antarjurusan. Bukannya memilih satu-lawan-satu yang lebih jantan dan sportif. Katakanlah, jika pilihan mereka memang secara kekerasan.

Padahal, sebagai insan akademis, kekuatan mereka justru pada individualitas. Di luar hal-hal bersifat non-akademis, kinerja dan prestasi seorang mahasiswa berpokok pada kemampuan dirinya sendiri. Belajar, meneliti, berdiskusi; memang dilakukan bersama, namun itu bersifat sekunder.

Aspek primer seorang mahasiswa justru pada kemampuan refleksi, analisis, komunikasi dan keluasan informasi; sumbunya adalah diri sendiri.

Aspek itulah yang mereka tinggalkan. Berkerumun, membuat blokade di jalan raya, menggebrak, menyerang kampus/fakultas/jurusan sebelah. Sebuah 'jalan komunal' yang harus disalahkan.

Kedua, 'kualitas' kekerasannya makin menakutkan. Saling lempar batu secara massal, ada yang mengacung-acungkan senjata tajam. Tak sedikit yang menyiapkan bom molotov. Lingkungan sekitar tercipta ibarat kerusuhan antargang, vendetta para mafia, atau perang zaman tribal. Gerombolan anak-anak manis itu bergemuruh ibarat mesin pembunuh.

Pemicunya rupa-rupa. Sejak urusan pribadi sampai 'sentimen korps'. Berebut pacar, senggolan di pentas seni kampus, hingga pertandingan olahraga yang dibumbui tukar cemooh; tajuk yang jamak memicu perkelahian.

Mungkin ada yang salah pada sistem pengelolaan dan metode pendekatan dalam pendidikan kita. Barangkali ada masalah dalam manajemen sarana dan kurikulum pendidikan. Tapi itu bukan alasan membenarkan kekerasan mahasiswa yang (seharusnya) menjadi inti dan tumpuan moral/intelektual masyarakat itu.

Selayaknya kampus tidak lagi melindungi mereka. Tidak pantas kampus menjadi benteng perlindungan para 'kriminal terdidik' itu. Apalagi jumlah biang kerusuhan pasti teramat kecil, dibanding mahasiswa rajin belajar: mereka yang ingin mengangkat derajat keluarganya lewat pendidikan, anak-anak orang miskin yang bersungguh-sungguh menyiapkan masa depan lebih baik.

Para petinggi perguruan tinggi wajib bekerja di atas standar. Tidak mengelola institusinya dalam skema project approach. Para gurubesar selayaknya merasa bertanggungjawab dan memperluas imajinasi agar dapat mengembalikan perguruan tinggi sebagai tempat menempuh pendidikan tertinggi. Bukan sebaliknya.

Mengembalikan para mahasiswa ke ruang-ruang refleksi, menajamkan daya kreasi, serta menantang mereka dengan diskusi dan komunikasi. Sebab, perguruan tinggi (sebagaimana misi dan adab yang hendak ditularkan ke masyarakat sekitarnya) bukan sarana melempar batubata, tapi tempat menukar kata.

Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI [L1]