Monday, April 6, 2009

Kebebasan bukan Keberingasan!


CELAH

inilah.com - 13/02/2009 - 10:45

Kebebasan bukan Keberingasan!

M. Ichsan Loulembah

HAJI Abdul Aziz Angkat telah mangkat. Namun kematiannya di tengah para demonstran penganjur pemekaran Provinsi Tapanuli harus terus kita ingat.

Pertama; sebagai ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatra Utara, almarhum adalah simbol daerah, negara, dan rakyat di daerahnya. Sulit dimengerti, seorang pimpinan lembaga perwakilan politik, yang harus dibaca sebagai simbol berdaulatnya rakyat di daerah, harus menerima perlakuan sebrutal itu.

Apapun alasannya, secara formal; negara memang seharusnya dilihat dan diselenggarakan dengan cara-cara formal; seorang Ketua DPRD adalah wajah daulat rakyat.

Kedua; demonstrasi bukanlah demokrasi. Demonstrasi; jika diselenggarakan dengan keliaran dan brutal; sesungguhnya menginjak-injak demokrasi. Karena, selain mengajarkan kebebasan mengekspresikan pendapat (berbeda maupun sejajar), demokrasi juga menganjurkan teknik, prosedur, dan mekanisme yang beradab serta menghormati perbedaan pendapat. Bahkan itulah inti demokrasi.

Apalagi saat terjadi perhadapan antara lembaga perwakilan rakyat formal (yang terpilih lewat prosedur dan tata cara demokratis) berhadapan dengan intitusi dan kumpulan orang-per-orang yang keterwakilannya partikelir.

Memang, demonstrasi sering menjadi terobosan di tengah mekanisme demokrasi yang terlalu prosedural (dalam banyak kasus bahkan terjerembab menjadi birokratis). Namun, itu bukan alasan untuk memilih jalan liar.

Ketiga; lembaga-lembaga yang dibentuk untuk memenuhi syarat-syarat terbangunnya arsitektur demokrasi selayaknya diperlakukan secara terhormat. Salah satu caranya: perlu jaminan protokoler dan pengamanan yang patut. Bahkan ketat, jika perlu.

Bukan saja pada kasus DPRD Sumatra Utara; terlalu banyak kejadian di berbagai penjuru negeri yang menggambarkan demonstrasi meluncur menjadi anarkisme di berbagai kantor DPRD Provinsi, Kabupaten, dan Kota. Ingatkah kita berapa kali pagar Kompleks Parlemen (tempat berkantor DPR, DPD, MPR) diganti karena dirobohkan demonstran?

Di berbagai sudut dunia, jika mengunjungi kantor lembaga sejenis, kita harus memenuhi sejumlah prosedur ketat. Termasuk saat menyampaikan aspirasi dan pendapat (perorangan atau berkelompok) sebagai hak demokratis.

Bahkan, di berbagai tempat disyaratkan semacam dress code. Para asisten serta staf Anggota Parlemen harus menggunakan standar busana yang disyaratkan. Hal yang juga berlaku bagi para jurnalis yang sehari-hari meliput di sana, termasuk para pengunjung dan pengunjuk aspirasi. Seingat saya, di negeri ini, hanya kantor Presiden dan Wakil Presiden yang tanpa kompromi memberlakukannya.

Pasti segenap perangkat protokoler itu bukan dimaksudkan agar lembaga-lembaga negara berjarak dengan rakyatnya. Juga bukan untuk membatasi.

Itulah cara memulai pembangunan budaya politik. Itu pula awal membangun dan memperkuat peradaban demokrasi. Dan, itu bisa (sekali lagi, hanya bisa) dimulai dari cara-cara 'sederhana' tersebut.

Sesederhana contoh di mana hampir semua aktivitas kemasyarakatan dan kekeluargaan (arisan, khitanan, pengajian, kebaktian, pernikahan sampai perkabungan) kita menggunakan pakaian yang pantas serta sesuai dengan karakter masing-masing kegiatan tersebut? Kita melakukannya sebagai penghormatan kepada penyelenggara. Termasuk didalamnya, penghargaan kepada diri kita sendiri.

Menurut hemat saya, demokrasi substansial hanya bisa digapai jika kita mendakinya dengan penghormatan pada hal-hal kecil dan prosedural. Dan, jika tidak dilakukan secara procedural dan beradab, demonstrasi bukanlah cara merawat demokrasi.

Di atas segalanya, keberingasan bukanlah kawan dari kebebasan. Itulah cara kita belajar dan memberi penghormatan pada wafatnya Haji Abdul Aziz Angkat.

* Penulis adalah Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI

No comments: