Monday, April 6, 2009

Sharon, Palestina, Kita


Celah

inilah.com - 08/01/2009 - 07:54

Sharon, Palestina, Kita

M. Ichsan Loulembah

ARIEL Sharon adalah figur banyak muka. Dia pernah di Partai Likud, partai garis keras Israel. Selaku perdana menteri, ia yang menarik pasukan dan pemukim Yahudi dari Jalur Ghaza, dan Tepi Barat.

Namun, jenderal berbadan tambun ini pula yang pernah menyuruh agar rakyat Israel membanjiri sejumlah wilayah Palestina. Bahkan, hingga ke puncak-puncak bukitnya.

Pemimpin sebuah komite imigran Yahudi asal Rusia/Uni Soviet (ibunya lebih lancar berbahasa Rusia ketimbang Ibrani), bahkan ditakuti bukan hanya saat menjadi tentara. Sharon buas bahkan saat menjadi Menteri Perumahan. Dialah yang dengan brutal menggusur perumahan rakyat Palestina dan menggantikannya dengan pemukiman kaum Yahudi.

Menteri tanpa Portofolio (1983-1984), Menteri Perdagangan dan Industri (1984-1990) ini juga bergabung di kabinet Benyamin 'Bibi' Netanyahu sebagai Menteri Infrastruktur nasional (1996-1998), dan Menteri Luar Negeri (1998-1999).

Bengis! Pers internasional bahkan punya istilah banyak (dan semuanya seram) bagi veteran perang Yom Kippur ini: Jenderal Haus Darah, Pahlawan Hitam, Awan Kelabu Bagi Timur Tengah, Zionis Berdarah Panas, Kreator Ladang Pembantaian, Sang Kontroversial, dan Sang Jagal.

Selain Moshe Dayan, Ariel Sharon adalah figur yang paling diingat publik internasional. Dayan karena sebelah matanya ditutup ala bajak laut, Sharon karena badannya yang gempal ibarat buldoser.

Buldoser! Kata itu tepat menggambarkan Sharon saat memimpin pembantaian di Shabra dan Shatilla, kamp pengungsi Palestina di Beirut barat, Lebanon. Shabra & Shatilla Massacre, istilah generik untuk peristiwa itu, memang eksekutor lapangannya Bashir Gemayel dan milisi Falangis, Lebanon.

Tapi dunia tak bisa dikibuli! Pembersihan etnik 16 September 1982 yang membunuh 500-an orang tak berdosa itu dikendalikan Ariel Sharon selaku Menteri Pertahanan di kabinet Menachem Begin, famili jauhnya. Bahkan, rencana itu disusun secara rahasia tanpa sepengetahuan Knesset.

Kepala batu! Sewaktu mengambil-alih kepemimpinan Partai Likud, ia menentang berbagai upaya perdamaian yang digagas Ehud Barak, Perdana Menteri (1999-2001) dari Partai Buruh. Tentangannya dilakukan secara demonstratif dengan melakukan kunjungan kontroversial ke Masjidil Aqsa (Al-Haram Al-Sharf) dalam kawalan ketat 1.000 tentara Israel siap tempur. Lebih mendekati kunjugan ke medan laga ketimbang ke tempat berdoa!

Sewaktu menjadi perwira muda pun, ia, dengan Unit 101 (bentukannya pada 1950) bahkan membangkang dari strategi Menteri Pertahanan Moshe Dayan.

Ia menerjunkan pasukan di Malta Pasha, Semenanjung Sinai, dekat Terusan Suez, tanpa sepengetahuan Moshe Dayan. Sebanyak 38 anak buah dari pasukan elit korban itu tewas, 120 lainnya luka-luka.

Pasukan bergelar pasukan kepala batu ini bahkan menerobos wilayah kedaulatan Yordania. Di perkampungan Gibya, pasukannya membantai 69 warga Arab; kebanyakan anak-anak dan perempuan. Entah untuk apa pasukan kekar terlatih itu membunuh manusia yang tak bias berperang, bahkan sekadar bertahan itu.

Komplikatif dan tak terduga! Ibarat tikungan tak terduga, Sharon berbalik arah. Ia meninggalkan Likud (partai garis keras Yahudi) dan membentuk partai baru Kadima yang berideologi kiri-tengah. Partai ini memenangkan pemilu dan membentuk pemerintahan pada 2006 dengan dukungan partai Buruh dan sejumlah partai kecil lainnya.

Dengan partai baru ini pulalah, Ariel Sharon tampil dengan muka beda. Ia bahkan datang ke Red Sea Summit di Aqaba, Yordania, untuk berunding dengan Mahmoud Abbas, presiden Palestina.

Bengis, buldoser dan kepala batu! Itulah aneka muka Ariel Sharon. Itu pula wajah Israel.

Komplikatif dan tak terduga! Itulah peta soal di Palestina yang mewarnai sekujur wilayah Timur Tengah.

Di negeri kita, aneka protes, demonstrasi dan bantuan digelorakan. Sebagian pejabat dan pengamat mewanti-wanti agar isu Gaza dan Palestina tidak dilihat sebagai isu keagamaan.

Karena di Indonesia yang rajin berdemo mayoritas komunitas Islam. Karena di Palestina juga ada orang yang bukan Islam. Karena di tanah Palestina bahkan lahir Nabi Isa. Karena Suha Daoud Tawil, istri mendiang Yasser 'Abu Ammar' Arafat, penganut Kristen yang lahir di Tepi Barat, dan besar di Nablus dan Ramallah.

Soalnya di sini; tidak terasa kegiatan politik, protes dan demonstrasi jalanan yang dilakukan dengan tema kebangsaan. Waktunya untuk memberikan dukungan bagi rakyat Palestina, melintasi pagar-pagar politik dan keyakinan keagamaan.

Itu, jika Palestina kita ingin lihat sebagai tragedi kemanusiaan, dan kedaulatan kebangsaan.

Penulis adalah Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI [L1]

No comments: