Monday, April 6, 2009

Merampok Konsumen


CELAH

inilah.com - 21/01/2009 - 09:54

Merampok Konsumen

M. Ichsan Loulembah

JEDA dari sebuah diskusi politik serius, saya mencari celah menikmati udara pantai. Di tengah kota Makassar yang makin rapi. Menjelang akhir tahun lalu, saya duduk di bibir pantai Losari yang sibuk.


Di sebuah kedai, saya memesan semangkuk bakso, sepiring otak-otak (hidangan dari ikan tenggiri) dan segelas es teler khas kedai itu.

Aneka hidangan itu tentu lezat. Namun, kolom ini tidak sedang mengantar pembaca ke sebuah petualangan kuliner atau wisata bahari.

Inti tulisan ini justru dimulai saat saya akan membayar. Sambil mendatangi sang kasir, saya menyerahkan sejumlah uang. Dia menerimanya sambil memencet tombol-tombol cash register. Tak menatap saya sama sekali.

"Pak, punya uang logam seratusan? Kembalian uang bapak empat ratus rupiah, saya tidak punya. Kalo bapak punya seratus, saya akan kembalikan lima ratus rupiah," katanya. "Wah, saya tidak punya," jawab saya.

Lebih banyak memelototi alat hitungnya, dia memberikan uang kembalian. Tentu kurang empat ratus rupiah.

Di Jakarta, di sebuah restoran cepat saji, saya menerima uang kembalian yang kurang dua ratus lima puluh rupiah. Alasannya; idem ditto dengan kasus di atas.

Ada lagi, setelah menuntaskan transaksi di sebuah mini market dekat kompleks perumahan, saya menerima kembalian yang tidak cocok dengan kwitansi.

Nominal dari berbagai transaksi tadi memang kecil. Tapi, coba kita bayangkan; berapa ribu, bahkan juta, transaksi berlangsung setiap hari. Di seluruh penjuru negeri.

Anehnya, hal-hal itu tak jamak di warung-warung kecil dan kedai makan tradisional (bukan sekadar sajian makanannya tradisional, namun tata cara bertransaksinya pun masih konvensional).

Dalam kelompok kasus pertama, pricing policy menerakan angka-angka yang tak bulat. Ekornya ada imbuhan pecahan di bawah lima ratusan. Dan mereka tak punya uang kembalian. Di laci cash register mereka hanya tersedia uang pecahan terkecil lima ratus rupiah.

Sementara itu, pada kelompok warung sederhana, nilai harga ditetapkan dalam bulatan. Atau, seandainya harga setiap jenis makanan atau barang imbuhannya ratusan, para pedagang kecil itu tak ragu memberikan kembalian yang pasti pas!

Itu baru kasus sederhana. Coba kita perhatikan, berapa kali kita membayar jasa parkir tanpa mendapatkan bukti pembayaran. Tentu dengan harga zona (zoning) yang seenaknya ditetapkan sang tukang parkir.

Jika kita meminta bukti pembayaran, sang pemarkir (lebih terasa sebagai pemalak, sebenarnya) akan mengumpat. Atau minimal ngedumel. Lebih parah lagi, pengendara lain akan membunyikan klakson sambil berteriak agar kita segera bergerak.

Saya pernah menanyakan secara serius, ke mana saja uang tersebut disetorkan. Dengan sistematis si tukang parkir akan merinci keberbagai dinas, instansi, dan oknum pejabat setempat. Pengantar setoran; seorang yang disebutnya sebagai 'bos'.

Di sebuah daerah kabupaten di Jawa Barat, pemerintah daerah meminta jasa konsultan pajak. Pasalnya, sejumlah pegawai negeri sipil (PNS) daerah itu menelisik jumlah sebenarnya potongan pajak penghasilan mereka.

Karena gaji mereka dibayar tanpa akurasi yang rigid. Jumlah PNS langsung diambil rata-rata dengan angka average.

Setelah diperiksa oleh konsultan pajak, yang harus dibayarkan tahunan ternyata hanya separuh dari jumlah selama ini. Dan itu berarti miliaran rupiah.

Belum lagi saat menerima gaji (jika tanpa melalui transfer), setiap PNS akan menghadapi juru bayar yang tidak menyediakan 'uang kecil'. Karena, setelah potongan wajib sana-sini, setiap PNS mendapatkan jumlah gaji dan tunjangannya diekori angka tak bulat. Para PNS itu malu atau mengentengkan masalah tersebut.

Mari kita bayangkan. Berbagai 'kejadian kecil' di atas telah bertahun-tahun. Terjadi pada banyak sektor dan jenis transaksi. Apakah berlebihan jika kita menyebutnya: merampok konsumen secara massal?

Penulis adalah Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI [L1]

No comments: