Thursday, April 24, 2008

Hidup Persib, eh, Hade!


www.inilah.com

CELAH

14/04/2008 09:32 WIB

Hidup Persib, eh, Hade!

M. Ichsan Loulembah

Memang, ini belum hasil resmi total penghitungan suara Komisi Pemilihan Umum Daerah Jawa Barat. Namun kemenangan pasangan Ahmad Heryaman (PKS) dan Yusuf Macan Effendi alias Dede Yusuf (PAN) hasil penghitungan cepat bukan peristiwa politik sepele.

Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) mengumumkan bahwa Danny Setiawan-Iwan Sulanjana (Da’i) memperoleh 26,85%, Agum Gumelar-Nu’man (Aman) 32,38%, dan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf (Hade) 40,8%.

Litbang Kompas menghitung: Da’i 24,19%, Aman 35,34%, dan Hade 40,47%. Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menyajikan data: Da’i 20,47%, Aman 26,46%, dan Hade 39,87%. Sementara Pos Penghitungan Suara Hade mencatat: Da’i 26,14%, Aman 35,39% dan Hade 38,82% hingga pukul 16.30 WIB Minggu (13/04/08).

Bagaimana membaca kemenangan ini dari sudut strategi komunikasi?

Menurut saya, tidak terlampau mengejutkan. Pertama; dari sudut kekalahan incumbent. Kecenderungan kekalahan calon yang sedang menjabat terjadi pada berbagai pemilihan kepala daerah. Bahkan sejumlah daerah penting yang secara tradisional dikuasai partai-partai besar. Baik di kabupaten, kota, maupun provinsi.

Biasanya yang kalah adalah incumbent dengan prestasi terlampau biasa dalam program pembangunan, dipersepsikan publik memiliki masalah hukum, miskin imajinasi dan kreasi dalam kepemimpinan, serta kurang memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dan alamiah.

Kedua; pemilih cenderung kurang suka pertarungan yang terlampau keras dan diametral. Dalam beberapa pilkada, pertarungan yang teramat ketat – apalagi oleh dua kandidat yang dipersepsikan sama oleh publik (biasanya negatif; orang lama, kandidat kaya, dan seterusnya) – pemilih mencari alternatif.

Berbagai kasus pilkada menunjukkan calon alternatif dipilih akibat terlampau kerasnya pertarungan – bahkan sesekali disertai kampanye negatif – antara dua kandidat kuat. Inilah cara pemilih menghindari instabilitas seandainya salah satu kandidat high-profile tersebut terpilih.

Jangan lupa, dengan tingkat pendidikan yang lebih memadai, masyarakat Jawa Barat pasti memantau perkembangan konflik menegangkan hasil pilkada di berbagai daerah lain.

Ketiga; sebagaimana jamak dilakukan para pengatur strategi komunikasi pemasaran di perusahaan-perusahaan; berkampanye bukan berarti semata royal membanjiri jumlah atribut, outlet dan media.

Kampanye yang terlampau banjir, alih-alih mendatangkan simpati, justru menimbulkan inflasi. Bahkan antipati. Apalagi jika campaign tools semisal eksekusi artistik, tag-line, keywords, positioning statement, strategic differentiation, gimmick, bahkan pemilihan foto pasangan kandidat, kurang kuat.

Hade memiliki berbagai keuntungan tersebut dan melakukannya secara tepat, sambil para kandidat -- yang dipersepsikan orang lama-favorit-kuat-kaya itu – melakukan hal sebaliknya.

Da’i dan Aman tentu saja bukan istilah yang buruk. Namun digunakan secara salah. Da’i bukan istilah yang kompatibel untuk memilih seorang gubernur. Selain, kedua orang yang namanya disingkat tersebut memang bukan, tidak pernah, dan bukan seorang da’i.

Sementara Aman bukan problem prioritas di sana. Juga salah timing. Karena secara umum Jawa Barat aman-aman saja. Ancaman keamanan berarti nyaris tidak ada. Bahkan ribuan orang mengalir ke sana tiap akhir pekan untuk cucimata dan belanja.

Slogan ‘Hade pisan euy!’ terkesan ringan namun intim, bersahaja, low profile, gaul, dan kental warna lokal.

Foto resmi pasangan Da’i dan Aman sama-sama menggunakan kopiah; semakin menuakan dan memformalkan penampilan mereka. Tanpa kopiah, pasangan Hade terlihat berbeda, lebih informal, dan segar.

Kampanye televisi pasangan Aman terkesan terlalu pamer artis dan selebritis. Alih-alih membujuk, jadinya berjarak. Apalagi para selebritis itu sudah jadi orang Jakarta, menyusut ke-Jabar-annya.

Sementara iklan televisi pasangan Hade jauh lebih mengesankan, memakai talent orang-orang biasa, terasa dekat dan intim, serta menggunakan stok gambar outdoor. Terbalik dengan pasangan Da’i yang hanya memakai setting studio plus sedikit permainan grafik komputer. Walaupun dari segi frekwensi pengudaraan lebih banyak.

Di atas semua itu, tentu saja kemampuan membentuk tim kampanye solid, jaringan yang berantai, plus militansi anggota partai-partai pendukung adalah tulang punggung kemenangan Persib, eh, pasangan Hade.*

*Penulis adalah Anggota DPD RI

Oasis di Parung


www.inilah.com

CELAH

07/04/2008 18:34 WIB

Oasis di Parung

M. Ichsan Loulembah*

MENGAYUH sepeda sederhana, dari satu kampung ke kampung lainnya. Di keranjang depan, di kotak belakang, setumpuk buku tertata rapi. Tak terbersit rasa lelah pada wajahnya. Itulah tayangan Oasis di Metro TV, siang itu, 5 April 2008.

Perempuan bersepeda itu bernama Kiswanti. Yang ia antarkan setiap hari, dengan ketulusan berbaur keringat dan keriangan, adalah setumpuk buku untuk anak-anak, para remaja, dan ibu-ibu.

Suaminya, Ngatmin, seorang kuli bangunan dan pembersih kolam renang pribadi, heran. Kira-kira kalimatnya begini, “Biasanya istri orang lain minta dibelikan pakaian dan perhiasan, tapi ia minta uang agar bisa membeli buku.”

Tentu, Ngatmin tidak sedang mengeluh. Kiswanti tidak sekadar minta dibelikan buku. Ia merawatnya, menatanya di sebuah ruang sederhana, meminjamkannya kepada khalayak sekitar kampung.

Terletak di kampung Lebak Wangi, Desa Pemagarsari, Parung, Bogor, nama ruang pustaka sejak 2003 milik pasangan yang hanya menamatkan sekolah dasar itu adalah Warabal atau Warung Baca Lebak Wangi.

Di layar, gambar berganti. Kiswanti dalam pengambilan close-up sedang berbinar setiap menceritakan pertambahan jumlah, jenis, dan judul buku.

Gambar bertukar lagi. Dalam long-shot terlihat perempuan murah senyum berusia 45 tahun itu menghentikan kayuhan sepeda. Bercengkerama sejenak – penyambutnya, para ibu-ibu, ibarat menunggu seorang pengabar syiar agama – lantas membuka catatan, bertukar buku pinjaman lama dan baru.

Buku-bukunya beragam. Ada resep memasak. Ada buku agama. Sebagian lagi buku bercocok tanam. Selesai proses pencatatan, Kiswanti bersenda-gurau ibarat sebuah keluarga dengan para pelanggannya.

Untuk anak-anak tersedia beberapa buku pelajaran – tentu bukan, atau hampir pasti berbeda dengan buku yang diwajibkan Depdiknas – berbau pengetahuan alam, sosial, bahasa, sejarah, dan buku cerita. Anak-anak lebih suka memilih langsung ke taman bacaan berkoleksi 2500-an buku itu.

Saya kira, sulit untuk tidak mengatakan Kiswanti dan Ngatmin adalah pasangan hebat! Bukan itu saja. Walau berbalut pakaian sederhana, hidup di kampung, sesungguhnya mereka manusia modern!

Bayangkan, penghasilan suami pas-pasan. Mestinya, mereka lebih memikirkan kebutuhan pokok semisal sandang-pangan-papan sebagaimana pengertian umum.

Nyatanya, mereka merumuskan kebutuhan pokok sebagai informasi, pengetahuan, minat baca, buku, taman bacaan. Bukan sekadar hobi. Bukan tanpa ideologi. Menurut hemat saya, mereka melakukannya dengan kesadaran akal dan kepenuhan hati.

Sang suami, penghasilan jauh dari mapan, tetap bahagia dan menyerahkan sepenuhnya skala prioritas penggunaan uang kepada sang istri. Apapun yang dipilihnya, sepanjang itu bebuah bahagia.

Sebaliknya, sang istri tidak sedikitpun terbebani dengan apa yang dipunyai tetangga. Ia punya ukuran sendiri. Ia punya keyakinan yang lain tentang kepemilikan. Bukan perhiasan, melainkan peradaban.

Saya kira kedua pasangan bersahaja itu memang pejuang peradaban. Terngiang kembali sound-bytes Kiswanti di layar, “Saya tidak percaya kalau minat baca masyarakat kita kurang. Yang kurang adalah daya beli mereka.”

Makanya, ia rela mengayuh sepeda sejauh dapat ditempuh agar dapat memperluas jangkauan persebaran bibit-bibit peradaban. Agar sejumlah kanak-kanak, remaja, dan orangtua mereka bergaul dengan bacaan.

Padahal, Kiswanti melakukan ini semua karena dendam. Seperti katanya sendiri. Sewaktu bersekolah, dulu, ia ingin sekali membaca, memiliki buku. Tapi, ia terlalu miskin untuk mendapatkan kemewahan itu.

Ia menebus dendamnya kini. Dengan caranya sendiri. Berbagi peran dengan suami. Oasis itu bernama Kiswanti.

*Penulis adalah anggota DPD-RI

Tuesday, April 1, 2008

AAC, AADC, DSDA



CELAH

www.inilah.com

24/03/2008 15:42 WIB

AAC, AADC, DSDA

M. ICHSAN LOULEMBAH

SABTU, 22 Maret 2008, atau malam Minggu, tersiar kabar, jumlah penonton film Ayat-Ayat Cinta (AAC) menembus angka 3 juta. Sebuah perolehan fantastis, karena film lain yang juga terhitung berhasil, 'hanya' memperoleh 1,3 juta. Itu pun setelah hampir tiga bulan diputar.

Malam itu saya ikut rombongan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mengisi waktu liburnya dengan menonton. Beberapa menteri, kolega partai, kerabat dekat, pengusaha, sampai beberapa anak, menantu, dan cucu, ditraktir oleh JK.

Benar-benar ditraktir. Bukannya menonton pada pertunjukan khusus – fasilitas yang lazim bagi pejabat setingkat Wapres - namun pada jam regular. Berbaur dengan penonton lain, sama-sama membeli tanda masuk.

AAC menunjukkan beberapa hal. Pertama, sang sutradara, Hanung Bramantyo, seperti ingin membuktikan bahwa penonton film Indonesia itu ada. Bahwa penonton kita bukan penggemar buta pada film-film dari luar.

Seringkali memang banyak sineas atau praktisi perfilman lebih gemar mengeluh. Pasti tidak semua, namun terbanyak dari mereka memiliki deretan keluhan lebih panjang daripada daftar karya.

Bila film-film lain kurang diminati penonton, jika hanya beberapa hari atau pekan saja layar telah diturunkan pemilik bioskop; secara umum, tentu filmnya kurang menarik. Tidak dibuat dengan serius.

Kedua, kalau kita perhatikan AAC mirip dengan kemunculan film Ada Apa Dengan Cinta (AADC). Keduanya bercerita tentang cinta yang tak ambisius. Cinta tak gemerlap. Cinta biasa.

Bedanya, AAC mengerek tema cinta yang ditebari diskusi keagamaan. Sementara dalam AADC, tema cinta dijejali nuansa kepujanggaan. Ketiga, AAC juga sama dengan film sukses: Denias Senandung di Atas Awan, Petualangan Sherina, Arisan, Mendadak Dangdut, Nagabonar Jadi 2, sampai Berbagi Suami. Sama-sama datang dengan niat memperkaya tema.

Tentu bukan soal baru, betapa produktivitas para produser dan kreator film lebih banyak menambah deretan angka produksi ketimbang keragaman tema. Selalu takut gagal dengan eksperimen.

Ibarat mitraliur, jumlah film baru bertema horor-seram-mistik dan cinta remaja berkualitas rendah hampir setiap pekan ada selamatannya. Memang, penonton film AADC dan Pocong membludak, tempo hari.

Seringkali bahkan judulnya pun terasa dipaksakan. Coba kita tengok: Suster Ngesot, Terowongan Casablanca, Rumah Pondok Indah, plus deretan film lain yang mencantumkan kata Tengah Malam, Kuntilanak, Ambulans, Kuburan, Jumat Kliwon, dan seterusnya.

Anehnya, para sineas kita kemungkinan tidak peduli pada pengetahuan pemasaran. Bahwa, pasar bisa penuh jika ditembakkan produk/tema yang sama berulang-ulang. Bahkan di Academy Award pun film terbaik datang dari tema berbeda setiap tahun.

Mungkin juga tidak belajar dari masa lalu di mana film Indonesia jatuh karena kejenuhan tema. Bukan karena pasar yang jenuh, seperti kesimpulan umum selama ini. Apalagi dikaitkan dengan daya beli. Karena produk budaya, kesenian, dan hiburan, serta kegiatan kreatif lainnya, tentu sulit diukur semata dari sisi material.

Sependek ingatan dan pengetahuan saya, secara teknis generasi baru perfilman kita amat maju. Mereka jago menggunakan teknologi mutakhir. Music score, editing, setting, special effect, bukan lagi masalah berarti ditangan mereka.

Barangkali, secara keseluruhan industri ini belum belajar dari pasang-surutnya perfilman kita masa silam.

Jika mau belajar, bagaimana mungkin penonton dibombardir judul seperti ini: In the Name Of Love, From Bandung With Love, I Love You Om, Love is Cinta, Cinta Rock N Roll, Eiffel I’m in Love, Brownies, Me vs High Heels, Ungu Violet, Seventeen, Lovely Luna, Virgin, Heart, dan sebagainya.

Sementara itu, judul yang bersahaja seperti Ada Apa Dengan Cinta, Denias Senandung di Balik Awan, Berbagi Suami, tokh lebih sukses. Baik di festival, juga secara komersial.