Thursday, April 24, 2008

Oasis di Parung


www.inilah.com

CELAH

07/04/2008 18:34 WIB

Oasis di Parung

M. Ichsan Loulembah*

MENGAYUH sepeda sederhana, dari satu kampung ke kampung lainnya. Di keranjang depan, di kotak belakang, setumpuk buku tertata rapi. Tak terbersit rasa lelah pada wajahnya. Itulah tayangan Oasis di Metro TV, siang itu, 5 April 2008.

Perempuan bersepeda itu bernama Kiswanti. Yang ia antarkan setiap hari, dengan ketulusan berbaur keringat dan keriangan, adalah setumpuk buku untuk anak-anak, para remaja, dan ibu-ibu.

Suaminya, Ngatmin, seorang kuli bangunan dan pembersih kolam renang pribadi, heran. Kira-kira kalimatnya begini, “Biasanya istri orang lain minta dibelikan pakaian dan perhiasan, tapi ia minta uang agar bisa membeli buku.”

Tentu, Ngatmin tidak sedang mengeluh. Kiswanti tidak sekadar minta dibelikan buku. Ia merawatnya, menatanya di sebuah ruang sederhana, meminjamkannya kepada khalayak sekitar kampung.

Terletak di kampung Lebak Wangi, Desa Pemagarsari, Parung, Bogor, nama ruang pustaka sejak 2003 milik pasangan yang hanya menamatkan sekolah dasar itu adalah Warabal atau Warung Baca Lebak Wangi.

Di layar, gambar berganti. Kiswanti dalam pengambilan close-up sedang berbinar setiap menceritakan pertambahan jumlah, jenis, dan judul buku.

Gambar bertukar lagi. Dalam long-shot terlihat perempuan murah senyum berusia 45 tahun itu menghentikan kayuhan sepeda. Bercengkerama sejenak – penyambutnya, para ibu-ibu, ibarat menunggu seorang pengabar syiar agama – lantas membuka catatan, bertukar buku pinjaman lama dan baru.

Buku-bukunya beragam. Ada resep memasak. Ada buku agama. Sebagian lagi buku bercocok tanam. Selesai proses pencatatan, Kiswanti bersenda-gurau ibarat sebuah keluarga dengan para pelanggannya.

Untuk anak-anak tersedia beberapa buku pelajaran – tentu bukan, atau hampir pasti berbeda dengan buku yang diwajibkan Depdiknas – berbau pengetahuan alam, sosial, bahasa, sejarah, dan buku cerita. Anak-anak lebih suka memilih langsung ke taman bacaan berkoleksi 2500-an buku itu.

Saya kira, sulit untuk tidak mengatakan Kiswanti dan Ngatmin adalah pasangan hebat! Bukan itu saja. Walau berbalut pakaian sederhana, hidup di kampung, sesungguhnya mereka manusia modern!

Bayangkan, penghasilan suami pas-pasan. Mestinya, mereka lebih memikirkan kebutuhan pokok semisal sandang-pangan-papan sebagaimana pengertian umum.

Nyatanya, mereka merumuskan kebutuhan pokok sebagai informasi, pengetahuan, minat baca, buku, taman bacaan. Bukan sekadar hobi. Bukan tanpa ideologi. Menurut hemat saya, mereka melakukannya dengan kesadaran akal dan kepenuhan hati.

Sang suami, penghasilan jauh dari mapan, tetap bahagia dan menyerahkan sepenuhnya skala prioritas penggunaan uang kepada sang istri. Apapun yang dipilihnya, sepanjang itu bebuah bahagia.

Sebaliknya, sang istri tidak sedikitpun terbebani dengan apa yang dipunyai tetangga. Ia punya ukuran sendiri. Ia punya keyakinan yang lain tentang kepemilikan. Bukan perhiasan, melainkan peradaban.

Saya kira kedua pasangan bersahaja itu memang pejuang peradaban. Terngiang kembali sound-bytes Kiswanti di layar, “Saya tidak percaya kalau minat baca masyarakat kita kurang. Yang kurang adalah daya beli mereka.”

Makanya, ia rela mengayuh sepeda sejauh dapat ditempuh agar dapat memperluas jangkauan persebaran bibit-bibit peradaban. Agar sejumlah kanak-kanak, remaja, dan orangtua mereka bergaul dengan bacaan.

Padahal, Kiswanti melakukan ini semua karena dendam. Seperti katanya sendiri. Sewaktu bersekolah, dulu, ia ingin sekali membaca, memiliki buku. Tapi, ia terlalu miskin untuk mendapatkan kemewahan itu.

Ia menebus dendamnya kini. Dengan caranya sendiri. Berbagi peran dengan suami. Oasis itu bernama Kiswanti.

*Penulis adalah anggota DPD-RI

No comments: