Thursday, December 18, 2008

Mahasiswa, Kata, Batubata


inilah.com

CELAH

19/11/2008 15:09

Mahasiswa, Kata, Batubata

M. Ichsan Loulembah

ALIH-ALIH rajin membuat sarasehan, mahasiswa kini lebih gemar tawuran. Di banyak sudut negeri, setiap hari adegan kekerasan yang jauh dari sportivitas itu kita saksikan.

Kekerasan bahkan terjadi saat mereka memprotes sebuah kebijakan. Yang anehnya, walau terjadi di berbagai tempat dan kampus berbeda, mereka kompak memilih jenis kegiatan ini. Jika urusannya unjuk rasa, maka sentuhan akhirnya adalah bakar ban bekas.

Entah apa kelebihan, kekuatan, apalagi keistimewaan aksi ini; selain memacetkan jalanan yang digunakan publik, merusak jalan yang dibangun dengan anggaran tak sedikit, bakuhantam dengan aparat keamanan. Bahkan, dalam beberapa kasus, mereka berhadapan dengan masyarakat yang masygul.

Sedihnya, atas nama publik pula seringkali kegiatan itu dilakukan. Padahal tema yang diprotes baik dan layak diprotes: harga berbagai barang dan jasa primer naik, biaya sekolah memberatkan, hingga penggusuran warga dan pelanggaran hak asasi manusia. Niat baik berakhir dengan cara sebaliknya.

Itu kalau mereka unjuk rasa memprotes sebuah kebijakan. Lain lagi jika terjadi perselisihan antarmereka.

Beberapa hal patut dicatat jika terjadi perselisihan antar para insan yang ada di balik tembok akademis ini.

Pertama, tawuran atau perkelahian secara rombongan jadi pilihan penyelesaian perkara. Apakah antarkampus, sesama almamater tapi beda fakultas sampai perkelahian antarjurusan. Bukannya memilih satu-lawan-satu yang lebih jantan dan sportif. Katakanlah, jika pilihan mereka memang secara kekerasan.

Padahal, sebagai insan akademis, kekuatan mereka justru pada individualitas. Di luar hal-hal bersifat non-akademis, kinerja dan prestasi seorang mahasiswa berpokok pada kemampuan dirinya sendiri. Belajar, meneliti, berdiskusi; memang dilakukan bersama, namun itu bersifat sekunder.

Aspek primer seorang mahasiswa justru pada kemampuan refleksi, analisis, komunikasi dan keluasan informasi; sumbunya adalah diri sendiri.

Aspek itulah yang mereka tinggalkan. Berkerumun, membuat blokade di jalan raya, menggebrak, menyerang kampus/fakultas/jurusan sebelah. Sebuah 'jalan komunal' yang harus disalahkan.

Kedua, 'kualitas' kekerasannya makin menakutkan. Saling lempar batu secara massal, ada yang mengacung-acungkan senjata tajam. Tak sedikit yang menyiapkan bom molotov. Lingkungan sekitar tercipta ibarat kerusuhan antargang, vendetta para mafia, atau perang zaman tribal. Gerombolan anak-anak manis itu bergemuruh ibarat mesin pembunuh.

Pemicunya rupa-rupa. Sejak urusan pribadi sampai 'sentimen korps'. Berebut pacar, senggolan di pentas seni kampus, hingga pertandingan olahraga yang dibumbui tukar cemooh; tajuk yang jamak memicu perkelahian.

Mungkin ada yang salah pada sistem pengelolaan dan metode pendekatan dalam pendidikan kita. Barangkali ada masalah dalam manajemen sarana dan kurikulum pendidikan. Tapi itu bukan alasan membenarkan kekerasan mahasiswa yang (seharusnya) menjadi inti dan tumpuan moral/intelektual masyarakat itu.

Selayaknya kampus tidak lagi melindungi mereka. Tidak pantas kampus menjadi benteng perlindungan para 'kriminal terdidik' itu. Apalagi jumlah biang kerusuhan pasti teramat kecil, dibanding mahasiswa rajin belajar: mereka yang ingin mengangkat derajat keluarganya lewat pendidikan, anak-anak orang miskin yang bersungguh-sungguh menyiapkan masa depan lebih baik.

Para petinggi perguruan tinggi wajib bekerja di atas standar. Tidak mengelola institusinya dalam skema project approach. Para gurubesar selayaknya merasa bertanggungjawab dan memperluas imajinasi agar dapat mengembalikan perguruan tinggi sebagai tempat menempuh pendidikan tertinggi. Bukan sebaliknya.

Mengembalikan para mahasiswa ke ruang-ruang refleksi, menajamkan daya kreasi, serta menantang mereka dengan diskusi dan komunikasi. Sebab, perguruan tinggi (sebagaimana misi dan adab yang hendak ditularkan ke masyarakat sekitarnya) bukan sarana melempar batubata, tapi tempat menukar kata.

Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI [L1]

No comments: