Monday, February 18, 2008

Dikotomi Pemimpin


sumber : Rubrik CELAH www.inilah.com

Senin, 28 Januari 2008

M Ichsan Loulembah

Mayor Jenderal Tanribali Lamo sontak merebut perhatian publik. Putra almarhum Jenderal Achmad Lamo, mantan Gubernur Sulawesi Selatan tiga periode ini, diangkat sebagai pelaksana tugas gubernur di daerah kelahirannya.

Bukan soal nama Tanribali Lamo itu benar yang menjadi titik perhatian. Statusnya sebagai perwira tinggi aktif ? jabatan terakhir sebagai Aspers KSAD ? mengungkit kembali beberapa soal sensitif.

Di antaranya; kembalinya kekaryaan sebagai salah satu elemen penting dwifungsi TNI ? dahulu kata ini ditulis sebagai dwifungsi ABRI dalam satu tarikan nafas. Dan amat bertuah. Waktu itu.

Beberapa pengamat serentak menyuarakan kekhawatirannya. Sederhana saja. Tanribali Lamo, hanya sejenak ? sekitar satu menit ? dilantik sebagai staf ahli Menteri Dalam Negeri untuk selanjutnya dilantik kembali pada posisi sipil tertinggi di daerah.

Hal ini, dipandang para komentator masalah politik, pemerintahan, dan hukum tata negara, sebagai preseden bagi kembalinya supremasi nonsipil dalam pengisian jabatan sipil. Kekhawatiran yang mudah dimaklumi.

Pengalaman traumatik sepanjang Orde Lama dan Orde Baru di mana terjadi banyak deviasi dalam pelaksanaan kekaryaan para perwira dalam jabatan non-militer ? di berbagai tingkatan pemerintahan, perusahaan negara, bahkan kementrian agama.

Tentu saja, Tanribali bukan perwira tinggi sembarangan. Ketenangannya ? sekilas dalam penampilan publik pertamanya di berbagai halaman dan layar media ? pasti merupakan alasan utama menempati jabatan yang mengurusi personalia di TNI Angkatan Darat.

Kriteria lain; sebagai putra Achmad Lamo ? dengan ketenangan nyaris mirip ? yang pernah memimpin dalam kurun waktu lama tentu saja tersimpan dalam kenangan kolektif masyarakat Sulsel.

Namun soal ini tidak saja membuka debat lama soal dikotomi sipil-militer. Tua-muda, Jawa-luar Jawa, profesional-politisi, tradisionalis-modernis, saudagar-birokrat karir; sedikit diantara tema dikotomis dalam perdebatan tentang latar belakang seorang pemimpin.

Sebab, kepemimpinan memang punya banyak muka. Kepemimpinan juga tidak pernah diringkas sekadar asal-usul serta latar belakang kesejarahan, genealogis, pendidikan, pengalaman keorganisasian, belaka. Kepemimpinan yang berhasil senantiasa berawal dari beragam latar belakang.

Kita mencatat begitu banyak pemimpin ? baik di masa lalu ataupun sekarang, di dunia maupun di negeri sendiri ? yang berhasil dengan latar belakang bermacam.

Sebab, kepemimpinan yang dipandang sukses punya rumus sederhana: berhasil membangun imajinasi dan inspirasi akibat kepemimpinannya, bisa mendekatkan harapan orang-orang yang dipimpinnya menjadi kenyataan.

Ada lagi. Kepemimpinan yang berhasil adalah mereka yang sukses menggerakkan setiap organ dengan cara-cara yang sederhana namun terukur.

Itu semua dapat dicapai jika seorang pemimpin punya cita-cita sederhana; mengatasi berbagai problem dalam organisasinya ? negara, daerah, organisasi, dan sebagainya ? dalam masa`kepemimpinannya. Itu saja.

Jamak kita menonton kegagalan seorang pemimpin, walaupun dia memiliki berbagai persyaratan kepemimpinan, namun gagal karena perhatiannya bukan pada periode dan lingkup masalah dalam kepemimpinannya. Namun meluaskan cita-cita dan perhatiannya pada jabatan tinggi berikutnya.

Seorang camat, misalnya, sepenjang periodenya terus merawat cita-cita menjadi bupati atau walikota. Seorang walikota/bupati terus menyimpan obsesi naik tangga menjadi gubernur. Dan seterusnya.

Sehingga perhatian dan aura kepemimpinan terus dihantui ambisi untuk menggapai jabatan tinggi berikutnya. Lebih lekas, kalau perlu. Yang akhirnya merusak seluruh ritme organisasi, mulai mencari jalan paling cepat ? biasanya negatif, bahkan sesekali manipulatif ? untuk memupuk persiapan bagi perebutan jabatan selanjutnya.

Berkaca dari itu semua, menurut hemat saya, perdebatan mengenai berbagai perhadapan dikotomis itu selayaknya diserahkan pada jarum jam sejarah.

Kembali pada kasus pengangkatan Tanribali, pemerintah tidak usah pula mengeluarkan energi untuk menghentikan kekuatiran pengamat dan media massa.

Biarkan Tanribali bekerja. Biarkan dia mengalami ujian sejarah kepemimpinannya. [L1]

No comments: