www.inilah.com
CELAH
14/04/2008 09:32 WIB
Hidup Persib, eh, Hade!
M. Ichsan Loulembah
Memang, ini belum hasil resmi total penghitungan suara Komisi Pemilihan Umum Daerah Jawa Barat. Namun kemenangan pasangan Ahmad Heryaman (PKS) dan Yusuf Macan Effendi alias Dede Yusuf (PAN) hasil penghitungan cepat bukan peristiwa politik sepele.
Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) mengumumkan bahwa Danny Setiawan-Iwan Sulanjana (Da’i) memperoleh 26,85%, Agum Gumelar-Nu’man (Aman) 32,38%, dan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf (Hade) 40,8%.
Litbang Kompas menghitung: Da’i 24,19%, Aman 35,34%, dan Hade 40,47%. Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menyajikan data: Da’i 20,47%, Aman 26,46%, dan Hade 39,87%. Sementara Pos Penghitungan Suara Hade mencatat: Da’i 26,14%, Aman 35,39% dan Hade 38,82% hingga pukul 16.30 WIB Minggu (13/04/08).
Bagaimana membaca kemenangan ini dari sudut strategi komunikasi?
Menurut saya, tidak terlampau mengejutkan. Pertama; dari sudut kekalahan incumbent. Kecenderungan kekalahan calon yang sedang menjabat terjadi pada berbagai pemilihan kepala daerah. Bahkan sejumlah daerah penting yang secara tradisional dikuasai partai-partai besar. Baik di kabupaten, kota, maupun provinsi.
Biasanya yang kalah adalah incumbent dengan prestasi terlampau biasa dalam program pembangunan, dipersepsikan publik memiliki masalah hukum, miskin imajinasi dan kreasi dalam kepemimpinan, serta kurang memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dan alamiah.
Kedua; pemilih cenderung kurang suka pertarungan yang terlampau keras dan diametral. Dalam beberapa pilkada, pertarungan yang teramat ketat – apalagi oleh dua kandidat yang dipersepsikan sama oleh publik (biasanya negatif; orang lama, kandidat kaya, dan seterusnya) – pemilih mencari alternatif.
Berbagai kasus pilkada menunjukkan calon alternatif dipilih akibat terlampau kerasnya pertarungan – bahkan sesekali disertai kampanye negatif – antara dua kandidat kuat. Inilah cara pemilih menghindari instabilitas seandainya salah satu kandidat high-profile tersebut terpilih.
Jangan lupa, dengan tingkat pendidikan yang lebih memadai, masyarakat Jawa Barat pasti memantau perkembangan konflik menegangkan hasil pilkada di berbagai daerah lain.
Ketiga; sebagaimana jamak dilakukan para pengatur strategi komunikasi pemasaran di perusahaan-perusahaan; berkampanye bukan berarti semata royal membanjiri jumlah atribut, outlet dan media.
Kampanye yang terlampau banjir, alih-alih mendatangkan simpati, justru menimbulkan inflasi. Bahkan antipati. Apalagi jika campaign tools semisal eksekusi artistik, tag-line, keywords, positioning statement, strategic differentiation, gimmick, bahkan pemilihan foto pasangan kandidat, kurang kuat.
Hade memiliki berbagai keuntungan tersebut dan melakukannya secara tepat, sambil para kandidat -- yang dipersepsikan orang lama-favorit-kuat-kaya itu – melakukan hal sebaliknya.
Da’i dan Aman tentu saja bukan istilah yang buruk. Namun digunakan secara salah. Da’i bukan istilah yang kompatibel untuk memilih seorang gubernur. Selain, kedua orang yang namanya disingkat tersebut memang bukan, tidak pernah, dan bukan seorang da’i.
Sementara Aman bukan problem prioritas di sana. Juga salah timing. Karena secara umum Jawa Barat aman-aman saja. Ancaman keamanan berarti nyaris tidak ada. Bahkan ribuan orang mengalir ke sana tiap akhir pekan untuk cucimata dan belanja.
Slogan ‘Hade pisan euy!’ terkesan ringan namun intim, bersahaja, low profile, gaul, dan kental warna lokal.
Foto resmi pasangan Da’i dan Aman sama-sama menggunakan kopiah; semakin menuakan dan memformalkan penampilan mereka. Tanpa kopiah, pasangan Hade terlihat berbeda, lebih informal, dan segar.
Kampanye televisi pasangan Aman terkesan terlalu pamer artis dan selebritis. Alih-alih membujuk, jadinya berjarak. Apalagi para selebritis itu sudah jadi orang Jakarta, menyusut ke-Jabar-annya.
Sementara iklan televisi pasangan Hade jauh lebih mengesankan, memakai talent orang-orang biasa, terasa dekat dan intim, serta menggunakan stok gambar outdoor. Terbalik dengan pasangan Da’i yang hanya memakai setting studio plus sedikit permainan grafik komputer. Walaupun dari segi frekwensi pengudaraan lebih banyak.
Di atas semua itu, tentu saja kemampuan membentuk tim kampanye solid, jaringan yang berantai, plus militansi anggota partai-partai pendukung adalah tulang punggung kemenangan Persib, eh, pasangan Hade.*
*Penulis adalah Anggota DPD RI